dua puluh

23 3 1
                                    

****

|| Kamu menghidupkan apa yang pernah redup; perasaanku. ||

****

SENJA jadi terasa lebih menyenangkan sekarang.

Semburat merah bercampur orange yang terlukis di langit membuat siapapun yang melihatnya takjub. Termasuk aku. Sejak dulu, aku tidak pernah tidak menyukai senja. Sewaktu ayah belum pergi pun, aku seringkali menonton senja bersamanya. Tapi setelah itu ... senja rasanya tidak lagi menyenangkan. Ada yang berkurang saat sekarang aku hanya menontonnya sendirian.

Dan sekarang, aku duduk bersama Bram di bangku Taman menyaksikan lukisan Tuhan di langit sore hari ini. Ada beberapa orang di sekitar kami yang juga menonton senja.

Tapi aku tidak peduli. Senja terasa kembali menyenangkan sekarang.

"Kenapa semua orang seneng senja ya?" tanya Bram memulai percakapan setelah beberapa detik sempat hening.

Aku menunda pergerakanku yang hendak menyesap es krim. Setelah itu menoleh ke Bram. "Karena senja itu indah," jawabku jujur, lalu kembali menyesap es krim.

"Tapi senja di sebelah saya lebih indah."

Aku terkekeh mendengarnya. "Apaan coba?" Deg-degan, tuhkan.

"Eh, saya jujur loh." Bram menghadapkan tubuhnya padaku dan meletakkan satu tangannya untuk menyanggah tubuh. "Senja di sebelah saya lebih indah."

Untuk beberapa detik, aku menatap Bram yang memasang senyum manis. Tidak ada yang istimewa memang dari senyumnya. Tapi entah kenapa, senyum itu selalu berhasil menciptakan desiran yang membuat sekujur tubuhku gugup. Aku cepat-cepat membuang muka sebelum Bram melihat rona merah di pipiku.

"Tapi senja di sebelah kamu gak akan disukai sama orang-orang," kataku menjawab ucapannya tadi. Aku sedikit menunduk, mengatur perasaan yang tiba-tiba sesak.

Bram bergerak merubah posisi duduknya. Mataku sesekali meliriknya, melihat Bram memiringkan kepala. Lalu tiba-tiba mengulurkan tangan dan menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajah.

"Kenapa?"

Setelah menghela napas, aku menjawab, "Senja itu udah terlanjur kehilangan cahayanya, Bram. Semenjak orang-orang udah gak peduli lagi sama dia, semenjak satu per satu mulai pergi meninggalkannya."

Aku melihat ekspresi Bram berubah. Tangannya berhenti bergerak menyelipkan rambutku ke belakang telinga. Tatapan tegasnya melembut, senyumnya yang semula tipis perlahan mengembang bertambah lebar. Semburat kesenduan terpancar dari kedua matanya.

"Ra, dengerin saya ...."

Mulutku tidak bersuara lagi. Aku menatap Bram serius, menunggu apa yang akan dikatakannya.

"Kamu tau kenapa senja istimewa, Ra? Karena dia udah mengorbankan sinarnya buat makhluk bumi. Supaya semua manusia bisa nikmatin keindahannya. Walaupun dia cuma dikasih kesempatan sebentar, itupun gak semua makhluk bumi bisa menghargai keberadaannya, tapi dia tetap bersinar."

"Yang kamu omongin itu senja di langit. Bukan senja seperti aku."

"Tapi kamu juga senja. Gak ada bedanya."

LENTERA(M) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang