sembilan belas

19 3 1
                                    

****

|| Ada rindu yang menyelip di antara rerimbunan kata. Sungguh, aku amat membenci itu. Dengan sangat tidak sopan, mereka menerobos begitu saja. Aku berusaha menebas, tapi mereka justru semakin menyerangku secara membabi-buta. ||

****

HARI minggu benar-benar hari yang membosankan.

Aku menghela napas seraya duduk di sofa ruang tamu. Pelan-pelan, aku membuka buku jurnal yang kuletakkan di pangkuan. Sudah banyak tulisan yang aku buat memenuhi masing-masing halaman buku. Tapi sejak kemarin, aku belum menulis sama sekali. Walaupun sebenarnya aku ingin, tapi entah kenapa aku tidak bisa fokus.

Kusandarkan punggung ke kepala sofa. Berkali-kali membuang napas kasar saking merasa bosannya. Tanganku yang sudah memegang bolpoin menggoyang-goyangkan bolpoin ke kanan-kiri. Aku menatap lurus ke lembaran kosong yang baru saja kubuka. Pikiranku mulai berkelana, mencari kata-kata yang akan kutuliskan.

Jakarta,
21 Februari 2020.

Sebelumnya, aku hanyalah puzzle yang pecah berserakan. Aku kehilangan kepingan-kepinganku yang sudah pergi entah kemana. Kalau dalam buku, aku adalah halaman yang sama sekali tidak menarik untuk dibaca.

Aku tidak pernah berpikir akan jatuh cinta pada orang lain, Bram. Semenjak semesta membuat Angkasa pergi, aku jadi terbiasa sendiri. Benteng yang kokoh sengaja kubangun untuk mencegah siapapun yang masuk ke ruang hati. Sebegitu kerasnya ya aku melindungi diriku sendiri agar tidak lagi terjatuh? Iya, seperti apa yang pernah aku bilang padamu, aku benar-benar takut kehilangan lagi.

Dan, akhirnya kamu datang. Tanpa tujuan dan alasan yang jelas. Bukan salahmu juga, tapi salahku yang membiarkan kamu masuk dalam kehidupanku. Karena perlahan tapi pasti, benteng yang kubangun berhasil kamu robohkan. Aku tidak tau kenapa waktu itu membiarkanmu masuk. Tapi yang jelas, satu per satu hal yang ada dalam diri kamu, malah membuatku semakin terjatuh.

Aku beritahu. Pada setiap percakapan tengah malam kita, terselip gejolak aneh yang sama sekali tidak bisa kucegah. Pada canda yang diiringi kepulan asap kopi di Kafe sore itu, hadir kupu-kupu yang menggelitik perut. Pada setiap tingkah konyolmu yang menyebalkan, kamu mampu membuatku diam-diam tertawa.

Bram, kamu tau aku paling membenci sepi. Dan ketidakhadiranmu sekarang; aku benci mengakui kalau harus mengakui aku merasa sepi.

Dari,
Lentera Putri Senjana.

Usai menuliskan semuanya, aku menghela napas berat. Kuletakkan bolpoin begitu saja di atas buku jurnal yang masih terbuka. Setelah itu menyandarkan kepala sampai mendongak ke atas. Beberapa detik menatap langit-langit, sebelum aku merasakan pergerakan dari samping.

Saat kutolehkan kepala, Mama tersenyum manis dan menunjukkan piring yang berisi banyak potongan kue di atasnya.

"Nih, kamu mau?" tanya Mama, menyodorkan piring ke arahku.

Aku melirik kue yang ada di piring Mama, lalu menggeleng. "Enggak, Ma. Nanti aja."

Mama langsung memasang ekspresi heran seraya menurunkan piring. "Loh? Kenapa?" tanyanya lagi. Satu tangannya lagi terangkat dan memegang keningku. "Kamu sakit, ya? Pusing?"

LENTERA(M) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang