lima

24 6 0
                                    

-------

Lalu, apa yang terjadi ketika asing mulai merambat menjadi percakapan-percakapan ngawur tanpa batas? Lalu, apa yang terjadi ketika asing mulai merambat menjadi senda-gurau yang terbiasa?

-------

"NIH."

Aku yang sejak tadi menatap lurus ke air mancur menoleh setelah mendengar suara berat milik seseorang. Kulihat Bram berdiri di sampingku dan mengulurkan es krim padaku. Entah kenapa, aku tidak nafsu makan apapun. Rasa kesal masih bersarang di dada. Tanpa mengambil es krim yang disodorkan Bram, aku kembali menatap ke depan. Sesekali mengelus bekas cengkeraman Adam tadi. Benar aku bilang, memerah.

"Kamu gak mau?" tanya Bram.

"Buat kamu aja," jawabku tanpa menoleh ke Bram.

"Saya udah beli dua. Ini saya sengaja beliin buat kamu."

"Aku gak minta dibeliin."

Jadi tadi setelah membawaku pergi dari Adam, Bram mengajakku ke sini. Taman yang menjadi favoritku semenjak aku masih kecil. Sama seperti dulu, taman ini selalu ramai. Banyak orang yang terlihat berlalu-lalang, juga anak kecil yang bermain-main dekat air mancur. Namun bedanya, ada beberapa furnitur yang ditambahkan di taman ini. Pedagangnya pun bertambah daripada dulu sewaktu aku kecil.

Kurasakan pergerakan dari samping. Aku melirik, ternyata Bram yang sudah mendudukkan tubuhnya di sebelahku. "Beneran gak mau?" tawarnya sekali lagi, menyodorkan es krim vanilla itu.

"Enggak."

"Yakin? Saya kalo udah beli sekali, males buat beli lagi." Bram mulai menarik es krim itu pelan-pelan dari depan wajahku.

Aku menoleh ke Bram. Dia tengah menjilat es krim coklatnya. Ekspresinya seolah sengaja menjahiliku. Saat mataku tertuju ke es krim vanilla itu, aku menelan ludah susah payah. Sebenarnya aku pengin es krim itu. Wanginya yang menyeruak ke indra penciuman sudah membuatku tergiur.

"Enak loh," goda Bram sambil tersenyum jahil.

Aku diam, menatapnya beberapa saat. "Gak suka es krim vanilla," ketusku untuk kesekian kalinya. Pandanganku kembali menghadap ke depan. Aku berusaha memasang wajah sedatar mungkin. Padahal dalam hati, sudah menggebu-gebu ingin sekali es krim vanilla itu.

Lagipula, kenapa Bram harus beli es krim vanilla sih? Seolah-olah dia tau kalau aku ini suka es krim vanilla.

"Serius nih? Saya perlu mastiin, biar kalo pikiranmu berubah pas es krim ini udah saya makan--"

"Ah, iya-iya! Aku mau!"

Bram tersenyum lebar mendengar jawabanku pada akhirnya. Baru saja aku hendak merebut es krim vanilla itu dari tangannya. Tapi dia malah menarik es krim vanila itu menjauh. Membuat tanganku malah menggapai udara, bukan es krim itu.

Aku melotot sekaligus mengerutkan kening. "Tadi nawarin, sekarang malah jauhin es krimnya," ujarku kesal, menyandarkan sebelah bahuku ke kepala bangku.

"Tadi katanya gak suka, sekarang malah kenapa mau ngambil?" tanya Bram, membalikkan ucapanku.

Benar-benar ya Bram!

Aku langsung membalas dengan nada kesal. "Kamu nawarin, makanya aku ambil. Gimana sih? Gak ikhlas nawarinnya, ya?"

Kekehan berat milik Bram terdengar. "Siapa bilang gak ikhlas? Kamu tau kan kalo semua gak ada yang gratis?"

Keningku semakin mengkerut. "Maksudnya?"

"Ada syaratnya ...."

"Ih, apa-apaan coba? Es krim doang pakai syarat? Emangnya lamaran kerja?"

LENTERA(M) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang