SEMENJAK kehilangan Angkasa, aku selalu menekan diriku untuk tidak terjatuh pada siapapun. Tidak karena aku sungguh takut kehilangan lagi. Katakan aku terlalu mendramatisir, tapi nyatanya memang seperti itu. Jatuh cinta hanya berujung pada kehilangan adalah hal yang paling tidak kusuka.
Namun, aku tidak pernah menduga kalau semesta akan memberikan sebuah kejutan lain; kedatangan Bram. Entah harus kukatakan sebuah kejutan atau justru sebuah hal yang paling menyedihkan untukku. Sekeras apapun aku berusaha agar tidak jatuh cinta, tapi semesta jauh lebih kuat dariku.
Aku kalah melawan permainan semesta.
Pada akhirnya, kita selalu menerima apa yang disuguhkan semesta. Entah itu kesedihan atau kebahagiaan. Dan satu hal yang baru saja kupahami adalah; kita tetap tidak bisa mengontrol perasaan. Karena sebuah rasa adalah hal yang bersifat alami. Ia tidak diatur, namun bekerja dengan sendirinya.
Aku selalu terlambat dalam memaknai sebuah rasa. Aku begitu terlarut dalam pertemuan kami hingga tidak menyadari bahwa perpisahan bisa saja terjadi di antara kami. Kubiarkan ego mengendap dalam tubuhku, sampai akhirnya menguasai diriku yang terlalu bodoh untuk sekadar mengerti pada perasaanku sendiri.
Dan, kini, aku tengah melangkah menyusuri lorong rumah sakit dengan pikiran yang kacau. Pandanganku lurus ke depan, setengah kosong. Aku berusaha sebisa mungkin untuk menahan apa yang mendesak di pelupuk mata. Perasaan khawatir bercampur-aduk dengan rasa bersalah besar yang hinggap di dalam diriku.
"Bram butuh lo, Ra. Bram sakit ...."
Kalimat Gilang terus terngiang-ngiang di kepalaku. Menciptakan efek pening karena sedari tadi bayangan kemungkinan buruk turut berputar di kepala. Memacu jantungku untuk berdetak kian kencang tak beraturan. Kedua kakiku terdorong untuk melangkah lebih cepat. Membawa sesak yang tercipta karena hujaman benda berat di dada.
Tidak ada hal lain dalam pikiranku selain keadaan Bram sekarang. Wajah-wajah panik Gilang, Putra dan Dirga membuat rasa khawatir itu semakin lama semakin membesar. Memenuhi ruang hati sampai akhirnya mengundang banyak pikiran buruk tentang kondisi Bram. Aku tidak bisa sedikitpun tenang. Meskipun telah berulang kali mengatur napas, perasaanku tetap tidak karuan.
Sampai akhirnya, aku tiba beberapa meter di belakang dua orang paruh baya yang tengah berdiri di hadapan dokter. Langkahku melambat otomatis, memperhatikan seorang wanita terisak-isak di pelukan suaminya. Aku mengenal dia; ibunya Bram.
Detik itu juga, otakku langsung menerka-nerka apa yang terjadi. Om Gara terlihat berbincang dengan dokter sembari mendekap erat Tante Ghena. Keresahan nampak jelas di wajah Om Gara dan Si Dokter. Aku mulai tidak bisa bersikap normal lagi sekarang. Detak jantungku semakin berantakan seiring gelisah yang mulai merambat hingga membuatku menggigit bibir bawah.
Aku sama sekali tidak sadar kalau tanganku semakin menggenggam erat tangan Imei. Gadis tomboi di sebelahku ini sama sekali tidak melawan. Bahkan aku yakin rasanya pasti sakit tangannya kutekan kuat-kuat. Namun Imei justru melempar senyum meyakinkan yang kuyakin hanya ingin membuatku tenang.
Akhirnya setelah beberapa detik bergeming melawan keraguan, aku kembali melangkah. Kali ini tidak secepat tadi. Gilang, Putra dan Dirga sudah berada beberapa meter di depanku, Glandis, Imei dan Farisa. Mataku tetap lurus menghadap ke depan. Menyaksikan bagaimana Tante Ghena masih berada di dekapan Om Gara.
"Tante ...."
Farisa mengangkat suara ketika kami sudah tiba di dekat Tante Ghena dan Om Gara. Kulihat Tante Ghena kemudian mengangkat kepalanya dari dekapan Om Gara. Wajah wanita berumur 37 tahun itu tampak basah. Ia mengusap wajahnya dengan gerakan cepat.
"Eh, kalian ..." Tante Ghena tersenyum. Pancaran luka terlihat jelas di tatapannya. "Baru dateng?"
