26. We Are Bulletproof

516 58 9
                                    

Hyora's POV

"HANYA itu yang dia katakan?" tanyaku tidak yakin.

Seokjin balas berdeham singkat. Terlihat mencurigakan. Firasatku mengatakan dia tidak benar-benar memberitahuku yang sebenarnya.

"Benarkah?" ulangku sekali lagi untuk memastikan.

"Ya, kau tidak percaya padaku?" Wajah Seokjin seketika mengerut masam.

Aku mengangkat bahu heran. "Entahlah. Rasanya aneh sekali. Dia memintamu untuk membawaku ke rumah ayah dan ibu hanya supaya kau bisa mengantarku ke sekolah lebih mudah?"

"Apanya yang aneh? Kaunya saja yang terlalu sensitif," katanya, tidak lagi membuat kontak mata denganku. "Sudahlah, tidak usah memikirkan itu. Belajar saja yang rajin. Ujianmu tinggal dua hari lagi, kan?"

Kuanggukkan kepalaku lemah. "Ne."

Seokjin menoleh sekilas dengan sirat khawatir, memastikan aku baik-baik saja. "Kau ingin makan daging?"

Aku menggeleng pelan. "Aku ingin makan masakan ibu saja." Kupalingkan tubuhku menghadap jendela dan mengawasi daun-daun musim gugur yang berjatuhan menutupi jalanan kota Seoul.

Tiba-tiba kurasakan tangan Seokjin menjangkau bagian belakang leherku dan menarikku ke dalam celah lengannya yang cukup kuat. Kemudian rambutku diacaknya asal-asalan. "Lakukan dengan baik di ujianmu nanti, eoh?"

"Tentu. Tapi tidak usah mencekikku, oppa!" seruku nyaring sembari terus memukul lengan Seokjin untuk melepaskanku dari jeratannya.

Dia hanya terkikik geli sampai puas, lalu beberapa detik setelahnya melepaskanku. Aku mendengus kesal. Tubuhnya tidak bau atau apa, malah sempat tercium wangi parfum dari brand favoritnya, tapi dia bisa membuatku pingsan di tempat karena kehabisan oksigen.

"Kau ingin membunuhku?" Lantas kupukul bahu lebar Seokjin berkali-kali tanpa belas kasih.

"Akh—mianhae, mianhae." Satu tangannya masih tetap memegang kemudi dan yang lainnya mencoba untuk menghentikanku. Karena pertengkaran kecil itu mobil yang kami tumpangi sempat membelok dari jalur. "Ya, ya, aku sedang menyetir."

Aku memukulnya sekali lagi dan berhenti. Seokjin tergelak melihat wajahku yang memberengut. Lalu tidak lama aku ikut terbahak mendengar suara tawanya yang mirip seperti suara kaca yang sedang dibersihkan.

Kami berdua menghabiskan sisa hari itu mengerjakan hal-hal yang sudah lama tidak kami lakukan sejak aku memutuskan untuk tinggal sendirian di rumah lamaku.

Dan dia masih menjadi pemegang gelar kakak laki-laki terbaik yang pernah Tuhan kirimkan untuk seorang gadis kecil.

<STIGMA>

Taehyung's POV

"19.07. Kita sudah sampai di tempat target." 

Suara Jungwon akhirnya mengisi keheningan yang terjadi cukup panjang dari headset yang terpasang di masing-masing telinga kami.

"Dimengerti," jawab Daewook yang berada di sebelahku. Ia sibuk memperbaiki letak mic komunikasinya di depan mulut. "Yoongi, bagaimana keadaanmu? Kau sudah di posisi?"

Ada suara glitch yang lebih dulu terdengar sebelum muncul suara parau Yoongi. "Pemandangan di sini cukup bagus, kau tahu."

"Aku meragukan itu," cibir Daewook yang lebih dari tahu keadaan di tempat Yoongi berada. "Jae In-ah, bagaimana denganmu?"

"Semuanya aman terkendali, hyung."

StigmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang