sembilan

29 3 0
                                    

JAM istirahat pertama, aku, Farisa, Imei dan Glandis duduk berempat di sebuah bangku Kantin. Suasana Kantin sekarang benar-benar ramai. Hampir saja kami tidak kedapatan bangku. Padahal perut sudah berbunyi sejak tadi.

Sudah ada mangkuk bakso di hadapan Farisa, Imei dan Glandis. Hanya aku sendiri yang berbeda; mi ayam. Sudah hampir tiga menit kami di sini, mereka bertiga sibuk menjelaskan tentang apa saja yang ada di sekolah ini.

"Nanti juga bakal ada pentas seni," Imei berucap sebelum menyuap bakso ke dalam mulutnya. Sekarang pipinya jadi mengembung penuh bakso.

Glandis langsung menyahut. "Ah, aku paling suka prom night sih. Serius, itu seru banget."

Perkataannya langsung mendapat anggukan setuju dari Farisa dan Imei.

Benar kah?

Selama ini aku hanya mengetahui tentang prom night dari novel-novel yang kubaca. Aku belum pernah merasakan itu di realita. Karena sekolahku dulu tidak ada yang namanya prom night. Dan sekarang ... setelah Glandis mengatakan itu, aku jadi membayangkan bagaimana rasanya prom night nanti.

"Ngapain aja?" tanyaku, membulatkan mata antusias.

"Nih, ya, gue jelasin ...," Farisa meminum es tehnya sebelum dia mulai menjelaskan. "Jadi sebelum prom night, kita yang kelas dua belas diadain photo booth. Nanti pas prom night semua foto-foto bakal dipajang. Ada nyanyi-nyanyi, terus nari tradisional, dan ... yang paling penting; ada makan-makan!"

"Dan ... bakal ada dance sama band!" Glandis menyahuti dengan riang. "Cogan-cogan pun bertebaraaaaann!" lanjutnya, merubah nada bicaranya jadi dramatis. Matanya seketika berbinar.

Menghiraukan Glandis yang terkesan lebay, aku hanya terkekeh merespon cerita Farisa dan Glandis. Otakku sudah otomatis membayangkan bagaimana prom night itu berlangsung. Apalagi saat acara galeri seni yang dibilang Imei tadi. Aku termasuk anak yang senang dengan lukisan. Tapi sayangnya aku tidak berbakat melukis.

"Emang di sekolah lo dulu gak ada, Ra?"

Pertanyaan Imei membuatku tersadar dan menoleh. Aku tersenyum kecut mendengarnya dan menggeleng pelan sebagai jawaban. Imei tersenyum dan menepuk-nepuk pundakku. "Tenang, nanti kan kita lulus bakal ada prom night. Lo masih bisa ngerasain kok nanti."

"Lo tau sesuatu gak, Ra?" tanya Farisa, memasang wajah sok misterius.

Aku mengernyit. "Apa?"

Farisa mendekatkan wajahnya, membuatku juga mendekatkan wajah. Imei dan Glandis yang penasaran saling bertatapan, lalu mendekatkan telinga mereka.

"Bram jago ngelukis."

Hampir saja aku tersedak mie karena mendengar lanjutan cerita Farisa. Melihatku terbatuk-batuk, ketiga temanku panik. Imei dan Farisa berusaha menepuk-nepuk punggungku sedangkan Glandis langsung menyodorkan gelas.

Setelah meminum air, aku kembali menegakkan kepala. Melihat Farisa dengan tatapan tidak percaya. "Serius kamu?"

Seraya memundurkan tubuhnya, Farisa menjawab, "Siapa juga yang mau bohong, Ra?"

Bram pintar melukis? Masa iya?

"Eh ... em, orangnya baru masuk kantin."

Perkataan Imei membuat aku, Farisa dan Glandis sontak menoleh ke pintu masuk Kantin. Benar saja. Di sana, Bram bersama Gilang, Putra dan Dirga melangkah memasuki Kantin. Gelak tawa mereka terdengar sampai seantero wilayah Kantin. Semua perhatian murid yang berada di sini langsung teralihkan ke mereka berempat.

"Bang Jali ... Bang Jaliii ... goyangnya bikin hepiiii ...." Putra melantunkan nyanyian dan menggoyangkan tubuhnya tanpa mempedulikan tatap mata murid-murid yang menyaksikannya.

LENTERA(M) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang