Om Lay ㅡjatuh

3.9K 305 75
                                    

Lay's side.

Kara Adelina. Namanya mirip merek santan, bukan? Sayang orangnya ga mirip sama santan. Kara punya mata yang sipit minimalis, bibir tipis serta tubuhnya berisi dan pendek.

Jelas pendek. Tinggi Kara itu seketiakku. Sungguh anak yang pendek. Aku bukan menghina, namun itu adalah fakta.

Dulu saat Kara masih kecil, orang tuanya sering nitipin dia ke aku. Mereka nitipin Kara karna sering banget ke luar negeri buat urusan bisnis. Sedangkan kokonya Kara si Chen, ga pernah dititipin ke aku. Chen selalu dibawa sama orang tuanya. Entahlah.

Kara kecil sangat manja padaku. Jika sedang menginap di rumahku, ia pasti selalu ingin aku mandikan dan selalu ingin tidur denganku.

Tapi itu dulu, tigabelas tahun yang lalu.

Sekarang Kara sudah tumbuh besar. Namun ia masih terlihat imut dan polos. Ia lucu sekali. Aku tidak seperti pedofil, kan?

Omong - omong tentang yang tadi aku bilang bahwa ia rata itu bohong. Emh, untuk ukuran remaja seumurannya itu cukup berisi hehehe

Oh ya, tentang ciuman di kening tadi. Itu bentuk spontanitas. Aku pun tidak begitu sadar jika aku telah menciumnya. Tapi biarlah, toh dia tidak menolaknya.

Setelah urusanku selesai, aku langsung segera pulang. Aku rindu Kara.

"Halo, Om?"

"Kenapa, Ra?"

"Om udah makan malam? Eh aku nanya gini maksudnya mau masak loh ya, Om. Bukan perhatian."

Aku terkekeh. Gadis itu lucu sekali. Aku yakin pipinya sedang memerah karna malu.

"Belum. Kamu masak aja. Saya bentar lagi sampai."

"Oke, Om hati - hati."

Aku berbohong. Sebenarnya aku sudah makan di restoran tempat aku bertemu dengan rekan kerjaku. Tapi aku belum kenyang jadi biarlah aku makan lagi masakan Kara. Lagipula, masakan Kara sangat enak dan cocok dilidahku.

Cocok juga untuk jadi ibu untuk anak - anakku nanti.

"Saya pulang."

Aku lihat Kara langsung berlari kepadaku dengan masih memakai apronnya.

"Om, aku masih masak. Jadi om jangan ke dapur. Oke? Oke."

Apa - apaan Kara ini? Dia bertanya dia juga yang menjawab. Baiklah, mungkin dia malu karna sudah membuat dapurku seperti kapal pecah.

Lebih baik aku berendam. Kalian mau ikut?

***

"Om! Ayo, makan!"

Ku lihat jam di tanganku. Pukul tujuh malam. Lama juga ia memasak.

Aku segera berlari menuruni tangga. Aku jadi lapar lagi setelah menghirup aroma masakannya.

Bruk!

"OM! KOK JATOH SIH HAHAHAHAHA"

Aish. Sialan. Aku malah terjatuh dari tangga. Sakit sekali pinggang dan kakiku.

"Jangan ketawa. Tolong bantu saya. Pinggang sama kaki saya sakit."

Kara mengangguk dengan masih menahan tawanya kemudian membantuku duduk di sofa.

"Om, mau makan di sini aja?"

Aku mengangguk. Aish, linu sekali rasanya.

Tidak lama kemudian Kara datang membawa sepiring nasi penuh dan segelas air putih.

"Nih, Om. Diabisin ya."

Aku langsung melahap masakannya dengan sesekali meringis. Masakannya nikmat mengingatkanku tentang dia.

"Nanti aku panggilin tukang urut langganan papa."

"Hm."

Selesai makan, aku memberikan piring beserta gelas pada Kara. Ia menatapku datar bikin bingung.

"Kenapa?"

"Cuci sendiri ah, Om."

"Kamu ga liat? Pinggang sama kaki saya sakit. Ga kasian?"

Kara berdecak kemudian mengambil piringku dengan menggerutu. "Yaudah. Ke kamar sendiri aja sana."

Aku langsung menggeleng. Tega sekali dia membiarkanku jalan sendiri.

"Kara, bantuin saya ke kamar."

Dengan terpaksa Kara mengangguk dan membantuku berjalan ke kamar. Sampai di kamar, dia langsung mendudukanku di ranjang dan dia langsung berjalan pergi.

Dengan gerak cepat, aku menarik tangannya.

"Kamu tidur di sini aja temenin saya."

[1] Om LayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang