Patah Hati

10.7K 692 21
                                        

Tepat jam empat Sore. Jingga tiba di depan rumahnya. Turun dari Taksi dengan wajah lesu. Ia mulai melangkah masuk sambil menenteng kantong kresek putih di tangan kirinya.

Semilir Angin sore yang lembut serasa kasar menerpa wajah yang kini terlihat memerah. Antara capek dan patah hati bercampur menjadi satu.

Sungguh sangat melelahkan hari ini. Jingga menemukan Kirana duduk di ruang tengah sedang asik bercengkrama dengan Adik kecilnya Kiyo. Entah kenapa ketika melihat sang Bunda tiba-tiba saja ia ingin bermanja. Jingga berjalan sedikit berlari kecil dan memeluk Kirana dari samping.

"Bunda!" lirihnya.

Kirana merasa kaget mendapati putri sulungnya yang sudah berada di samping dengan aura tak menyenangkan.

"Kakak, ada apa?" tanya Kirana kuatir. Tidak biasanya Jingga bersikap seperti itu ketika pulang sekolah. "Kakak sakit ya?" ujarnya memeriksa dahi putrinya dengan telapak tangan.

Jingga menggeleng kepala pelan. Ia tidak ingin berbicara. Karena separuh tenaga di dalam tubuhnya serasa pergi menjauh. Menggerakkan bibir saja terasa tidak mampu.

Hati Kakak yang sakit, Bunda." Batinnya.

"Kakak ada masalah? Coba cerita sama, Bunda. Ada apa?" Kirana membingkai wajah Jingga  Menatap lembut penuh sayang. Ia tahu kalau putrinya saat ini sedang tidak baik.

Jingga masih diam. Ia bingung mau cerita seperti apa dengan Kirana. Tidak mungkin kalau bilang, dia habis menyatakan perasaan kepada seorang Pria dan pria itu hanya diam tidak menjawab. Sangat jelas kalau dirinya telah di tolak. Fuuhhh!

Jingga berusaha untuk tersenyum.
"Gak ada, Bunda. Kakak cuma capek aja."

Kirana menyipitkan kedua matanya menatap putrinya teliti.
"Beneran?"

"Iya, Bunda. Tadi di sekolah, kakak habis ngerjain tugas kelompok, susah banget. makanya pulang agak telat, maafin Kakak ya, Bun. Hari ini pulangnya terlalu sore" Ujar Jingga Bohong.

Kirana menghembuskan nafas lega.
"Iya, Sayang. Gak apa apa, yang penting Kakak udah tiba di rumah dengan selamat."

Jingga hanya mengulum senyum. Tiba-tiba saja bayangan Zyan muncul lagi di benaknya. Ia menarik nafas dalam. Lalu membuangnya pelan.

"Kalau gitu Kakak ke kamar dulu ya, Bun." pamitnya dan bangkit dari sana.

Kirana merasa aneh dengan tingkah Jingga, memandang kepergian putrinya dengan diam.
"Kakak kenapa ya, kok aneh gitu?" gumamnya ke diri sendiri.

"Mungkin kakak ngantuk, Bunda," saut Kiyo polos menatap padanya. Kirana balik menatap pada putri kecilnya. Lalu tersenyum geli.

"Iya, sayang. Mungkin Kakak lelah."

Ia tersenyum lembut sambil mengelus rambut Kiyo yang hitam lurus itu.
.
.
Di kamar Jingga menghempaskan diri di kasur. Membuang begitu saja barang bawaanya. Tanpa menganti seragam lebih memilih memejamkan kedua mata. Namun, kejadian tadi di taman selalu terbayang. Berkali kali ia menghembuskan nafas jengah.

"Lupakan, lupakan, lupakan, please!"

Jingga bangun dan membuka kalungan sepatu di kedua kaki. Kemudian melempar begitu saja sembarang tempat. Lalu ia kembali merebahkan tubuh dengan kasar dan miring ke kanan. Sambil meraih boneka beruang berwarna Pink kesayangan.

"Nyownyow, dia jahat banget sama aku, Bapak jahat Nyownyow!" adunya pada boneka itu.

Tanpa sadar air mata sebagai bukti rasa sedihnya kini mengalir begitu saja. Ia merasa sakit hati atas perlakuan Zyan padanya. Jika tidak suka kenapa enggan untuk menjawab ungkapaan dari dirinya tadi. Kenapa mesti diam. Padahal ia susah payah mengumpulkan keberanian untuk mengatakan perasaanya. Kenapa tidak dihargai. Seolah dia seorang yang terburuk. Lalu, untuk apa senyum itu? Senyum setiap saat dia ukir untuknya. Apa hanya basa basi? Sungguh jahat!

Yes, I'm JINGGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang