7. Nevermind

864 105 8
                                    

Hyora's POV

APA kau pernah merasakan suasana yang sangat amat canggung dengan orang yang baru saja kau temui, lalu seorang teman dari orang yang baru saja kau temui ini datang dan menambah kecanggungan yang sudah tercipta?

Kurang lebih seperti itulah suasana yang saat ini tengah melingkupi ruang VIP dari pasien bernama Song Miji.

Baru beberapa menit yang lalu gadis itu mendudukkanku di sofa dan berkata,"Wajahmu manis sekali. Jadi apa yang ingin kau ketahui?" lalu kemudian pria ini masuk ke ruangan Miji tanpa embel-embel sapaan dan langsung membuat gadis di sebelahku yang tadinya sangat antusias menjadi terdiam.

Tangan Miji masih setia memeluk lenganku, jari-jarinya sesekali meremas jaket yang kupakai. Aku benar-benar tidak nyaman dengan situasi ini. Ditambah dengan tatapan tajam pria yang duduk di ujung ranjang pasien itu. Sejak ia masuk ruangan Miji, matanya tidak pernah terlepas pada kami berdua. Tidak, tidak. Lebih tepatnya pada Miji. Sedangkan yang ditatap hanya memandang kosong ke lantai ubin.

Aku menghirup napas. Tidak tahan lagi. "Ekhem, sepertinya lebih baik aku pulang saja."

Miji buru-buru menarikku kembali duduk. "Kau tidak boleh pergi. Taehyung akan mengomeliku kalau dia tidak menemukanmu di sini saat dia kembali."

"Aku yang akan meninjunya duluan sebelum itu terjadi." Si pria di ujung ranjang buka suara. Namun alih-alih menjawab, Miji bahkan tidak memalingkan wajahnya pada pria itu.

Kemudian Miji tersenyum masam padaku. "Maaf membuat suasananya jadi tidak enak. Bagaimana kalau kita keluar sa—"

"Chogiyo, agasshi¹. Maafkan aku, tapi bisakah kau meninggalkan kami sebentar? Aku ingin bicara dengannya." Pria bermata sipit itu berbicara padaku dengan wajah yang terlihat seperti kehilangan harapan. (¹Nona)

Namun belum sempat aku menjawab, Miji sudah lebih dulu berdiri dengan tongkat kruknya dan menarik tanganku. "Ayo kita ke taman."

"Song Miji." Pria itu bergerak menahan tangan kanan Miji lebih cepat dari kereta api maglev buatan Jepang.

Aku merasa tengah menyaksikan secara langsung adegan drama yang sering kutonton di televisi café, dan itu malah membuatku jadi semakin tidak nyaman.

"Lepaskan aku," kata Miji tanpa menoleh. Aku mulai berpikir jika ada urat lehernya yang terpelintir.

"Ayo bicara sebentar."

"Lepaskan tanganku."

"Tidak sebelum kau bicara padaku."

"Kubilang lepaskan aku, Park Jimin!"

Aku tersentak ketika Miji berteriak nyaring bersamaan memutar tubuhnya menghadap pria yang ternyata bernama Park Jimin itu. Kuharap jantungku masih dalam keadaan sehat.

Baiklah cukup, sepertinya aku benar-benar harus pergi.

Kusadari tanganku sudah terbebas dari cengkraman erat Miji. Kakiku mencoba melangkah seringan bulu angsa menuju pintu selagi mereka berdua sedang memperdebatkan sesuatu yang tidak kumengerti.

Langkah demi langkah dan akhirnya aku sudah berada di luar ruangan. Kututup pintu sepelan mungkin agar tidak menimbulkan suara.

"Kenapa keluar?"

"Kkamjjagiya¹!" Aku hampir memukul kepala Taehyung yang mendadak muncul di belakangku. Sekali lagi, kuharap jantungku masih baik-baik saja. "Kau kembali?" (¹Kaget aku!)

"Eoh, aku melupakan sesuatu," katanya. "Kenapa kau di luar?"

Aku menunjuk sekilas pada pintu ruangan Miji. "Kurasa ada masalah yang harus diselesaikan Miji terlebih dulu, jadi aku tidak ingin mengganggu."

StigmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang