39. We On

516 46 21
                                    

TANGAN Hyora yang terikat tidak bisa berhenti meremas satu sama lain sejak Ahn Jaehyun mendudukkannya di kursi kayu yang berhadapan langsung dengan pria itu. Lilitan kain tidak lagi membungkamnya, tapi alih-alih bicara, Hyora justru tidak membuka mulut sama sekali. Dia hanya menundukkan kepalanya dalam-dalam sedari tadi, tidak ingin membuat kontak mata langsung dengan pria yang memiliki dendam lama pada kekasihnya tersebut.

Sementara itu, Jaehyun memutar balik kursinya lalu duduk dengan lengan tertumpuk rapi di atas punggung kursi, satu tangan menggenggam sebuah pistol. Matanya menatap Hyora lurus-lurus sambil memainkan lidahnya di dalam mulut. "Kerja bagus, Hyora-ssi, kau bekerja sama dengan baik," ujarnya mengapresiasi. Lalu setelahnya menghela kebosanan. "Tapi ini jadi tidak menyenangkan. Aku tidak mempunyai alasan untuk menggunakan pistolku."

Rambut-rambut halus di tangan Hyora langsung meremang. Dia makin meremas tangannya erat, belum berani mengangkat kepalanya. Saking ketakutannya, dia tidak merasakan sakit lagi pada pergelangan tangannya yang terikat kuat oleh tali tambang.

"Apa aku semenyeramkan itu untuk dilihat sampai kau enggan sekali menatapku, Hyora-ssi?" ujar Jaehyun tajam, berniat bermain-main sebentar. Dia tahu bahwa Hyora tidak akan membuka suara jika tidak dipancing terlebih dulu. "Aku paling tidak suka kalau lawan bicaraku tidak menatapku."

Perkataan itu berhasil membawa pandangan Hyora mengarah pada Jehyun sekilas. Hanya tiga detik, setelah itu dia menurunkan tatapannya lagi. "Apa yang kau inginkan?"

"Aku?" Jaehyun menunjuk dirinya sendiri. "Tidak ada. Aku sudah mempunyai semua hal yang kubutuhkan." Kemudian dia membalikkan arah telunjuknya pada Hyora. "Kau. Kita tinggal menunggu kekasihmu datang dan tidak ada lagi yang kubutuhkan."

"Kalau begitu pergilah, tinggalkan aku di sini sendirian sampai dia datang," suruh Hyora. Suaranya bergetar, meredam rasa takutnya sendiri. "Bukankah itu lebih baik daripada kau hanya bicara omong kosong padaku?"

"Wah." Jaehyun tertawa. Bukan sebuah tawa yang enak didengar, tapi lebih kepada menunjukkan jika dia tidak suka dengan apa yang dikatakan Hyora barusan. "Apa kau sedang mencarikanku alasan untuk menyakitimu?"

Hyora menggigit bibir bawahnya kuat, sadar jika dia sudah salah bicara. Kepalanya masih tertunduk, mengawasi bayangan Jaehyun yang mulai mendekat ke arahnya dengan pistol di tangan kiri. 

Kemudian dengan satu kali sentakan, wajah Hyora terdongak ke atas dengan paksa dan tiba-tiba saja pistol itu sudah menghantam keras pipi kirinya. Cukup keras sampai dia bisa mendengar bunyi benda itu bertabrakan dengan tulangnya.

"Jangan pernah berpikir bahwa aku adalah pria baik, Hyora-ssi. Terutama ketika aku sedang memegang pistol. Itu adalah peraturan yang harus kau tahu jika ingin tetap hidup." Selanjutnya Jaehyun memegangi dagu Hyora dengan satu tangan agar gadis itu menatap langsung ke matanya. "Dan tatap aku ketika aku sedang bicara. Apa kau terlalu bodoh untuk mengerti apa yang kukatakan?"

Hyora tetap tidak mengindahkahkan perintah itu. Dia memilih memejamkan matanya rapat-rapat daripada harus melihat langsung ke arah mata Jaehyun, seakan mata tersebut memiliki kemampuan yang sama dengan mata Medusa yang bisa mengubahnya menjadi batu.

Jaehyun mendesah jengkel. "Kau memang tidak mudah."

Sedangkan Hyora masih mencoba berkompromi dengan rasa ngilu yang teramat sangat pada sisi kiri wajahnya, dan lidahnya yang mengecap rasa besi memberitahu bahwa sudut bibirnya berdarah, atau mungkin bagian dalam mulutnya juga kena imbas.

"Lihatlah, kau jadi terluka karena tidak menurut kan," tutur Jaehyun dengan nada suara seolah dia menyesal telah menampar Hyora dengan pistol jenis HS-9 miliknya. "Apa yang akan kukatakan pada Taehyung nanti? Dia akan membunuhku."

StigmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang