25. House of Cards

538 67 1
                                    

CAHAYA bulan purnama malam ini terasa begitu terang di langit hitam sana. Seolah sedang menyuruh semua makhluk hidup yang berada di bumi hanya memandang ke arahnya daripada benda-benda langit lain.

Dan nyatanya, memang itu yang dilakukan oleh seorang pria berumur jalan 20 tahun di Kota Seoul yang masih belum tidur saat jam sudah menunjukkan pukul 00.34 dini hari. Entah apa yang tengah mengganggu pikirannya sampai ia bahkan tidak menaruh perhatian pada seseorang yang membuka pintu balkon.

"Taehyung-ah, kau tidak tidur?" Pria berkulit pucat itu bertanya, memposisikan dirinya berdiri di samping Taehyung dan ikut memandang langit malam. "Ini sudah tengah malam, bodoh. Kau harus mengisi energimu untuk rencana kita besok."

"Kau sendiri juga begitu," balasnya sedikit sarkastik, tidak berminat untuk sekedar melirik sekilas ke arah Yoongi. "Bagaimana pertemuanmu dengan Hyegi tadi?"

"Baik-baik saja. Tidak ada masalah."

Taehyung mencebik, iri dengan situasinya yang berbanding terbalik. "Aku ikut bahagia," katanya setengah hati.

Yoongi terbahak dengan nada mencemooh. "Melihat reaksimu, kurasa itu tidak berjalan lancar denganmu."

"Mau mendengar ceritaku?"

"Tidak, terima kasih. Tanggung saja sendiri."

"Baiklah." Taehyung menarik napas dalam. "Kami bertengkar."

Yoongi lantas menggeleng-geleng, memasang wajah sok prihatin. "Ya, aku bisa menduganya."

"Tapi tidak lama, hanya sebentar. Setelah itu kami berbahagia," timpal Taehyung cepat, tidak mau kalah dengan kisah asmara Yoongi. "Kau bisa percaya ini? Bagaimana bisa dia membandingkanku denganmu? Jelas sekali aku jauh lebih baik."

"Denganku?" ulang Yoongi mengernyit bingung, tidak menghiraukan omong kosong Taehyung yang lain.

"Soal, kau tahu, kau yang setiap saat bisa menghubungi pacarmu, dan aku yang bahkan tidak bisa menyentuh ponselku sedetik saja karena Jungwon akan mengomel."

Alih-alih turut bersedih, Yoongi terbahak lagi. "Kau memiliki nasib yang sangat buruk," ejeknya. "Tentu saja Jungwon akan menegur. Sejak awal ini adalah masalahmu, kau yang seharusnya lebih banyak bertanggung jawab, kami hanya mencoba membantu. Karena itu, jika kau membuat kesalahan, aku juga tidak akan berpikir dua kali untuk membentakmu."

"Begitukah?"

Yoongi mengangguk. "Aku bisa mengerti kau merindukannya. Tapi kau juga harus memikirkan kami yang sudah mengorbankan waktu untuk membantumu di sini. Aku bahkan seharusnya sedang belajar sekarang."

"Lalu, kenapa kau tidak belajar?"

"Menurutmu aku punya pilihan? Otakku sudah lelah karena seharian ini memikirkan rencana kita besok. Belum lagi aku harus membantumu berlatih. Satu-satunya waktu yang efektif untukku belajar hanya di sekolah."

Kata-kata itu bahkan lebih tajam dari sebuah pisau daging. Mendadak Taehyung juga terpikirkan dengan Daewook, Jungwon, juga Jae In. Mereka membantunya tanpa dibayar satu peser uang pun, dan dia malah sering berpikir mereka yang terlalu berlebihan jika dirinya membuat kesalahan. Padahal Taehyung tidak pernah tahu apa yang selama ini mereka korbankan hanya untuk membantunya menyelesaikan masalah ini. 

Yoongi benar. Sejak awal ini adalah masalahnya. Dia tidak boleh hanya memikirkan dirinya sendiri dan berpikiran pendek. Apa jadinya jika dirinya harus membereskan semua kekacauan ini sendirian? Mungkin Hyora juga akan jadi korban.

Untungnya Hyora adalah gadis yang sangat pengertian. Dia akan selalu mendengarkan penjelasan dari mulut Taehyung sendiri dan tidak mau menenggelamkan diri dalam perspektif yang salah. Meskipun dia yakin gadis itu sempat berpikiran buruk.

StigmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang