Hari ini adalah hari kepulangan orangtuaku dan Koko. Entahlah, aku malah merasa cemas, bukan bahagia. Aku sedikit banyak takut membayangkan yang akan terjadi nanti.
"Heh! Ngelamun mulu."
Aku mendengus dan menatapnya sinis. "Heh! Ganggu mulu."
Om Lay terkekeh. "Ga mau ke bandara?" tanyanya yang ada di sebelahku.
Aku menggeleng dan lanjut menonton sinetron elit di layar televisi. Iya, sekarang kita lagi di ruang tengah. Sebenernya, aku berniat nonton sendirian, tapi Om Lay tiba-tiba aja gabung nonton. Bahkan dia bawa camilannya sendiri. Tidak lupa dengan boneka dombanya. Emh, sedikit menggemaskan.
"Kenapa?"
"Bawel banget lo kayak pembantu baru!" sewotku yang langsung dibalas dengan tatapan tajam darinya.
"Apaan ngomong pake lo-gue? Udah berani sekarang?"
Aku menghela napas malas. "Lebay."
"Ngajak berantem?"
Aku melotot. "Itu kalimat aku! Enak aja pake seenak jidat, ada copyright-nya tahu!"
Om Lay tergelak menampakkan lesung pipinya. "Copyright your ass!"
Aku langsung memukul bibirnya dan melotot. "Kasar!"
Ia kembali tergelak. Kali ini sambil bertepuk tangan. Aku mengernyit melihatnya. Umur sudah tua, tapi kelakuan masih kayak bocah.
Om Lay tiba-tiba berhenti ketawa dan menatap aku tajam. "Saya tahu kamu mau ngatain saya bocah, tapi kamu harus inget. Walaupun saya kayak bocah, saya juga bisa ngehasilin bocah."
"SAMPAH!"
***
Dua jam kemudian, suara bell pintu terdengar berkali-kali. Om Lay segera berlari sambil menggerutu.
Aku hanya diam di ruang tengah. Lagipula, aku sudah tahu siapa yang datang. Tanganku tiba-tiba saja menjadi dingin dan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
"Kara.."
Aku membalikkan tubuhku begitu mendengar namaku dipanggil.
Mataku berbinar. "KOKOO!" aku berteriak dan berlari ke arahnya. Tanpa peduli sekitar, aku menubrukkan tubuhku padanya. Ugh, aku sangat rindu manusia alay satu ini!
Kudengar Koko Chen terkekeh sambil mengelus rambutku. "Kangen banget sama Koko?" tanyanya dengan senyum jahil.
Aku menggangguk dalam pelukannya. Emh, pelukannya adalah tempat ternyaman nomor tiga setelah Papa dan Mama. Yang keempat kalian pasti tahu.
Koko Chen terkekeh lagi, tapi kali ini sambil menggoyangkan tubuhku ke kanan dan ke kiri. Untung berat badanku sudah turun, kalau tidak.. Koko Chen mungkin sudah terbaring tidak berdaya.
"Ehem!"
Aku tidak perlu melepas pelukan Koko Chen untuk mencari tahu suara siapa. Tinggal berbulan-bulan dengannya membuatku hafal suaranya.
"Ditunggu di ruang tamu," ujarnya kemudian pergi.
Koko Chen melepaskan pelukannya dan terkekeh lagi melihat bibirku yang sudah maju seperti bebek kesayangannya. "Nanti lagi pelukannya. Sekarang temuin Mama sama Papa dulu, mereka kangen tahu."
Aku mengangguk dan berjalan menuju ruang tamu sambil dirangkul olehnya. Kalian tidak diijinkan iri.
Sampai di ruang tamu, aku disambut oleh pelukan Papa dan Mama. Tidak lupa dengan kecupan-kecupan basah mereka. Dan, saat itu juga aku bertanya-tanya dalam hati, mereka ga marah?
"Gimana tinggal sama Lay? Enak?" tanya Papa setelah menyuruhku duduk di pangkuannya.
Aku diam. Enak sih enak, soalnya semua kebutuhan tercukupi, tapi banyak juga ga enaknya.
"Kok malah diem?"
Aku tersenyum kikuk. "Enak, kok, Pa."
"Bagus kalau gitu."
Aku hanya balas dengan tersenyum. Jantungku masih berdetak sangat cepat.
"Sayaㅡ" Baru saja Om Lay berbicara, Papa memotong omongan Om Lay dengan menjentikkan jarinya.
"Santai aja, Lay. Gue tahu lo mau ngomongin tentang Kara, kan?"
Dengan kikuk, Om Lay mengangguk. "Gimana menurut lo?"
"Gue, sih oke aja lo nikahin anak gue, tapiㅡ" Papa menatapku tajam ketika melihat aku ingin membantahnya. Aku pun diam seketika. "ㅡpacar lo gimana?"
Om Lay menegakkan tubuhnya dan tersenyum. "Gue udah ngomongin semuanya ke dia. Gue juga udah ceritain ke lo, kan?"
Papa mengangguk.
Aku melotot mendengarkan pembicaraan mereka. "Apaan, nih? Kok aku ga tahu apa-apa?"
Mama melirikku dan tertawa pelan. "Anak kecil ga usah tahu," katanya.
Aku merenggut. "Kata siapa aku anak kecil? Lagian, walaupun aku anak kecil, aku bisa ngelahirin anak kecil," balasku dengan tersenyum kemenangan.
"Diajarin siapa kamu ngomong gitu?" Kali ini Koko Chen yang bertanya.
"Om Lay," jawabku yang membuat semua menatap Om Lay sengit.
"LAY!"
"Ampun, ndoro."
***
Kami pun berakhir dengan makan malam bersama. Makan malan kali ini disponsori oleh Mama Irene dan uang Papa Suho.
"Makan yang banyak, Ra. Biar cucu Mama sehat di dalem sana," celetuk Mama membuatku tersedak ludahku sendiri.
Aku segera meminum banyak air dan mendengus. "Cucu apaan, sih, Ma? Cucu your ass," balasku dengan suara mengecil pada bagian akhir.
"Loh? Emang kamu ga bunting?"
Aku memukul keras bibir Koko Chen dengan sendok yang ku pegang. "Bunting-bunting, emang aku kambing?" sewotku.
Koko Chen mendelik. "Galak amat, sih, bumil," desisnya.
"Heh! Aku denger, ya!"
"Ehem, semuanya bakal diatur sama Papa sama Mama dan orangtua dari Lay sendiri."
Aku menghela napas berat. Apa aku akan benar-benar menikah diumur semuda ini? Aish, memusingkan!
"Orang tua gue bakal ke sini minggu depan, Ho."
Papa mengacungkan jarinya dengan semangat. "Bagus! Lebih cepat, lebih baik. Keburu perut Kara kelihatan melendung," ujar Papa.
Ingin sekali aku berteriak bahwa aku tidak hamil, tapi apalah daya remahan Lays ini.
Emh, tunggu dulu. Aku benar tidak hamil, kan? Tidak mungkin aku hamil. Aku, kan masih terlalu muda untuk hamil.
Tidak terasa, ruang makan sudah sepi hanya tinggal aku dan Om Lay di ruangan itu. Entah kapan Papa, Mama dan Koko Chen pergi.
"Saya ga tahu kamu beneran hamil atau ngga. Kalau pun emang ga hamil, saya bakal tetap tanggungjawab. Kita bisa coba lain kali, kan?"
HM, SUNGGUH TRASH SEKALI ORANG INI.
to be continue...
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] Om Lay
Fanfiction[Om Series 1] apa yang bakal kalian lakuin kalau dihamilin sama temen Papa kalian? Started : 25 Juni 2018 Finished : 5 Januari 2019 ©Sehuntum, All Rights Reserved.