1 || Menunggu Kamu

487K 12.4K 403
                                    

23/06/2018 

MAUDYA CELLA

Hari senin adalah hari yang cukup menyenangkan bagiku, walaupun nyatanya sebagaian orang tidak menyukai hari senin karna identik dengan kesibukan. Dihari senin, aku bisa melakukan banyak hal. Kesibukan yang membuat aku sangat bersemagat.

Dulu bagiku, setiap hari sangat sulit untukku lewati. Aku bukanlah anak yang hidup dalam kebahagiaan, hidupku cukup rumit untuk dilewati anak seumuranku saat itu.

Ayah dan Bunda memilih untuk berpisah, dengan alasan Ayah yang kukira sangat menyayangi kami memilih perempuan lain yang tidak lain adalah seketarisnya. Gila, ya sangat gila. Sedangkan Bundaku, perempuan cantik itu memilih pergi meninggalkanku atau mungkin sebalinya_aku yang meninggalkannya sendirian.

Miris, bukan?

Tapi sekarang aku sangat bersyukur, aku memiliki segala hal yang tidak kuperoleh sejak kecil. Aku memiliki banyak orang yang menyayangiku, orang orang yang mungkin tidak akan meninggalkan aku.

"Mbak Dya habis dari mana?" Aku cukup terkejut dengan kehadiran sosok perempuan yang kini tiba tiba membuka pintu yang ada dihadapanku saat ini.

"Habis belanja Bu, diluar tadi ada yang jualan." Jawabku sambil mengangkat tangan kananku, menunjukan kantong putih yang masihku pegang dengan jari jari tangan kananku.

"Mbak Dya bikin Ibu khawatir aja." Ucapnya dengan hembusan nafas yang kasar, sebelum mengambil ahli kantong putih dariku.

"Aku hanya keluar, Bu. Ibu tidak perlu khawatir." Ucapku dan dianggukan Bu Mira.

Bu Mira, perempuan yang menjagaku dari kecil. Bahkan mungkin Bu Mira lebih mengenalku dibandingkan Ayahku sendiri. Bu Mira selalu saja khawatir jika aku pergi tanpa meninggalkan jejak sedikitpun padanya, mungkin karna perempuan tersebut sudah melihat semua hal gila yang terjadi padaku.

Ganggua psikologi yang kualami dulu, sepertinya meninggalkan ketakutan pada Bu Mira.

"Ma!" Suara yang cukup kencang terdengar diindra pendengaranku, membuatku mengahlihkan tatapan dari bu Mira pada sosok anak laki laki yang kini berlari kearahku.

"Jangan lari lari Rendy, nanti kamu jatuh." Ucapku, sambil memperhatikan Rendy yang kini sudah berhenti tepat didepanku dengan tangan yang terulur di udara.

Rendy Putra Pratama, nama yang dipilih pria yang berhasil memberikan kehabagiaan dalam hidupku.

"Maaf ma." Ucap Rendy saat aku sudah membawanya kedalam gendonganku.

"Jangan diulangi lagi ya, kalau kamu jatuh gimana? Mau masuk rumah sakit?" Tanyaku, sambil berjalan memberikan instruksi pada bu Mira untuk mempersiapkan sarapan.

"Maaf ma." Ucapnya lagi, tak lama suara yang tak kalah kencang dari sebelumnya kembali ke indra pendengaranku.

"Mama bang Rendy hancurkan ma_!" Aku memberikan tatapan marah pada anak perempuan yang berjalan kearahku, yang seketika membuatnya diam sambil menatap dengan kesal.

"Ada apa Na? Kenapa kamu juga harus teriak teriak, kamu mau buat papa marah?" Tanyaku dan langsung membuat putriku memajukan bibirnya dan membuatku langsung tersenyum.

Renna Putri Cella, putriku yang lahir 5 menit sesudah Rendy.

"Mama bang Rendy yang mulai." Ucapan Renna dengan kesal yang kini memutar tubuhnya berjalan kearah sisi lain.

"Nek gendong."

Renna memang selalu saja kabur ataupun bersembunyi dibalik Bu Mira dan jika kalian bertanya kenapa anakku memanggil Bu Mira dengan sebutan nenek itu karna aku yang menyuruhnya, Bu Mira adalah Ibuku dan Bu Mira juga adalah nenek bagi kedua anakku bukan?

"Renna?" Ucapku namun tetap dihiraukan Renna dan Renna tetap meminta Bu Mira menggendongnya.

"Tidak masalah, Ibu bisa menggendongnya." Ucap Bu Mira dan membuat aku langsung menatap Rinna.

"Ibu tidak perlu terlalu memanjakannya." Ucapku sebelum duduk dimeja makan sambil masih mengendong Rendy.

"Ibu tidak memanjakannya, Ibu hanya menyayanginya." Ucap bu Mira yang membuatku tidak bisa mengatakan apapun, sedangkan Renna sudah menatap Rendy dengan tatapan seakan menyombongkan dirinya yang berada di dalam gendongan Bu Mira.

"Selamat pagi." Aku merasakan kepalaku yang dielus lembut, disertai suara yang kembali menyapa indra pendengaranku.

"Selamat pagi." Balasku, saat Gilang Pratama_suamiku yang kini berdiri didepanku.

"Pagi." Ucap Gilang, yang kini sudah mengambil ahli Rendy dari gendonganku.

"Pagi Pa." Ucap Rendy. "Aku juga mau." Ucap Renna yang kini sudah mengulurkan tangannya kearah Gilang.

"Dy, hari ini aku tidak bisa pulang. Ada beberapa kerjaan yang harus aku selesaikan dalam waktu dekat." Ucap Gilang, saat Renna sudah pindah ahli kegendongan Gilang.

"Apa kamu tidak bisa lembur dirumah aja? Kamu sudah terlalu sering lembur. Tidak baik kalau kamu maksakan diri kamu untuk bekerja terus menerus." Ucapku sambil menatap Gilang yang kini sedang mendudukan Rendy dan Renna ke kursi makan mereka masing masing.

"Aku juga tidak ingin lembur seperti ini Dya, tapi memang lagi banyak urusan di perusahaan yang harus aku selesaikan dalam waktu dekat Dy." Jawaban dari Gilang tidak bisa kujawab ataupun kusangga lagi. Seperti keputusan final yang tidak akan bisa di ganggu gugat lagi.

Gilang sama seperti aku, terlahir sebagai anak tunggal membuatnya harus melanjutkan perusahaan Ayah mertuaku.

Aku juga bekerja diperusahaan Ayahku, tapi hanya sebagai wakil yang tugasnya hanya menggantikan ayahku jika ayahku tidak bisa rapat, tidak bisa menemui klien ataupun sedang melakukan perjalan bisnis dan aku akan mengisi posisi tersebut sampai ayahku kembali.

Awalnya aku menolak, tapi setelah dipikir pikir percuma saja aku kuliah sampai empat tahun kurang tapi hanya menjadi pengangguran. Ahkirnya aku memutuskan masuk keperusahaan Ayah dan aku pikir waktu kerjanya fleksibel. Aku bisa bekerja dirumah tanpa harus membuat kedua anakku kekurangan kasih sayang.

"Baiklah tapi kalau bisa pulang, lebih baik kamu pulang. Gak baik kalau kamu tidur dikantor terus." Ucapku dan dianggukan olehnya.

Kami kembali menikmati lanjutkan kegiatan sarapan kami dengan ditemani percakapan siangkat anak-anak kami yang sekali-kali mengeluarkan suaranya.

"Aku pergi dulu." Pamit Gilang saat kami sudah selesai sarapan.

Aku berdiri dari kursiku saat melihat Gilang berdiri dari kursinya.

"Hati-hati." Ucapku dan dianggukan olehnya.

"Papa pergi yah. Jangan nakal, jangan buat mama ataupun bu Mira kerepotan." Ucap suamiku memperingati kedua anakku yang berdiri didepanku.

"Baik Pa." Jawab mereka serempak.

Gilang kembali menatapku, sebelum meletakan tangannya diatas kelapaku.

"Aku pergi. Ingat jangan menungguku Dya." Ucapnya dan aku hanya mengaggukan kepalaku sebelum ahkirnya dia mendekat dan mencium keningku sebentar.

Gilang mengambil tasnya dikursi yang didudukinya tadi sebelum ahkirnya pergi semakin menjauh.

Aku menghembuskan nafasku dengan kasar.

'Aku akan segera pulang, jadi tunggulah aku'

Kalimat yang simpel namun bisa membuatku bahagia. Kalimat yang mustahil suamiku ucapkan selama sebulan ini. Suamiku hanya sibuk dengan urusan kantornya. Katakan'lah aku egois yang menginginkan suamiku selalu pulang walaupun urusan dikantor menumpuk, tapi aku tidak bisa menyangkal kalau aku iri pada berkas berkas yang selalu dilihatnya setiap hari.

~ ~ ~ ~

TIME (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang