****
|| Kita tetap butuh ruang, sendiri-sendiri. Untuk tetap menghargai apa rasanya sepi. ||
♩ Ruang Sendiri - Tulus
****
SUDAH tiga hari Bram tidak masuk.
Selama tiga hari pula, aku merasa ada yang kurang. Tidak ada yang menjahiliku; tidak ada filosofi-filosofi yang biasa kudengar dari bibirnya; tidak ada yang membawaku pergi dari Adam; tidak yang membuatkan aku mainan dari kertas. Semuanya tidak tau kenapa terasa hambar, monoton. Aku tidak tau alasan Bram tidak masuk sampai tiga hari ini. Dia tidak mengirim surat yang baru, hanya ada surat dua hari yang lalu.
Yang jelas, semua keramaian di sekeliling Kantin sama sekali tidak terasa. Bram benar-benar sudah menjelma menjadi semua hal. Termasuk keramaian yang justru terasa sepi semenjak Bram tidak hadir.
"Ra, makan dulu."
Jentikan jari Adam membuatku tersadar. Usai mengerjap beberapa detik, aku menatap Adam yang menghela napas berat.
"Melamun terus, mikirin apaan sih?" tanyanya dengan tatapan menyelidik seolah ingin membaca pikiranku.
Menegakkan tubuh untuk merenggangkan otot, aku menggeleng pelan. "Nggak, gak mikirin apa-apa." Padahal bohong, sudah jelas yang ada di pikiranku kemarin adalah Bram. Cowok itu sudah seperti laron yang mengerubungi cahaya. "Kamu udah pesen makan?"
Aku jadi merasa bersalah pada Adam. Pasalnya tiga hari ini fokusku malah ke Bram. Aku suka bermain-main dengan pikiranku sendiri. Bahkan di saat bersama Adam, pikiranku justru melambung ke Bram. Iya, memang terdengar lebay. Aku sendiri tidak tau apa yang sedang terjadi pada diriku.
"Mikirin Bram?" tanya Adam langsung.
"Hah?" Mataku melebar. "Eng... enggak. Yaudah, ini dima-"
"Jangan bohong, Ra. Selama Bram gak masuk, kamu sering banget melamun. Kadang-kadang aku perhatiin kamu sering banget ngeliat sekeliling. Gerak-gerik kamu gusar terus dari tadi," jelas Adam yang sedetik kemudian membuatku mengerjap-ngerjap dan menatapnya bingung.
Apa yang dikatakan Adam semua tepat sasaran. Seolah-olah dia bisa membaca pikiranku. Seperti seseorang yang sudah ahli saja membaca pergerakan.
"Kamu ..."
"Jangan tanya tau darimana. Semua yang liat kamu, pasti beranggapan yang sama kayak aku." Adam menyodorkan segelas es jeruk yang kami pesan. "Itu, diminum dulu."
Aku meresponnya dengan tersenyum tipis. Setitik rasa bersalah tiba-tiba muncul dalam diriku. Membuatku meringis, memutuskan untuk meminum es jeruk yang disodorkan Adam.
"Kantinnya rame," komentar Adam, mengepalkan kedua tangan dan meletakkannya di bawah dagu. Bola matanya beredar menatap sekeliling. "Cuma ... kayaknya aku lagi duduk sama raga tanpa jiwa deh."
Sontak aku mengangkat kepala dan menjauhkan sedotan dari bibir. "Maksud kamu?"
"Kamu raganya ada di sini. Tapi jiwanya enggak di sini," jawab Adam.
Aku dibuat terdiam beberapa saat. Usai menghela napas, aku memalingkan wajah ke lain arah. Seketika rasa bersalah yang tadi hadir perlahan-lahan membesar. Walaupun aku sangat tidak menyukai keberadaan Adam, tapi kalau seperti ini ... aku jadi merasa bersalah juga. Lagipula, kenapa sih Bram harus memenuhi pikiran? Sejak kapan dia jadi senang tinggal di otakku?
"Lentera, yang ada di sini tuh Adam. Tolong dong jangan mikir ke mana-mana. Kantin ramai, tapi berasa sendiri."
Aku kembali menolehkan kepala ke Adam setelah mendengarkan penuturannya. Lantas membuang napas kasar. "Maaf. Kamu makan aja tuh, aku gak laper."
KAMU SEDANG MEMBACA
LENTERA(M) ✔
Teen Fiction|| Selesai || Kamu adalah bentuk ketidakkejaman semesta yang sudah aku sia-siakan. - Lentera Putri Senjana.