Saat itu, aku mengambil kesempatan untuk mundur dua langkah pelan-pelan. Kutolehkan kepala ke arah ruang yang berjarak empat langkah dari titik berpijak kakiku. Aku tidak lagi menghiraukan perbincangan yang terdengar di sampingku. Pusat pandanganku seluruhnya hanya ruangan rawat itu. Bram pasti ada di dalam.
Sebisa mungkin aku melawan sebagian diriku yang seakan menahanku untuk melihat ke ruangan itu. Aku tetap keras kepala dan berjalan maju mendekati jendela ruangan. Ketika sampai, aku melongokkan kepala. Berusaha mencari setitik celah dari hordeng yang menutupi kaca jendela.
Aku masih tetap meyakinkan diriku kalau Bram pasti baik-baik saja.
Bram pasti baik-baik saja.
Bram pasti--
Tunggu.
Tunggu dulu.
Itu ... Bram?
Seseorang di atas ranjang rumah sakit itu Bram?
Seseorang yang dipasang alat bantu pernapasan ventilator itu Bram?
Seseorang yang dipasang banyak selang infus itu Bram?
Seseorang yang terbaring lemah sekarang itu Bram?
Detik ini juga, pertahananku hancur. Sesuatu yang kutahan susah payah sejak tadi akhirnya meluncur bebas membasahi pipi. Pikiranku buyar. Jantungku berhenti bekerja untuk sesaat. Perasaan bersalah semakin membuncah dalam dada beriringan dengan beribu jarum yang terasa menusuk hati. Dadaku kian terhimpit benda berat, menciptakan sesak kian tak tertahan.
Tidak,
Lentera pasti salah lihat.
Ini pasti mimpi.
Tidak mungkin--
Argh. Tapi cubitan yang kulayangkan di lenganku sendiri sekarang sakit.
"Lentera ...."
Suara lembut milik seorang wanita mengalihkan pandanganku. Tante Ghena menatapku teduh sekaligus sendu.
"Bram sakit?" tanyaku lirih.
Tante Ghena mengusap setitik air mata yang menetes di pipinya. Setelah menarik napas, ia sempat menunduk samar. Lalu dengan gerakan pelan, kepalanya mengangguk.
Bahuku merosot lemas. "Apa? Sejak kapan, Tante?" Sekali lagi, aku bertanya lirih.
"Anoksia. Keadaan dimana tubuhnya kekurangan oksigen. Dia punya itu sejak SD. Sempat tidak kambuh, Tante pikir sudah sembuh ..." Kalimatnya terhenti sejenak. Tante Ghena menarik napas. Lalu membuangnya pelan sebelum melanjutkan, "Tapi Tante terlalu lalai. Tante gak sadar sama semua gejala-gejala yang timbul. Selain itu, Bram gak pernah mau cerita kalo dia sakit atau ada sesuatu."
"Apa akibatnya?"
"Kamu yakin mau tau?"
Aku terdiam sesaat. Sebenarnya ada rasa tidak siap, tapi aku harus tau ini. Maka, aku menganggukkan kepala dengan sedikit tidak yakin.
"Hilang ingatan. Salah satu akibat anoksia yang diderita Bram."
Mendengarkan penjelasan Tante Ghena, hatiku berdenyut nyeri. Aku menatap nanar ke arah seseorang yang ada dalam ruangan. Tepat saat ini juga, tetes demi tetes air merembes ke pipi. Seketika pasokan oksigen di sekeliling menipis, membuatku sulit bernapas. Benda berat kian kuat menghujam dadaku. Mendorong, menghimpit, menciptakan sesak.
Lututku melemas. Tubuhku yang hilang keseimbangan langsung limbung. Hampir terjatuh jika saja Tante Ghena tidak menahan badanku. Wanita itu langsung membawaku ke dalam dekapannya. Aku menenggelamkan kepala di pundaknya. Bahuku berguncang kuat. Sedangkan Tante Ghena mengelus punggungku.
Dan, saat ini, aku begitu terlarut dalam kesedihan. Sampai tidak mengetahui kalau ini kali terakhir aku memeluk Tante Ghena. Kali terakhir aku melihat raga Bram.
Sebab, beberapa tahun setelah hari ini, kami menjalani kehidupan masing-masing. Aku di Indonesia, Bram menjalani kehidupannya di Jerman.
Aku pun mulai menyadari satu hal bahwa; jatuh cinta harus siap untuk dilupakan.
--SELESAI--
KAMU SEDANG MEMBACA
LENTERA(M) ✔
Teen Fiction|| Selesai || Kamu adalah bentuk ketidakkejaman semesta yang sudah aku sia-siakan. - Lentera Putri Senjana.