Om Lay ㅡescape

2.1K 151 27
                                    

Aku tidak menangis setelah Om Lay mengataiku semacam itu. Sungguh, aku hanya mengeluarkan berlian dari mataku, bukan air mata. Selesai melaksanakan tugasku, aku segera pergi tempat sialan ini. Jangan berpikir bahwa ia mengejarku, jangan berharap. Karna buktinya ia hanya diam di ruangannya tanpa memperdulikanku.

Aku segera menaiki taksi yang sedang berhenti di depan kantor ini dan menghela napas selega mungkin. Perjalanan hampir satu jam karena macet membuatku tambah kesal. Aku segera masuk ke rumah dan mengemasi barang-barangku. Tidak banyak, aku hanya membawa satu koper saja. Baju lainnya masih aku sisakan di lemari.

Aku tidak mungkin pulang ke rumah Papa. Kecuali aku rela diceramahi. Untuk sekarang, aku akan tinggal di apartment yang waktu itu Papa belikan. Katanya sebagai hadiah ulangtahunku yang pertama.


Unitku ada di lantai delapan nomor 1485 ㅡkali saja ada yang mau mampir. Awalnya aku protes karena terlalu jauh, tapi Papa bilang angka delapan itu hoki.

Ketika aku sedang menekan tombol untuk memasukan password, tiba-tiba pintu terbuka membuatku terkejut dan refleks mundur.

Ketika aku sedang menekan tombol untuk memasukan password, tiba-tiba pintu terbuka membuatku terkejut dan refleks mundur

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Laki-laki itu memandangku bingung dengan mulutnya yang terbuka lebar. Aku jadi ikutan bingung melihatnya.

"Siapa, ya? Saya lagi ga mesen cewek," ucapnya.

Sial. Lagi-lagi aku dikira seperti itu. Sepertinya perkataan Om Lay memang benar.

Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal dan tersenyum aneh. "Ini nomor 1485, kan?"

Ia mengernyit bingung kemudian tertawa. "Bukan, ini nomor 1484."

"Hah? Serius?" Aku mengerjap menatapnya yang dibalas dengan senyuman manis.

"Iya. Kamu nyari siapa?"

"Eng, nyari unitku sendiri."

"Nomor berapa?"

"Nomor 1485."

Aku menunduk malu. Sialan, bisa-bisanya aku salah kamar.


"Wah, kita tetanggaan! Aku Lucas, kamu?"

"Kara, Kak."

"Bukan santen, kan?"

Aku terkekeh. "Bukan, Kak."

"Kirain," balasnya sambil terkekeh. "Unit kamu di sebelah aku. Aku anterin, yuk?"

Aku segera menggeleng menolak ajakannya. "Ga usah, Kak. Kan, cuman lima langkah dari sini."


"Lima langkah?" tanya Kak Lucas dengan bergumam. Ia pun mundur lagi ke depan pintunya dan berjalan ke depan pintu milikku dengan bibirnya yang bergerak-gerak.

Aku tebak ia pasti sedang menghitung langkahnya.

"Wah, keren! Beneran lima langkah ternyata. Selama lima tahun tinggal di sini, aku baru tahu sekarang," ucapnya dengan bangga. Terbukti dengan tepukan tangannya.

Aku mengernyit aneh menatapnya. Segera saja aku permisi dan masuk ke unit milikku. Sudah hampir lima menit dan suara Kak Lucas masih terdengar. Aku sampai bertanya-tanya, sereceh itu kah dia?

Malamnya aku memutuskan untuk pergi ke minimarket depan. Untuk membeli makanan ringan dan mie instant tentunya. Dengan setelan tidur ditambah hoodie kebesaran, aku pun masuk ke minimarket seperti melihat harta karun.

Aku berjinjit untuk mengambil mie instant kesukaanku. Sayangnya, mie itu malah terdorong ke belakang.

"Masih ada kaum kurcaci ternyata."

Aku memalingkan wajahku danㅡ

"Eh, ketemu lagi kita!" Kak Lucas lagi.

Aku mendengus. "Mending pergi daripada ngehajut."

"Apa? Ngehajut?" tanya Kak Lucas.

"Iya. Ngehajut tuh yang mirip ngejahit."

Kak Lucas semakin mengernyit dalam-dalam seperti sedang berpikir keras.

"Tahu, ga?"


"Aku tempe aja."

Aku berdecak dan menatapnya sinis. "Bodoamat!"

Kak Lucas terkekeh. "Bercanda, sweety. Nyerah, deh, apa jawabannya?"

"Dikira aku popok bayi?" sewotku sambil menatapnya sinis. "Ngerajut jawabannya."

"Hah? HAHAHAHAHㅡ"

Plak!

"Berisik!"

"Haha.."

***


Lay baru saja memarkirkan mobilnya dan menatap bingung pada pintu rumah yang terbuka serta dua pasang sepatu.

"Temennya Kara kali, ya?"

Tak ingin ambil pusing, Lay segera masuk ke dalam rumah masih lengkap dengan sepatu hitamnya. "Kara, saya pulang!"

Adalah sebuah kalimat yang wajib diucapkan ketika ia pulang kerja.

Lay mengernyit bingung kala tidak ada yang menjawabnya. Dan, semakin bingung ketika melihat teman dan istrinya sedang duduk manis di ruang tengah.

"Ho, tumben ke sini ga bilang-bilang."

Suho tersenyum tipis. "Iya, lagi kangen sama Princess," jawabnya.

Lay mengangguk dan segera duduk di hadapan Suho dan Irene. "Udah ketemu sama dianya?"

Irene menggeleng. "Pas kita dateng, kunci pintunya ada di atas keset. Kita bingung dan takut ada apa-apa juga," jawab Irene kemudian menatap Suho dengan maksud untuk melanjutkan ceritanya.

"Kita panggilin Kara terus, tapi ga dijawab. Gue masuk deh ke kamarnya, gue periksa juga lemarinya. Kali aja dia kabur, yaㅡ"

Lay memotong kalimat Suho sambil menggeleng yakin. "Kara ga mungkin kabur. Selama ini dia ga pernah pergi tanpa ijin dari gue."

Suho mengangguk mengerti. "Iya, gue tahu. Lemari dia emang masih ada baju-bajunya, tapi gue cuman liat satu koper di atas lemari dan ada kotak isi baju gitu di atas kasur.

Lo tahu dia pergi ke mana?"

to be continue...


tuh buat yang minta Kara pergi

[1] Om LayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang