Om Lay ㅡtanggungjawab

3.2K 187 43
                                    

Setelah aku dipaksa sarapan oleh Om Lay, kini ia mengajakku ke sebuah tempat perbelanjaan. Aku hanya diam mengikuti dengan tangan yang digenggam oleh Om Lay. Sedangkan tanganku yang satunya lagi sibuk menahan syal agar tidak terlepas.

Ingin sekali aku memarahi dan memukulnya. Namun, aku lebih memilih diam. Kalau sudah terlalu marah atau kecewa, rasanya sulit untuk berbicara banyak.

Aku tersentak ketika Om Lay tiba-tiba mencubit pipiku. "Ah, iya. Kenapa, Om?"

Bukannya menjawab, ia malah diam dan menatap wajahku dengan pandangan menelisik. Aku risih.

"Ngelamunin apa?" tanyanya yang aku jawab dengan gelengan.

Om Lay menghela napasnya dan menunjuk ke salah satu rak yang bertuliskan concealer. Aku mengernyit bingung.

"Kamu beli satu, gih. Tanda saya pasti lama hilangnya, dan kamu ga mungkin diem terus di rumah," katanya.

Aku mengangguk. Kemudian menatap rak tersebut yang penuh dengan berbagai shade warna kulit. Dengan berbekal pelajaran dari YouTube, aku mengambil tester dan mencobanya sedikit di tanganku.

"Ngapain? Kok tangan kamu yang dipakein?" tanya Om Lay dengan wajah bingung.

Aku baru ingat bahwa ia masih ada disebelahku.

"Nyobain," balasku singkat.

Om Lay mengangguk mengerti. "Beda ya sama Tiffy. Dia nyobain di leher, bukan di tangan gitu," ujar Om Lay sambil menunjuk tanganku yang penuh dengan concealer.

Aku tersenyum kecut. Mendengar nama wanita itu disebut membuatku semakin dihantui rasa bersalah.

Kalau dipikir-pikir, aku seperti pelakor, ya?

Om Lay kembali mencubit pipiku membuatku terlonjak kaget. "Ngelamunin apa, sih? Jangan-jangan ngelamunin yang semalem, ya?" tanyanya dengan wajah jahil.

Aku mendengus. Kemudian melengos pergi ke kasir.

"Tungguin, woy!"

Aku meringis, malu. Bisa-bisanya ia berteriak di tempat ramai begini.

"Pacarnya, ya, Mba?" tanya sang penjaga kasir.

Baru saja aku mau menjawab, suara dari pria laknat sudah menyela.

"Istri saya, Mba."

Aku mendengus lagi. Enak sekali ia melabeliku sebagai istrinya. Padahal, ia sendiri masih memiliki wanita lain.

Aku membanting pintu mobil dengan keras dan menghela napas kesal. Sambil memijat kepalaku yang berdenyut nyeri, aku mengambil ponselku dan segera memutar lagu dengan suara penuh. Tenang, aku mendengarkannya dengan earphone.

Tak terasa, akhirnya mobil pun telah terparkir sempurna di garasi rumahku. Oh, bukan. Rumah Om Lay maksudku.

Aku segera berjalan menuju kamar dengan earphone yang masih setia di telingaku. Sebelum pintu menutup sempurna, aku melihat ada kaki yang menahan pintu kamarku.

"Nanti malem, jangan lupa turun buat makan. Abis itu ada yang mau saya omongin sama kamu," katanya.

Aku memutar bola mataku dengan malas. "Terserah," jawabku bersamaan dengan pintu kamar yang tertutup dengan keras.

***

Aku menghela napas kasar ketika suara ketukan pintu terus terdengar. Dengan malas, aku turun dari kasurku dan membuka pintu dengan kasar.

Ku tunjukkan wajah galakku kala pintu terbuka dan menampakkan wajah seorang pria yang ugh! -aku benci. "Apa?!" tanyaku dengan ketus.

Ia tampak terkejut. Namun, kemudian tersenyum tipis. Cih, aku tidak lagi tertarik dengan senyumnya.

"Waktunya makan malam, Tuan Putri," ujar Om Lay sambil tetap tersenyum yang menunjukan lesung pipinya.

Aku mengangguk. "Nanti nyusul," jawabku.

Ia pun mengangguk dan pergi ke dapur. Sedangkan aku segera membasuh tubuhku yang sudah sangat lengket.

Aku segera menuruni anak tangga dengan perut yang mulai keroncongan.

Umm, wanginya sangat enak!

Dengan senyum lebar, aku segera menarik kursi dan mengambil beberapa lauk kesukaanku.

"Makan yang banyak. Abis itu ada yang mau saya omongin sama kamu."

Aku hanya mengangguk tidak peduli.

"Ngomong-ngomong, kamu makannya banyak banget ga seperti biasanya. Apa jangan-jangan kamu udah hamil?"

Aku berdecak. Ganggu aja sih bangke, gerutuku dalam hati.

"Diem, Om. Saya lagi makan."

Tepat setelah aku mengatakan itu, Om Lay kembali fokus untuk makan.

"Simpen aja piringnya, biar saya yang cuci. Kamu tunggu di ruang nonton aja," ujar Om Lay ketika melihatku sudah selesai makan.

Aku mengangguk. Sebelum menunggunya di ruang nonton, aku mengambil sekotak susu putih dingin.

Tidak lama kemudian, Om Lay datang dan duduk di hadapanku. Masih lengkap dengan celemek yang ia pakai.

Aku menatapnya dan celemek secara bergantian sambil menahan tawa.

Ia yang sadar pun segera melepas celemeknya dan menyengir lebar sambil menatapku. Namun, kemudian ia menatapku dengan serius.

"Oke, sekarang serius," ujar Om Lay.

Aku hanya mengangguk sambil menyedot susu dengan sedotan. "Mau ngomongin apaan?"

Sebelum berbicara, Om Lay menghela napasnya terlebih dahulu dan menatapku dengan pandangan serius. "Kamu beneran sama sekali ga inget yang semalam?"

Aku terdiam sebentar. Sebenarnya aku ingat dan aku juga sadar delapanpuluh persen. Namun, aku terlalu kecewa ketika mengingatnya lagi.

"Aku inget, Om. Aku juga sadar waktu itu," jawabku.

Om Lay terlihat terkejut. Namun, ia segera menutupinya dan melihat ke arah lain.

"Saya akan tanggungjawab, Ra. Kamu tenang aja."

Aku menunduk. "Ga tanggungjawab juga ga masalah, kok, Om," jawabku.

Om Lay menggeleng tegas. "Ga bisa. Kamu mau saya dibilang pengecut karna ga tanggungjawab?"

Aku tersenyum miring. "Om harusnya inget, kalau Om itu punya Tante Tiffany."

"Saya bisa urusin itu nanti. Sekarang prioritas saya itu kamu, Kara."

Aku sedikit tersipu ketika ia bilang bahwa aku adalah prioritasnya. Namun, semua itu hilang ketika otakku mengatakan bahwa itu sebagian dari bentuk tanggungjawabnya.

"Saya bakal nikahin kamu," ujar Om Lay.

Hampir saja aku tersenyum. Namun, ia menggagalkannya dan melanjutkan lagi kalimatnya. "Secara kontrak. Deal?"

Aku segera berdiri dan menatapnya dengan tidak habis pikir. Memangnya ia pikir pernikahan adalah rumah yang bisa dikontrak? Sinting!

Aku memang masih delapanbelas tahun, tapi aku juga tidak bisa dibodohi dengan bentuk tanggungjawab yang akan ia lakukan.

"Jangan gila, Om!"

Om Lay menghela napas frustrasi. "Terus mau gimana? Saya udah janji bakal nikahin Tiffany, bukan kamu!" balasnya dengan suara tinggi.

"Kalau begitu, nikahin aja dia. Toh, saya ga butuh pertanggungjawaban anda, Tuan Lay yang terhormat."

to be continue...


gimana-gimana, kapal kalian siapa nih?

LayxKara

atau

SehunxKara

[1] Om LayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang