****
|| Dari awal, saya udah bisa menerima konsekuensi karena mencintai seseorang yang bukan milik saya. ||
****
"APA? PERTUNANGANNYA DIPERCEPAT?!"
Terkejut bukan main.
Itu yang kurasakan setelah mendengar ucapan Mama kalau pertunangan aku dan Adam akan dipercepat. Aku sampai menganga lebar dan melotot. Buru-buru menghampiri Mama yang sedang duduk di sofa, lalu duduk di sofa tunggal.
"Mama serius?" tanyaku tak percaya.
Mama menghela napas. "Iya, Mama serius. Kemarin Mama udah bicarain sama Mama Adam di butik, nanti malem kita ada pertemuan keluarga." Detik selanjutnya, bibir Mama melengkung membentuk senyum manis. Wajahnya seketika berbinar. "Bicarain tentang pertunangan sekaligus pendekatan antar keluarga."
Saat itu juga, aku merosotkan bahu lemas. Punggungku ikut melemas, bersandar pada kepala sofa. Mataku tertuju lurus ke Mama begitu sumringah saat menjelaskan itu. Aku benar-benar bungkam. Sama sekali tidak bisa menjawab apa-apa. Entah kenapa, dadaku terasa sesak. Ada sebagian diriku yang ingin menolak perkataan Mama. Tapi, begitu melihat bagaimana Mama semangat saat menjelaskan itu, aku merasa tidak tega.
"Nanti, pokoknya kamu harus dandan cantik. Ada Tante Jenita, Om Heri, Kak Firda sama Kak Elang. Semua keluarga Adam bakal dateng nanti malem," jelas Mama sekali lagi. Dia meraih dua paper bag yang diletakkan di atas meja dengan antusias.
"Ma ...," Nada bicaraku melemah. "Kenapa harus dipercepat sih? Kan bisa gak usah buru-buru."
Pergerakan Mama yang sedang mengeluarkan baju dari dalam paper bag terhenti. Senyumnya perlahan memudar, seketika membuatku merasa tidak enak. Matanya kini menatapku dengan serius.
"Lentera, kelas dua belas ini kan cuma sebentar. Lagipula, kalo udah tunangan, hubungan kalian bisa lebih serius dari ini, kan? Biar gak mengundur waktu lagi," jawab Mama, terdengar lembut saat menjelaskan.
"Ini maunya Adam?" tanyaku langsung pada intinya. Karena sejak tadi, itu yang ada di pikiranku.
Mendengar pertanyaanku, Mama tiba-tiba terdiam. Beberapa saat hingga membuatku yakin kalau Mama menyembunyikan sesuatu yang tidak aku ketahui. Yang membuatku yakin kalau ini pasti ide Adam. Karena semenjak kedatangan Bram, Adam lebih protektif padaku.
Tidak mendapat jawaban dari Mama, aku menghela napas berat seraya membuang pandangan ke samping. "Mama tau sendiri kan kalo Lentera masih mau fokus sama pendidikan? Lentera masih punya mimpi yang harus dikejar. Dan ... aku sama sekali gak ada pikiran tentang pertunangan itu."
Beberapa detik terdiam, sampai akhirnya terdengar helaan napas dari Mama. "Kamu gak suka ya sama pertunangan ini?" tanyanya. Tatapan berubah sendu. Wajahnya tidak berbinar seperti tadi.
"Bukan. Bukan gak suka-"
"Lentera, udah cukup Adam nunggu selama dua tahun. Mama sama Tante Jenita mau kalian masuk ke ikatan yang lebih serius." Mama sedikit mencondongkan tubuhnya, menatapku lamat. "Mama cuma mau ini aja, Ra. Iya Mama tau kamu gak suka sama Adam. Tapi seiring waktu, perasaan bisa tumbuh kan kalau kita terbiasa?"
Punggungku kembali bersandar lemas pada kepala sofa sambil membuang napas kasar. Aku mengalihkan muka, memejamkan kedua mata. Detik itu juga, pikiranku malah tertuju pada Bram. Wajah tengil dan tatapan teduh laki-laki itu dengan sendirinya terpampang saat aku memejamkan mata. Reka-ulang adegan pertemuan kami tak lama kembali terputar. Menciptakan percikan-percikan aneh dalam diriku.
KAMU SEDANG MEMBACA
LENTERA(M) ✔
أدب المراهقين|| Selesai || Kamu adalah bentuk ketidakkejaman semesta yang sudah aku sia-siakan. - Lentera Putri Senjana.