****
|| Dan kita menemukan fakta kalau kita adalah dua raga yang sama-sama terkurung sepi. Pun dipertemukan semesta untuk saling mengisi sepi satu sama lain. ||
****
HUJAN membuat aku dan Bram akhirnya berteduh di sebuah Cafe. Kami memilih duduk di tempat duduk dekat jendela. Sedari tadi, aku tidak mengalihkan pandangan dari kaca jendela. Rintik-rintik hujan masih turun dengan deras. Padahal sudah dari lima menit yang lalu, tapi hujannya malah semakin bertambah deras.
"Kamu kedinginan?"
Suara Bram sontak mengalihkan pandanganku. Saat aku melihat ke arahnya, dia baru saja tiba di tempat duduk kami. Di tangannya membawa sebuah nampan yang di atasnya ada dua gelas pesanan kami. Sepertinya dia melihat aku yang sejak tadi memeluk diriku sendiri.
"Enggak," jawabku, tentu saja berbohong. Ya walaupun aku tidak terlalu erat memeluk tubuh, tapi sebenarnya aku kedinginan. Jari-jariku rasanya membeku. Aku kembali menatap ke luar jendela dan menahan supaya tidak kelihatan menggigil di depan Bram.
Tapi, sepertinya Bram cukup peka dalam hal ini. "Bohong," ujarnya tidak percaya. Dia kemudian mengeluarkan jaket hitam dari tas ranselnya. "Nih, pake. Biar gak kedinginan."
Mataku beralih lagi ke Bram. Untuk sejenak, aku tidak mengambil jaket yang ia sodorkan ke padaku. Tiba-tiba aku jadi terbayang adegan di kebanyakan novel saat Sang Cowok memakaikan jaket ke Sang Perempuan. Lalu entah kenapa berganti jadi bayangan Bram yang memakaikan jaketnya ke pundakku. Itu terputar secara otomatis tanpa aku sadari.
Sedetik kemudian, aku langsung menggeleng-geleng dan menunduk. Gelagapan sendiri.
Apasih, Ra? Harusnya gak mikirin gitu, batinku yang seketika merasa malu sendiri karena membayangkan itu.
"Kamu kenapa? Kok geleng-geleng kepala sendiri?"
"Hah?" Aku mengangkat kepala. Melihat Bram masih menyodorkan jaketnya dengan tatapan bertanya. Sedangkan aku sudah seperti orang bodoh yang tiba-tiba bingung sendiri mau jawab apa. "Ng... nggak. Nggak ada apa-apa."
"Bener?"
Aku mengangguk.
"Yaudah nih jaketnya. Kamu kedinginan terus beku, saya gak mau tanggung jawab bawa kamu ke rumah sakit."
Mataku terbelalak, antara kesal dan heran mendengar ucapannya. Yang cepat-cepat Bram potong. "Bercanda, nih pake."
Setelah mendecak, akhirnya aku menerima jaket yang disodorkan Bram. Berusaha supaya jaketnya tidak mengenai dua gelas yang berada di atas meja. Aku menyampirkan jaket di kedua pundakku, sedangkan Bram langsung duduk sambil menghela napas lega.
"Segelas vanilla latte untuk seorang gadis yang sedang kedinginan," ujar Bram sambil menyerahkan gelas vanilla latte padaku.
Entah kenapa sudut bibirku tertarik membentuk senyum. Tapi tipis. "Thanks," jawabku pelan. Dengan pelan-pelan juga aku menerima gelas dari Bram.
"Saya gak pernah suka sama hujan. Tapi sekarang ... saya malah jadi suka sama hujan."
Aku melirik Bram sambil meniup-niup vanilla latte di depanku. Mataku menatapnya dengan tatapan bertanya. Selesai menyesap minuman yang dipesannya, Bram kembali berujar, "Kalo misalkan dia gak turun, saya gak bakal duduk berhadapan sama kamu di Kafe ini."
Keningku semakin berkerut dalam. Lalu mendengus dan melengos. Memilih untuk menatap ke luar jendela. Hujan di luar masih tidak menunjukkan tanda-tanda akan reda.
KAMU SEDANG MEMBACA
LENTERA(M) ✔
Teen Fiction|| Selesai || Kamu adalah bentuk ketidakkejaman semesta yang sudah aku sia-siakan. - Lentera Putri Senjana.