24. Tomorrow

482 62 4
                                    

Taehyung's POV

HALAMAN rumah Hyora kelihatan sangat gelap dari kejauhan. Kurasa gadis itu belum pulang. Mungkin masih bergelut dengan soal-soal ujian tahun kemarin bersama kekasih Yoongi di perpustakaan. Aku sengaja tidak menghubunginya bahwa aku akan berkunjung setelah sekitar sembilan belas hari kami tidak bertemu. Selain karena ingin membuatnya terkejut, ponselku juga mati.

Pencahayaan di depan rumah gadis itu sangat minim. Meskipun terdapat lampu jalanan yang terletak tidak jauh dari pagar, aku masih tidak bisa melihat dengan jelas. Biasanya Hyora sudah menyalakan lampu teras sebelum jam 6 sore jika sedang ada di rumah.

Pukul berapa sekarang? Kenapa dia belum juga pulang? Kalau tahu begini lebih baik aku memberitahunya terlebih dulu supaya dia pulang cepat.

Suara decitan besi menggema ketika aku membuka perlahan pintu pagar yang memang tidak pernah dikunci Hyora, dan memutuskan untuk duduk di teras menunggu gadis itu.

Selama tiga minggu terakhir tidak melihatnya, aku memikirkan banyak hal. Hyora pasti sudah sangat bekerja keras untuk minggu ujian yang akan datang. Aku lega mengetahui itu. Dia sudah dipastikan akan lulus di universitas manapun yang dia inginkan. Diam-diam aku merasa bangga pada gadisku yang sangat giat merancang masa depannya. 

Sementara itu, aku bersama Daewook, Yoongi, Jae In, dan Jungwon, tidak pernah seharipun melewatkan pematangan rencana kami. Rasanya seperti seorang prajurit yang sedang dilatih di akademi militer, aku tidak pernah tidur lebih dari tiga jam. Walaupun pada dasarnya aku hanya berlatih menembak untuk menyempurnakan bidikanku, ternyata itu lebih sulit dari yang kubayangkan.

Yoongi, yang sering membantuku berlatih, ketika dia tengah dalam mood buruk terkadang bisa mengomeliku habis-habisan saat melakukan kesalahan fatal. Bahkan tidak segan membentakku dibanding Jungwon yang seharusnya lebih berhak melakukannya.

Daewook juga tidak beda jauh. Aku tidak pernah melihatnya sangat serius seperti akhir-akhir ini ketika berbicara padaku. Maksudku, kami pernah bicara serius, tapi tidak akan sampai merubah suasana menjadi tegang. Dan aku hampir tidak pernah takut jika disuruh menatap matanya. Kurasa begitulah penampakan kesehariannya saat bertugas sebagai kapten.

Aku menghela napas, panjang sekali. Ini minggu terberat untukku di musim gugur.

Di antara keheningan malam dan lamunanku, samar-samar terdengar suara tawa seorang wanita tidak jauh dari mataku memandang.

Itu Hyora. Berjalan bersama pria yang tidak pernah kutahu adalah teman atau orang terdekat gadisku.

Hormon adrenalinku seketika meningkat pesat. Wajahku sudah mengeras sejak melihat tawa Hyora yang begitu lepas. Aku mengepalkan tanganku kuat-kuat menahan api kemarahan—atau lebih tepatnya kecemburuan—yang mendidih hingga kurasa kepalaku bisa meledak kapan saja. Sekalipun gadis itu terlihat bahagia, aku tidak menyukai senyum yang diukir bibirnya untuk pria lain. Apalagi untuk pria yang tidak kukenal.

Amarahku berada di puncaknya tatkala melihat tangan pria itu menyentuh bahu gadisku selama lima detik sebelum akhirnya menurunkannya. Aku bangkit sambil mendesah kasar. Kupikir suhu malam ini melonjak naik beberapa derajat celcius. Tubuhku terasa terbakar.

Dan sampai akhirnya mereka berhenti tepat tujuh meter di depanku, aku tidak bisa menahannya lagi. Kakiku melangkah cepat mendekati mereka.

"Shin Hyora." Suaraku yang keluar sedingin es di lemari pendingin.

Gadis itu lantas menoleh dan matanya berubah semakin berseri dari biasanya. Aku hampir berniat menghilangkan kemurkaanku dan bersikap seolah biasa saja. Tapi egoku menang kali ini.

"Taehyung-ah!" Hyora terlihat seakan sudah siap berlari ke arah tempatku berdiri dan mengalungkan tangannya erat-erat di leherku, jika saja tidak ada pria tidak dikenal itu di sini.

StigmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang