dua puluh empat

30 2 1
                                    

****

Biarkan jiwa sajak-sajak meredup seiring menjauhnya punggungmu dari pandangan. Aku tidak menyangka; aku terlambat menyadari kalau aku sudah jatuh cinta.

- Lentera Putri Senjana.

****

SEMENJAK kejadian malam dimana Bram mendengarkan percakapan keluargaku dan Adam, semua berubah drastis. Hari-hari berlalu tanpa adanya keusilan Bram lagi. Kami perlahan-lahan berubah menjadi seperti dua orang asing yang tidak mengenal satu sama lain. Semakin lama jarak di antara kami semakin merenggang. Atmosfer di antara kami tidak lagi terasa menyenangkan. Semua berubah begitu drastis; canggung, membisu.

Aneh, seharusnya aku menyukai keadaan ini. Keadaan dimana aku bisa tenang karena tidak mendapat gangguan dari Bram, tidak merasa keberisikan lagi karena cerocosannya. Bukannya aku menginginkan ini dari dulu?

Tapi, semakin renggangnya kami, gejolak aneh itu kian terasa. Aku merasa ada yang hilang, aku merasa kurang. Acapkali aku menoleh dan menatap Bram, Bram selalu memalingkan muka dan sibuk dengan aktivitasnya. Aku tidak bisa berkata apa-apa selain menghela napas menetralkan perasaanku yang selalu tidak karuan setiap mendapat respon seperti itu dari Bram.

Aku tidak bisa mengelak kalau aku merindukan bagaimana Bram mengusiliku. Laki-laki jangkung itu tidak lagi ada di sampingku di saat aku sendirian. Laki-laki jangkung itu tidak lagi melempar canda atau sekedar mengajakku pergi ke Kantin. Tidak ada ekspresi jahil. Yang ada hanya raut wajah datar, mengundang sesak kian bersarang di rongga dada.

Sekarang, aku baru menyadari makna dari sebuah kalimat bahwa apa yang kita anggap tidak penting akan menjadi sesuatu yang kita rindukan nantinya jika tidak ada. Pikiranku tak henti berkecamuk. Ingatan kala kami berdua bertemu, ketika kami bersenda gurau di Taman, semuanya berputar begitu saja.

"Kita gak tau seberapa lama kita bisa menikmati waktu bersama seseorang. Makanya, semesta menyuruh kita untuk menghargai setiap detik bersama siapapun. Karena kita gak tau; lusa, besok, atau bahkan lima detik dari sekarang kita masih bisa bersama orang itu atau enggak."

Aku menunduk, merasakan sesak semakin menggebu-gebu dalam dada. Menghantam begitu kuat hingga mendorong airmata untuk jatuh dari pelupuk mata. Padahal sudah sedari tadi aku berusaha menahannya, tapi aku gagal.

Lalu, tak lama, seseorang merangkul bahuku dari samping. Tubuhku sedikit terlonjak, kemudian mendongak. Kupikir di antara Imei, Farisa dan Glandis yang merangkul. Nyatanya bukan.

Adam yang merangkul.

Aku yang terkesiap langsung buru-buru menghapus airmata yang merembes ke pipi. Namun tanganku ditahan Adam hingga membuat gerakanku terhenti. Perlahan aku menoleh ke Adam, menyaksikannya tersenyum lembut dan menghapus air mataku.

"Setauku, Lentera bukan perempuan cengeng," ujarnya sedikit berbisik. Rasanya sejuk melihat Adam melempar tatapan teduh seperti sekarang. Usai mengelap kedua pipiku, Adam memundurkan lagi wajahnya. "Aku liat perubahan kamu dari kemarin. Kenapa, Ra?"

Aku menatap lurus ke depan dengan bibir yang masih bungkam. Menerawang kembali ke detik awal Bram mulai terasa asing bagiku. Semuanya terjadi begitu cepat; percakapan malam itu membuat semuanya berubah drastis. Tidak ada pancaran kepedulian lagi di mata dan wajah Bram. Semesta merenggangkan kami; menciptakan jarak yang tidak bisa kuukur seberapa jauhnya. Sebab jarak ini rasanya lebih jauh dibandingkan jarak antar negara.

LENTERA(M) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang