"Bunda! Bekal yang kakak pesan udah siap belom."
Jingga melangkah ke dapur di mana Kirana tengah bergelut di depan kompor menyala. Spatula yang ia pegang terus menari-nari di atas wajan.
"Sudah, Kak. Tuh di atas meja," jelasnya. Jingga mengikuti tatapan Kirana dan melangkah untuk mengambil kotak nasi berwarna biru langit, yang sudah penuh terisi makanan.
"Wah, wangi. Pasti enak, makasi ya. Bunda," ucapnya senang. Di sambut anggukan Kirana.
"Tumben, minta dibikinin bekal, biasanya gak pernah mau bawa."
Jingga nyengir kuda di hadapan Kirana. Niatnya bekal itu untuk pria yang sudah mengisi hatinya akhir-akhir ini.
"Pengen aja. Bun!"
"Mau dilebihin gak, buat Nayla. Dia kan udah baik mau jemput Kakak tiap pagi," lanjut Kirana Berjalan ke arah rak piring.
"Boleh deh, Bun!"
Kirana tersenyum lalu mulai mengisi kotak satu lagi yang serupa.
"Oh ya, Kak. Gimana sekolah nya, gak ada masalahkan? Bunda jarang deh denger cerita lagi, biasanya setiap pulang sekolah ada aja yang diomongin sama Bunda." tanya Kirana masih sibuk menata makanan ke dalam kotak. "Terus, teman Kakak yang nama Iren itu masih sering usil juga?" lanjutnya menoleh sekilas.
"Ya, gitu deh, Bunda," jawab Jingga singkat sambil mengigit apel di genggamnya.
"Gitu deh gimana? Dia masih isengin Kakak?" Kirana menatap penasaran pada putrinya.
"Masih kadang-kadang. Jingga jarang ladenin dia, Bun. Biarin aja dia begitu, ntar juga capek sendiri."
Jingga berdiri dari duduknya. Lalu memeluk Kirana dari belakang. "Bunda, gak usah kuatir soal itu, Jingga bisa hadapinya sendiri kok," lanjutnya senyum manis.
Ia tahu dengan kecemasan Bundanya. Karena sejak kelas satu SMA. Dia sudah mendapatkan musuh yang sangat susah untuk di hindari. Sulit untuk dilawan.
Hanya karena kesalahan kecil yang tidak sengaja ia lakukan. membuat teman sekolahnya yang bernama lengkap Irenia, masih terus membalas dan membalas dengan ke jahilan.
Waktu itu Jingga pernah ketumpahan air comberan ketika ia keluar dari WC. Entah bagaimana satu ember air bisa berada di atas pintu WC. Membuat seluruh tubuhnya basah kuyup serta mengeluarkan bau sangat tidak sedap. Lalu saat mengikuti pelajaran komputer di LAB. Ia harus rela kehilangan sebelah sepatunya dan terpaksa Kirana membelikan sepatu baru malam itu juga.
Tidak hanya itu saja. Masih bayak hal-hal buruk dari yang kecil hingga hal besar terjadi pada dirinya selama dua tahun belakang.
Kirana mengelus ujung kepala putrinya lembut. Lega rasanya mendengar putri sulungnya yang tampak dewasa
"Iya, Bunda percaya. Putri Bunda udah besar sekarang, ya," ujarnya memutar tubuh kebelakang dan mencium dahi Jingga penuh kasih."Kalau ada apa apa. Jangan malu-malu, Bicara sama Bunda," lanjutnya.
Jingga hanya mangut-mangut saja dan memeluk tubuh Bundanya dengan erat. Begitu pun Kirana.
"Bunda sayang Kakak," bisiknya.
"Kakak juga sayang Bunda!"
.
.
.
Metic merah menyala dengan lincah melaju di tengah-tengah jalan raya. Angin kencang menyapa kasar wajah dua gadis yang duduk di atas motor itu. Jingga menggalung erat di pinggang Nayla. Sedangkan yang di peluk acuh tengah serius dengan laju kendaraanya."Nay, Lo gak lupa kan sama tujuan kita?" tanya Jingga terdengar jelas di telinga kiri Nay.
"Tahu, mau nengokin mas-mas berewokan itu kan?" jawab Nayla enteng
Jingga terkekeh lalu mangguk dua kali. "Lo emang sahabat gue yang paling pengertian, Nay!" ujarnya riang lalu dengan santai menompang dagu di bahu Nayla.
"Terpaksa, gue menolak pun juga nggak bisa."
"Nay, kejam banget sih lo!"
Gadis berkaca mata itu nyengir kuda setelah mendapatkan pukulan kecil di pundaknya.
"Nanti kalau gue udah jadian, gue bakal minta kenalin elo sana mas-mas berowok lainnya.""Ogah! Gue nggak nafsu ama yang tua-tua."
"Sialan."
"Hahaha!"
.
.
.
.
Di bawah pepohonan yang rindang. Zyan dan dua temannya bercakap-cakap kecil dan bergurau serta bersiap dengan pekerjaanya untuk menertipkan para pengguna jalan.Di tengah-tengah keasikan itu. Seorang gadis belia mengalihkan perhatian mereka. Teruma Zyan yang tak bisa menutupi kekagetannya.
"Pak!"
Jingga berdiri sepuluh langkah darinya. Memakai seragam layaknya Murit SMA. Rambut panjang gadis itu digerai begitu saja, di satu sisi terselip manis di balik telinga. Di pundaknya tergantung sebuah tas menyamping ke kiri, di tangan memegang satu buah kresek warna putih. Yang tengah tersenyum manis padanya.
"Jingga?" Zyan berajalan mendekat. "Ada apa?"
"Mau nemuin, Bapak."
Zyan memandang Jingga dari ujung kaki hingga ujung kepala. Sedikit tidak percaya bahwa gadis itu benar-benar menemuinya di sini.
"Untuk apa?"
"Ini!" ujarnya menyodorkan kresek putih berisi bekal yang telah di masak oleh Ibunda Kirana pagi tadi.
Zyan langsung menerima kantong Kresek itu. "Apa ini?"
"Sarapan buat, Bapak. Biar kerjanya tambah semangat."
Zyan mengintip sedikit di balik celah kresek itu.
"Baik banget Ibu kamu, sampe mau bikinin bekal buat saya."Jingga ketawa jenaka. Bagaimana pun dia tidak bisa berbohong dan mengaku kalau dia yang memasak makanan itu.
"Masakan Bunda aku enak loh, Pak! Jangan lupa di habisin, nanti sepulang sekolah aku jemput lagi kotak nasinya. Soalnya, itu kotak harganya mahal, kalau gak aku bawa balik, Bunda bisa ngomel-ngomel," jelas Jingga tanpa jeda. Membuat Zyan ikut ketawa.
"Ya ya ya, nanti saya kabari ke kamu di mana tempat ketemuan kita," lanjut Zyan.
"Hem, barusan, Bapak ngajak aku kencan?" goda Jingga mengulum senyum. Zyan terperangah lalu dengan cepat mencentil dahi Jingga.
"Aduhh! Sakit. Bapak!!" rengek nya meringis kesakitan sambil mengelus bekas centilan Zyan.
"Sekolah dulu yang bener. Dah sana balik kesekolah, nanti telat, inget pake helm yang bener demi keselamatan kamu, bilang sama teman kamu jangan ngebut-ngebut!" terangnya panjang lebar.
Jingga memasang wajah manyun. "Cerewet banget dah!" batinnya.
"Iya, pak polisi, siap! Aku balik dulu."Jingga memutar tubuhnya dan mulai berjalan males di mana Nayla menanti dengan motor. Setelah beberapa langkah sebuah panggilan menghentikannya.
"Jingga! Terima kasih!" Ucap Zyan tulus di ikuti senyuman kecil.
Gadis itu meanggukkan kepala cepet seraya tersenyum lebar bahkan gigi-giginya tampak tersusun rapi. Satu kalimat itu seakan memulihkan semangatnya yang tadi menghilang.
Nayla yang masih menunggu di atas motor hanya geleng-geleng kepala melihat sahabatnya yang tak habis-habis tersipu malu oleh mas-mas berewok itu.
.
.
.
Bersambung...Jangan lupa Vote or comen. Thanks ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Yes, I'm JINGGA
Teen FictionCover by @Lilinbening '''"Aku gak mau jadi adik, Bapak!"''' Zyan meangkat alisnya sebelah. "Lalu?" "Aku mau bapak melihat aku sebagai seorang wanita, bukan adik." Zyan tertegun. Memandang lekat pada Jingga, seorang gadis muda berseragam SMA, sedan...