33. Magic Shop

452 44 6
                                    

Hyora's POV

LETAK fakultas jurusanku tidak terlalu jauh dari fakultas kedokteran tempat Hyegi berada, jadi aku tadi menyempatkan diri menemuinya untuk mengajak makan siang di kafetaria, karena satu-satunya temanku yang ada di jurusan—Park Jiran—harus izin ke ruang kesehatan sejak kelas pertama.

Sore kemarin, setelah aku pergi dari café, Jiran yang memang sudah legal meminum alkohol tidak bisa mengontrol diri dari batas soju yang bisa dia tahan. Padahal dia memberitahuku untuk mengingatkannya jika sudah minum terlalu banyak. Tapi sayangnya aku tidak bisa tinggal lebih lama kemarin. Alhasil, keesokan harinya gadis itu bahkan tidak bisa berdiri dengan benar.

"Untuk siapa?" tanya Hyegi, melihat ke arah kantong plastik di tanganku yang berisi beberapa roti dan air mineral.

"Jiran. Teman satu jurusanku. Dia habis minum banyak di acara perayaan semalam. Kapan-kapan akan kukenalkan kau padanya," jawabku, mulai memakan makan siang yang sudah diambilkan Hyegi. "Bagaimana denganmu? Apa kemarin ada acara perayaan?"

"Ya. Tapi aku tidak ikut. Aku ada acara sendiri dengan Yoongi," ujarnya, lagi-lagi tersenyum lebar setiap kali bercerita tentang pria pucat itu. Padahal dia sudah melakukannya berjuta-juta kali.

"Heol, jinjja." Aku memutar mata jengah. Padahal aku sendiri juga tidak berbeda jauh. "Dia baik-baik saja sekarang?"

"Jauh lebih baik. Kau tahu, aku ingin menangis ketika dokter bilang lokasi tulangnya yang patah termasuk kategori aman dan akan sembuh dengan cepat." Wajah Hyegi seketika dipenuhi perasaan lega, membuatku jadi ikut tenang melihatnya. "Kakinya sudah bisa dibawa berjalan, tapi dia masih harus berhati-hati."

"Syukurlah. Aku senang mendengarnya." Senyumku merekah luas. Diam-diam mendoakan kesembuhan Yoongi di dalam hati.

Bagaimanapun aku merasa bersalah sekali saat mendengar alasan sebenarnya dia bersedia membantu Taehyung dalam operasi yang menjadi penyebab kedua kakinya patah.

Taehyung bercerita padaku, awalnya Yoongi juga menolak untuk ikut, selain karena kesan pertama pertemuan mereka kurang bagus, dia juga mesti mempertaruhkan hidupnya jika terjadi apa-apa. Tapi ketika mengetahui aku bisa menjadi korban jika masalah tersebut tidak cepat diselesaikan, dia akhirnya bergabung.

Min Yoongi yang selama ini kutahu adalah pria dingin dengan wajah yang kekurangan emosi dan tidak suka disentuh, ternyata mempunyai hati yang begitu lembut dan tulus.

"Bagaimana dengan Taehyung? Kudengar dia tertembak tiga kali dan tangan kirinya patah?"

Aku mengangguk membenarkan. "Dia cepat sekali sembuh. Aku juga tidak mengerti kenapa bisa begitu."

"Kurasa karena kau sering membuatkannya makanan rumah setiap kali menjenguknya waktu di rumah sakit." Ekspresi Hyegi lalu berubah sangar memandangku. "Kau bahkan menyuruhku membantumu memasak! Padahal kau tahu memasak adalah hal yang paling kubenci setelah ruang gelap dan sempit."

"Ya, wanita itu harus bisa memasak. Bagaimana kau akan memberi makan suamimu nanti jika tidak belajar dari sekarang?"

"Memesan dari luar?" ujarnya santai, seolah itu rencana masa depannya yang sudah dipikirkan matang-matang. "Yoongi tidak akan keberatan."

"Baiklah, coba lakukan itu dan bilang padaku jika nanti Yoongi tidak akan mempermasalahkan tentang kau yang tidak bisa memasak," balasku telak, teringat Hyegi yang hampir membakar rumahnya sendiri hanya karena ingin memasak ramyeon.

Dia lantas terdiam. Bibirnya menekuk kesal. "Arasseo! Aku akan belajar memasak," kata gadis itu akhirnya. "Tapi tidak sekarang. Aku lebih baik berurusan dengan hapalan fungsi organ tubuh daripada dengan pisau dan bawang merah."

StigmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang