3. Danger

1K 113 13
                                    

Hyora's POV

AKU mengerang sambil merenggangkan otot-otot tubuhku yang seharian ini sudah bekerja keras, lalu menghempaskan diri ke kasur sambil berguling-guling sebentar.

"Aigoo... Hari ini melelahkan sekali."

Menjadi pekerja paruh waktu tidak pernah mudah untuk anak SMA sepertiku.

Di pagi hari aku harus berkutat dengan pelajaran hingga sore dan pulangnya pergi ke café untuk bekerja sampai malam.

Padahal jika aku ingin, aku bisa saja tidak bekerja dan tetap tinggal bersama Seokjin dan orangtuanya. Namun aku tidak ingin mengandalkan uang mereka untuk memenuhi kebutuhanku. Jadi sejak aku SMP, aku sudah memutuskan untuk tinggal di rumah lamaku dan bekerja paruh waktu.

Tentu saja Seokjin dan orangtuanya sudah mencoba memintaku untuk tetap tinggal, malah memaksa, tapi aku menolak. Itu hanya akan membuatku makin tergantung pada mereka. Lagipula aku tahu diri kalau aku hanyalah keluarga angkat.

Ayah dan Ibu Seokjin sudah kuanggap seperti orangtuaku sendiri. Aku sudah terlalu sering merepotkan keduanya. Mereka selalu mengunjungiku setiap minggu untuk sekedar melihat bagaimana keadaanku ataupun mengantarkan masakan rumah yang selalu kurindukan.

Ting!

Ponselku bergetar di saku mantel yang kupakai.

Aku menceknya dan melihat ada satu pesan masuk dari nomor tidak dikenal.

Hei, ini aku, Taehyung. Aku mengubah nomor ponselku. Bisa temui aku besok?

"Taehyung? Apa ponselnya masih terblokir? Aish, sudah kuduga itu akan sulit."

<STIGMA>

"Ya! Neo gwaenchana?" Seorang anak laki-laki berlari menghampiri tempatku terduduk.

Aku tidak menjawabnya dan terus menangis sambil memanggil ayah dan ibuku.

"Kepalamu berdarah! Bagaimana ini?!" Dia terlihat panik sambil menolehkan kepalanya ke sekitar, mencari sesuatu.

"Tunggu di sini! Jangan ke mana-mana. Aku akan segera kembali." Lalu anak laki-laki itu berlari menjauh hingga tidak terlihat lagi.

Kutolehkan kepalaku ke samping di mana mobil yang kutumpangi beberapa waktu lalu sudah terbalik dan hancur remuk.

"Eomma¹... Hiks... Appa²..." (¹Ibu; ²Ayah)

Aku melihat boneka kelinci yang baru saja orangtuaku belikan di festival musim dingin sore tadi hampir terkubur di salju putih. Ada sedikit noda darah di telinganya. Lantas kuambil dan kupeluk erat.

Beberapa menit kemudian, anak laki-laki itu kembali lagi dengan menarik dua orang dewasa di kedua tangannya.

"Ppalli¹, appa, eomma! Itu di sebelah sana! Dia terluka." (¹Cepat)

"Memangnya ada apa—Omo¹! Apa yang terjadi di sini?" Wanita yang berada di samping kiri anak laki-laki itu menutup mulutnya terkejut melihat keadaanku. (¹Astaga)

"Ya Tuhan... Cepat telepon 119!" suruh pria paruh baya di sebelah kanan dengan sedikit memekik.

Sang wanita mengangguk dan mengeluarkan ponselnya untuk menelepon panggilan darurat.

"Kalian harus menolongnya terlebih dahulu!" Anak laki-laki itu menunjukku yang masih sesegukan sambil menarik tangan dua orang di sampingnya mendekatiku.

StigmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang