empat

28 7 0
                                    

AKU tidak tau kalau ternyata Bram jago main basket.

Setelah makan di Kantin bersama Glandis, Farisa dan Imei, mereka bertiga--oh bukan, hanya Glandis dan Farisa--mengajakku atau lebih tepatnya memaksaku untuk duduk di pinggiran tribun. Tadi sih sempat diajak berkeliling. Aku benar-benar kagum karena sekolah ini lumayan besar.

Dan sekarang, di sinilah aku. Bersama Farisa, Imei dan Glandis, menonton beberapa murid yang sedang bermain basket di lapangan outdor. Terlihat jelas ada figur seorang laki-laki berperawakan tinggi dengan rambut hitam pekat sedang mendribble bola. Aku sejak tadi menyaksikannya sambil bersedekap. Sesekali melihat ke sekeliling, para siswi kebanyakan heboh saat Bram memasukkan bola ke dalam ring.

Sebenarnya kalau boleh jujur, Bram itu menarik. Senyumnya manis, kulitnya tidak terlalu putih--mungkin karena keseringan main basket kali, ya--dan rambutnya hitam pekat. Apalagi saat-saat sedang bermain basket seperti ini dengan keringat yang bercucuran dari pelipis, aku tau itu bisa membuat para siswi kegirangan.

Tapi, dia menyebalkan. Dan aku tidak suka.

"BRAAAM!"

Aku tersentak sekaligus meringis saat mendengar pekikan Glandis tepat di telinga kananku. Oh Tuhan, sumpah ya, ini anak benar-benar tidak bisa diam sedikitpun?

Sejak tadi, Glandis terlihat kegirangan. Senyum lebar tak kunjung meluntur dari wajahnya. Sesekali dia berseru meneriaki nama Bram dan murid lain. Dia juga tidak berhenti bertepuk tangan.

Ah ... kenapa siswi-siswi di sini begitu fanatik dengan Bram?

"Dis, lo tuh ..." Imei membuang napas kasar sambil memutar bola mata. "Jangan teriak-teriak gitu napa sih. Plis jangan jadi cewek-cewek alay itu."

Glandis menoleh, berkerut kening. "Ish, ini tuh sebuah bentuk dukungan untuk teman sekelas."

"Dukungan apa emang lo aja yang fanatik cogan?" Imei mengangkat kedua alis, tersenyum miring.

"Dua-duanya," jawab Glandis sambil memasang cengiran.

Aku menggeleng-geleng sebentar lalu kembali beralih menatap ke depan. Ternyata permainan sudah selesai. Bram sedang berhigh five ria dengan teman-temannya. Lantas mereka semua berpencar. Ada yang langsung sedikit membungkuk sambil mengacak-ngacak rambutnya yang basah, ada yang langsung mengambil minum. Sementara Bram yang semula ingin melangkah entah kemana, tiba-tiba menoleh ke arahku.

Aku di sini hanya melipat kedua tangan. Menyaksikannya dengan wajah datar tak ada ekspresi apapun. Dan seperti biasanya, dia membalas dengan seringaian jahil.

"Ra, Bram nengok ke kamu," Glandis memberitahuku. Pandanganku beralih ke padanya, melihat ia tersenyum kagum. "Aduh senyumannya ...."

Detik itu juga, terdengar suara decakan dari samping kananku. Farisa sedang melipat kedua tangannya dan memasang ekspresi malas saat berkata pada Glandis, "Glandis, biasa aja kenapa sih. Lagian kan kita juga sekelas sama Bram, sering banget liat senyumnya. Heboh banget lo ah."

Glandis menolehkan kepalanya. Kulihat kedua matanya berbinar. Sekilas pipinya terlihat merona. "Iya tau, tapi anehnya itu selalu berhasil bikin aku tertarik," katanya penuh kekaguman.

Aku menghela napas mendengar percakapan kedua temanku. Imei pun tampak tidak memperdulikan--sibuk dengan es krim di tangannya. Sudah memalingkan muka, mataku terbelalak ketika melihat Bram melangkah ke sini, menuju ke arahku. Dia memamerkan seringaiannya saat berjalan. Bahkan tidak mengindahkan cewek-cewek di tribun itu yang kini berbisik-bisik dengan pandangan kagum.

Lalu aku buru-buru menggoyang-goyangkan lengan Imei dan Farisa. Namun mataku tetap tertuju ke Bram. Harap-harap ada temannya yang tiba-tiba datang dan bisa membuatnya batal ke sini. Tidak tau kenapa mendadak aku gelisah sendiri.

LENTERA(M) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang