Ruang kepala sekolah. Tempat mereka berakhir adu otot. Kedua gadis itu diam sambil menunduk takut menerima omelan bertubi -tubi dari Ninik bu kepala Sekolah.
Sudah hampir 30 menit Jingga dan Iren berdiri di depan Pintu. Dengan kondisi mereka yang super berantakan. Rambut acak acakan, seragam kotor, luka goresan cakar di wajah, lengan dan kaki, mengeluarkan rasa perih akibat berguling guling di bebatuan sekolah. Serta keringat membasahi seluruh tubuh mereka.
"Ibu, benar-benar tidak habis pikir dengan tindakan kalian kali ini, apa kalian tidak kapok juga dengan hukuman yang Ibu beri sebelumnya? Kalian itu kakak kelas, harusnya kalian berdua menunjukan sikap yang baik terhadap adik kelas, kalian lupa? Sebentar lagi mau ujian nasional, apa kalian mau Ibu skor selama sebulan penuh? Hah?" jelas Ninik panjang lebar membuat kedua gadis itu saling tatap ketakutan.
"Jangan Bu, Kita janji deh Bu gak bakal ngulangin lagi," ucap Jingga memohon.
"Iya Bu, jangan Skor kita Bu, please!" lanjut Iren.
Ninik menghela nafas jengah. Dengan tingkah kedua muridnya itu.
"Walaupun begitu, kalian tetap harus di kasih peringatan, Ibu sudah menghubungi orangtua kalian masing-masing," ujar Ninik di sambut cengangan kedua muridnya.Iren melirik tajam ke arah Jingga.
"Ini salah lo, dasar. Kutilanak genit!"Jingga membalas lebih sinis.
"Nenek lampir! Lo yang mulai duluan 'kan?"Emosi mereka mulai bangkit lagi. Iren berjalan mendekati Jingga hendak mengulang perkelahian tadi. Namun, dengan cepat Ninik mencegah dengan memukul meja kerjanya dengan keras.
"Cukup! Baru saja Ibu bilang, kalian memulainya lagi, ya ampun!!" keluh Ninik lelah. Kedua gadis itu kembali menunduk.
Tidak lama terdengar ketukan pintu dari luar.
"Masuk!"
"Permisi Bu?" ucap seorang itu sopan.
"Iya, silahkan masuk Zyan," ujar Ninik mempersilahkan dengan ramah.
Bagai petir menyambar-nyambar di puncak gunung merapi. Mendengar nama Zyan. Serta suara itu, suara yang sangat ia kenal. Jingga menoleh cepat ke belakang. Apa yang ia temukan membuat bola matanya melebar sempurna.
"B-Bapak?!" batinnya.
"Kakak!" pangil Iren manja.
Jingga semakin terkejut mendengar maklampir memanggil Zyan dengan sebutan Kakak. Dengan wajah tak paham ia memperhatikan dua manusia itu.
"What? Demi apa. tadi dia mangil Kakak? Gak! Gak mungkin!"
Zyan terlihat akrab dengan Iren. Mengelus ujung kepala Iren dengan lembut lalu memperbaiki rambut gadis itu yang berantakan karena ulahnya. Jingga menelan salivanya kuat-kuat. Apa yang dia lihat itu nyata. Zyan perhatian pada musuhnya.
"Hukuman apa yang engkau limpahkan padaku, Ya Tuhan! Kenapa harus Iren? Kenapa harus si Bapak jadi kakaknya?"
Manik mata Zyan kini beralih menatapnya. Ritme debaran jantung Jingga menjadi semakin cepat dari sebelumnya. Ada rasa kangen yang muncul di hati, tapi disela itu ada juga perasaan malu. Pertama, dia bermusuhan dengan adik calon gebetan. Kedua, keadaan Jingga yang super berantakan.
Jingga lebih memilih menundukan kepala ke bawah. Dari pada menerima tatapan menggoda pak Polisi. Ih maluin!
"Jingga, tinggal orang tua kamu yang belum datang, ke mana mereka?" tanya Ninik padanya membuat Jingga terpaksa menaikan pandangan pada Ninik.
"Mungkin orangtua aku lagi sibuk, Bu. Ayah kan kerja di rumah sakit, gak bisa tinggalin begitu saja pekerjaanya, kalau Bunda? Lagi jagain adik aku yang masih TK," jelasnya sambil menunduk kembali. Tapi ekor matanya melirik pada Zyan yang saat ini berdiri di sampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, I'm JINGGA
أدب المراهقينCover by @Lilinbening '''"Aku gak mau jadi adik, Bapak!"''' Zyan meangkat alisnya sebelah. "Lalu?" "Aku mau bapak melihat aku sebagai seorang wanita, bukan adik." Zyan tertegun. Memandang lekat pada Jingga, seorang gadis muda berseragam SMA, sedan...