6 • Membutuhkan Darah

4.9K 577 83
                                    

"Bagaimana aku harus memanggilmu?" buka Jisoo ditengah keheningan.

Mereka berdua tengah berjalan sekarang. Tidak tahu akan kemana. Mereka hanya terus berjalan.

"Panggil saja aku Jen." balas vampir itu.

"Baiklah, Jen, ingin kau bawa kemana aku sekarang?" Jisoo terus mengikuti Jen.

"Aku...tidak tahu." jawab Jen.

Jisoo seketika menghentikan langkahnya. Apa-apaan ini? Dia dipermainkan?

"Kau ini bagaimana sih? Kau memaksaku untuk ikut denganmu tapi kau tidak tahu mau membawaku kemana." kesalnya sembari menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

"Aku hanya ingin kau ikut bersembunyi denganku, agar para Victon itu tidak mengetahui keberadaan kita." Jen ikut berhenti dan coba membujuk Jisoo.

"Memangnya ada apa?" tanyanya penasaran.

"Haruskah ku ceritakan padanya tentang ini semua?" Jen berkata dalam hati.

"Baik, akan kuceritakan. Duduklah disini." Jen menyuruh Jisoo untuk duduk disampingnya selagi ia bercerita.

Jisoo menurut lalu duduk di sebuah batang pohon yang sudah tumbang. Jen memulai ceritanya.

"Jadi, Ayahku sedang sakit." bukanya.

"Bawa saja dia ke rumah sakit." santai Jisoo.

"Huh? Apa itu rumah sakit?" Jen yang lagi-lagi tidak tahu apapun yang dikatakan Jisoo.

"Ah itu, emm, apa ya?" Jisoo memikirkan kata-kata yang sekiranya Jen akan mengerti.

"Dia pernah bilang bahwa disini hanya ada kastil dan tidak ada rumah, pantas saja jika dia tidak tahu apa itu rumah sakit. Apa itu berarti dia akan mengerti jika aku menyebutkannya kasil sakit?" batin Jisoo dalam hati.

"Eum, maksudku kastil sakit." katanya coba-coba.

"Kastil sakit? Apalagi itu? Ah, aku tidak tahu apapun yang kau katakan." Jen dibuat frustasi oleh gadis cantik yang tengah bersamanya itu.

"Ah, kau tidak mengerti juga rupanya? Kalau begitu lanjutkan saja ceritamu." ujar Jisoo yang putus asa.

"Baiklah. Saat ini dia sekarat dan nyawanya sudah di ujung tanduk." Jen kembali bercerita.

"Lalu kenapa kau malah pergi dan tidak menemaninya selagi dia masih hidup?" tanya Jisoo masuk akal.

"Kau tidak tahu apapun." Jen menundukkan kepalanya.

"Dulu Ayahku tidak mau membantu untuk menyelamatkan Ibukku saat Ibukku mengalami hal yang sama seperti ini." tatapan Jen mulai kosong dan matanya sayu.

"Dia juga mencegahku saat aku akan mencarikan darah untuk menyelamatkan Ibukku." lanjutnya.

"Darah?" tanyanya menautkan alisnya.

"Iya, setiap vampir akan mengalami hal itu dan membutuhkan darah segar dari manusia. Dan saat itu Ibukku tidak mendapatkan darah yang dimaksud, kemudian dia musnah." jelasnya.

"Tunggu, jadi maksudmu sekarang Ayahmu sedang membutuhkan darah manusia juga?" tanya Jisoo serius.

"Begitulah." santainya.

Jisoo segera berdiri.

"Pergi kau! Menjauh dariku!" Jisoo tiba-tiba waspada.

Dia mulai mengambil patahan ranting pohon yang tergeletak ditanah. Mengarahkannya pada Jen yang berada di depannya itu. Seolah ia akan memukul Jen bila Jen berani menyentuhnya saat ini.

Tapi sekarang Jen justru sedang menahan tawanya. Dia merasa tingkah manusia cantik yang tengah bersamanya itu sangatlah lucu bila sedang panik dan ketakutan seperti itu.

"Kenapa kau malah tertawa?" tanya Jisoo yang terheran dengan vampir di depannya yang melepas tawa.

"Kau ini kenapa? Tenanglah." katanya lalu kembali tertawa.

"Aku tidak akan membawamu pada Ayahku." balas Jen disela-sela tawanya.

"Bohong! Kau pasti menjebakku, kan?" selidik Jisoo dengan masih mengarahkan ranting yang ia pegang ke arah Jen.

"Tidak. Aku serius." Jen berdiri dan mulai mendekat ke arah Jisoo.

"Mau apa kau?" Jisoo berjalan mundur.

"Kau tidak lihat aku membawa ini, huh? Aku bisa memukulmu kapanpun dengan ini!" Jisoo memperlihatkan patahan ranting kecil yang sedang digenggamnya itu.

Jen menepisnya dengan santai. Membuat ranting itu dengan mudahnya terlepas dan jatuh begitu saja dari tangan Jisoo. Sekarang Jisoo harus apa? Dia hanya terus berjalan mundur ketakutan.

"Jisoo, dengarkan aku." ujar Jen setelah berhasil memegangi kedua bahu Jisoo.

Jen menatap Jisoo lekat-lekat. Jisoo seakan terhipnotis dengan tatapan itu walau hanya samar-samar terlihat. Tatapan Jen spertinya sangat tulus. Jisoo merasakan keteduhan dari tatapannya itu.

"Aku janji, apapun yang akan terjadi padamu, aku akan melindungimu," Jisoo terdiam.

"Bahkan jika harus membahayakan diriku sekalipun." lanjutnya.

Sesaat keadaan menjadi hening. Sangat hening. Namun mereka masih saling bertatapan. Terus seperti itu hingga entah kapan. Mereka larut dalam suasana itu.

👣👣👣

Sekarang harus bagaimana? Lori dan para Victon itu tidak dapat menemukan dimana Jen berada. Sebenarnya mereka butuh istirahat juga.

Namun apa kata Lim nanti jika mereka kembali ke kastil tanpa membawa kakaknya, Jen Agary.

"Kalian, dengarkan aku!" kata Lori didepan para Victon yang sudah berkumpul itu.

"Kita belum menemukan di mana nona Jen berada. Kita juga tidak mendapatkan tanda-tanda atau petunjuk tentang keberadaannya." Lori lalu menghela nafas kasar sebentar.

"Aku tahu kalian pasti sudah sangat lelah sekarang. Jadi mari kita kembali ke kastil, dan jangan lupa persiapkan mental kalian. Aku yakin kita pasti akan dimarahi." katanya lalu berjalan, diikuti oleh para Victon dibelakangnya.

👣👣👣

Keadaan hatinya benar-benar sangat baik saat ini. Perasaannya senang bukan main. Dia sudah mulai menemukan titik terang untuk keselamatan Ayahnya. Dia sendiri yang nantinya akan membantu mempertahankan keabadian Ayah tercintanya itu.

Lim tidak ingin kehilangan Ayahnya. Sudah cukup dengan kemusnahan Ibunya, Lim tidak mau merasakan rasa pahit yang sama untuk kedua kalinya. Dia menentang bila Ayahnya harus musnah juga dari kehidupan.

"Nona?" panggil seseorang dari luar kamarnya.

Lim yang tadinya sedang berbaring santai setelah berpikir keras tentang rencana yang sudah ia buat, beranjak bangun untuk membukakan pintu.

"Kau sudah membawa Jen kembali?" tanyanya setelah membuka pintu kamarnya.

"Maaf, nona. Aku dan para Victon belum berhasil menemukannya." kata Lori yang tertunduk.

"Apa katamu? Belum menemukan, hah?" kesalnya.

"Lalu apa gunanya kau di sini?! Kau ini tidak pantas disebut sebagai orang kepercayaan kerajaan!!" bentak Lim kasar lalu mendorong Lori hingga jatuh ke lantai.

"Huh, pantatku yang malang ini.." gumamnya sambil meringis meraba pantatnya yang baru saja berciuman dengan lantai.

Lim tidak memperdulikan Lori yang tersungkur itu. Dia segera menutup pintu kamarnya dengan kasar. Dia berjalan menuju ranjangnya dan duduk di tepi.

"Kalau begitu, aku sendiri yang akan mencarinya mulai besok." gumamnya dengan tatapan kosong.

👣👣👣

I'm back. Spesial 2nd Anniv nya Blackpink juga..pada nonton kan di vlive?
Next? Jangan lupa vote nya ya buat jenchu yang kayanya semakin "tidak real" aja nih :"

#flaw

Who Are You? ─ jensoo ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang