dua puluh satu

21 4 2
                                    

****

|| Kamu bikin saya jadi mata-mata. Setiap hari melirik kamu; hanya untuk memastikan kamu baik-baik saja. ||

****

AKHIRNYA hari yang ditunggu-tunggu datang juga.

Hari ini, pameran seni diadakan di sekolahku. Jam di pergelangan tangan sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. Aula masih tetap ramai dipenuhi murid-murid sejak dimulainya pentas seni di sini. Yang namanya pameran seni, pasti banyak sekali lukisan-lukisan dua ataupun tiga dimensi yang dipajang memenuhi aula sekolah.

Aku melangkah, memasuki ruang aula lebih dalam. Ada banyak lukisan-lukisan indah yang dipajang di dinding ataupun diletakkan di atas meja yang disusun berjajar. Di belakang meja, ada sekitar dua atau tiga murid yang berdiri menjaga lukisan-lukisan itu. Yah, biasanya mereka menjaga sesuai apa yang sudah diatur.

Sepanjang aku melangkah, aku melihat dan mendengar tingkah konyol dari canda tawa semua murid yang berjaga di sini. Gelak tawa tak terelakkan lagi, membuat darahku terasa berdesir. Aku tidak bisa menahan senyumku saat melihat begitu banyak lukisan yang terpajang. Meskipun aku tidak bisa melukis, tapi setidaknya aku masih menyukai sebuah lukisan.

Dengan segera, aku mengarahkan handycam yang sengaja kubawa ke satu per satu lukisan. Sudah tidak terhitung banyaknya lukisan yang aku potret sejak tadi. Aku benar-benar tidak menyangka kalau banyak murid di sekolah ini yang pandai melukis.

"Dari tadi cekrak-cekrek terus."

Celetukan seseorang membuatku menoleh. Senyumku lantas mengembang semakin lebar ketika mendapati Farisa, Imei dan Glandis sudah berdiri di sebelahku.

"Nih, susu hangat buat lo," ujar Farisa seraya menyodorkan gelas plastik berisi susu hangat.

Aku tersenyum dan menerima segelas susu yang disodorkan Farisa. "Thanks ya," kataku lalu menyeruput minuman susu di tanganku.

Farisa mengangguk sebagai respon. "Omong-omong, Ra, kita mau tunjukin sesuatu nih."

Belum sempat aku bertanya ada apa, Imei dan Glandis sudah menarik kedua tanganku dari sisi kanan-kiri. Farisa berjalan di belakangku sambil memegang kedua pundakku. Aku menyapu pandangan ke sekitar dan mengernyit. Wajah mereka bertiga tampak sumringah dan bersemangat saat menarik tanganku.

"Ada apaan sih?" tanyaku.

Glandis, Imei dan Farisa justru menyunggingkan senyuman penuh makna yang sama sekali tidak kumengerti apa maksudnya. Aku mengembuskan napas, lelah bertanya. Memutuskan untuk diam saja dan mengikuti kemana mereka akan membawaku.

Setelah beberapa kali menyempil di antara murid-murid yang memenuhi ruang aula ini, akhirnya Glandis dan Imei melambatkan langkah mereka. Sontak membuatku juga melambatkan langkah. Tadinya, aku sempat menatap Glandis dan Imei bergantian, lalu menatap Farisa yang kini sudah berada di depanku. Senyum di wajah mereka semakin mengembang lebar.

"Kalian kok diem?" tanyaku, masih menatap ketiganya bergantian.

Imei yang pertama menoleh langsung melipat kedua tangannya. Sudut bibirnya tertarik membentuk senyum miring. "Lo harus liat yang satu ini," suruhnya terdengar serius.

Sedetik setelahnya, Imei berjalan dan menyelip di antara kerumunan, diikuti Farisa di belakangnya. Glandis memberikan isyarat untuk mengikuti dengan anggukan kepala. Dengan ekspresi yang masih bingung, aku mengikuti mereka sembari menerka-nerka apa yang sebenarnya ingin mereka tunjukkan.

LENTERA(M) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang