tiga

45 7 1
                                    

"MA, berangkat dulu ya."

Pagi pukul enam lewat sepuluh menit, aku sudah siap dengan seragam. Aku benar-benar merasa semangat hari ini. Pasalnya, sekarang aku sudah mulai bisa masuk sekolah baru. Kata Mama, dia sudah mengurus semuanya sebelum aku pindah ke sini. Ah betapa aku sayang padanya.

Menuruni anak tangga terakhir, aku menghampiri Mama yang berada di meja makan bersama Bi Kanin, asisten rumah tangga di rumahku. Wanita yang sudah berumur 42 tahun itu menoleh ke arahku dengan kening berkerut.

"Kamu kok cepet banget siapnya, Ra?" tanya Mama.

"Anak rajin kok, Bu, Lentera itu," sahut bibi seraya menyunggingkan senyum hangatnya padaku.

Aku membalas senyumannya. Sampai di samping Mama, aku memegang kepala kursi dan menyengir. "Iya, Lentera kan anak rajin. Bibi saksinya. Iya nggak, Bi?"

"Iya dong," jawab bibi.

"Tos dulu dong, Bi." Aku mengulurkan satu tangan. Lalu bibi menerima uluran tangan dan bertos ria denganku. Gelak tawa langsung terdengar dari kami berdua. "Bibi emang terdebes!" kataku semangat.

"Oiya dong, Bi Kanin gitu loh!" Bi Kanin tersenyum lebar. Aku selalu senang dekat dengannya. Orangnya selalu ceria, tak bisa sedetik pun aku tidak tertawa bersamanya. Oh iya, postur tubuhnya yang gemuk pun enak untuk dipeluk. Aku senang sekali memeluknya.

Menyaksikan tingkah kami, Mama hanya tertawa sambil geleng-geleng kepala. Ia kembali mengalihkan pandangan ke sepiring roti bakar dan segelas susu, mengambilnya lalu memberinya kepada ku. "Nih, kamu makan dulu sedikit."

Aku terdiam sesaat. "Eum ... aku bawa aja ke sekolah ya, Ma."

"Loh? Gak laper kamu emangnya?" Mama mengangkat kedua alis.

Aku lantas tertawa kecil. "Tenang aja, Ma. Nanti aku makan kalo udah sampai sekolah," jelasku padanya. Berusaha meyakinkan dirinya lewat tatapan mata.

"Makan satu aja, Nak Lentera. Kasian atuh itu ibu udah bikinin." Bi Kanin semakin tersenyum padaku.

Aku dan Mama serempak mengalihkan pandangan padanya. Kulihat senyum mengembang lebar di wajahnya. "Nah iya, Bi, bener. Tadi bibi liat sendiri kan kalo saya bikinin susah-susah? Aduh, sedih saya tuh kalo-"

"Iya, iya. Ini Lentera makan nih." Aku akhirnya mengalah. Mengulurkan satu tangan lalu mengambil satu helai roti bakar yang ditabur meses coklat. "Satu helai aja tapi, ya? Abis itu Lentera berangkat."

Mama menghela napas dan lagi-lagi menggelengkan kepala. "Kamu nih masih pagi juga udah siap mau berangkat aja," tuturnya. Nada suaranya sedikit mengandung kekesalan. Lalu berjalan masuk ke dapur dengan wajah cemberut seperti anak kecil merajuk.

Aku masih menatap punggungnya keheranan. Pergerakan tanganku yang ingin menggeser kursi makan ke belakang terhenti. Sedetik setelah aku menatap Mama, aku langsung menoleh ke Bi Kanin. "Bi ... Mama lagi PMS, ya?"

Bi Kanin balas berbisik. "Gak tau bibi. Laper kayaknya ibu tuh."

"Mama emang gak pernah ilang kebiasaannya ya suka ngambek kayak anak kecil," aku menyuap roti ke dalam mulut. Sambil mengunyah, aku lanjut berujar, "aku udah SMA kalah sama dia."

"Pusing kali, Non, sama kerjaan," jawab Bi Kanin. "Bibi liat dari kemarin sibuk terus ibu tuh. Hebat ya, single parent yang langka. Bibi belum tentu bisa loh kayak ibu."

Aku mengangguk menyetujui. "Iya, walaupun nyeb-"

"MAMA DENGER LOH PERCAKAPAN KALIAN."

Lengkingan suara Mama tiba-tiba terdengar sampai ke meja makan sini. Lantas aku tersentak dan beralih menatap ke arah dapur. Di sana, Mama terlihat berkacak pinggang dan memasang wajah pura-pura garang. Karena kalau dia beneran marah, gak mungkin ada kotak bekal di atas kepalanya.

LENTERA(M) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang