22. Aku bukan kamu

2.8K 124 1
                                    

Di jam pelajaran kedua, kelas gue mengalami jamkos karena Bu Titin yang mengajar pelajaran Biologi sedang tidak bisa masuk tanpa alasan. Alhasil kelas gue seperti Taman bermain. Sebagian kaum cowok ada yang bermain kapal-kapalan yang terbuat dari kertas. Sebagian kaum cewek ada yang bermain ular tangga yang alatnya tidak sengaja ditemukan oleh salah satu teman cewek gue di dekat lapangan sekolah. Sisanya, baik cewek atau cowok sedang diam di kursi masing-masing sambil memperhatikan aksi mereka termasuk gue dan juga Risca. Jadi, kita itu seperti orang tua yang sedang nungguin anak-anaknya bermain. Gue sampai pusing memperhatikan teman-teman gue yang sedang bermain karena sedikit-sedikit mereka ribut dengan alasan yang konyol. Alasan kaum cowok ribut karena salah satu pesawat di antara mereka rusak karena mendarat di lantai tidak sempurna. Sedangkan alasan kaum cewek ribut karena ada salah satu dari mereka ketika melempar dadu selalu mendapatkan angka 1 dan paling besar 3. Pandangan gue selalu fokus kepada satu titik, Fahrul. Dia nampak asyik merobek-robek kertas di salah satu buku teman sekelas kami sampai-sampai buku itu terlihat sangat tipis.

Di tengah-tengah aktifitas gue yang memperhatikan Fahrul, tiba-tiba urusan negara mampir pada diri gue tanpa permisi. Niatnya mau gue tahan karena males ke toilet. Tapi makin lama, makin di ujung. Jadi, dengan terpaksa gue meminta Risca untuk nemenin gue tapi dia menolak dengan alasan yang simple, males jalan. Mau tak mau daripada gue pipis di kelas jadi dengan terpaksa gue pergi ke toilet sendiri.

Gue lari terbirit-birit karena urusan ini tak bisa gue tahan. Ketika gue sampai di dekat toilet, gue berpapasan dengan Livya yang sedang asyik merapihkan bajunya yang sempat kusut. Jika saja gue gak teliti sudah dipastikan gue akan menabrak dia. Livya diam dan memandang gue tanpa kedip sekali pun.

"Kamu, kenapa?" tanya gue memulai pembicaraan.

Livya tak menjawab, dia malah makin membelalakan matanya dan mulutnya seperti ingin bicara namun berat untuk mengutarakan. Sebentar gue tunggu karena gue pikir dia akan bicara tapi sudah hampir satu menit dia masih tak bicara.

Urusan negara yang tadi sempat hilang akhirnya kembali lagi gue rasakan. Jadi, tanpa permisi gue pun pergi dari hadapan dia. Gue memilih salah satu toilet yang pintunya terbuka, dengan cepat gue pun langsung masuk lalu menutupnya dan langsung menyelesaikan tugas negara itu.

"Ah, lega!" gumam gue ketika gue sudah keluar dari toilet.

Ketika gue berjalan keluar dari area toilet bermiat untuk kembali ke kelas, di tempat yang tadi, tempat di mana gue berpapasan dengan Livya ternyata di sana masih ada Livya yang berdiri dengan kedua tangan yang dikepal di atas dada.

"Eh?" pekIk gue kaget.

"Kak!" panggilnya.

Gue mencoba meneliti raut wajah Livya. Dari raut wajahnya gue yakin kalau dia sedang kebingungan, tapi kenapa? Terus kenapa dia malah nungguin gue? Apa hubungannya sama gue? Apa ini tentang Fahrul?

Pertanyaan-pertanyaa itu muncul dalam waktu bersamaan di kepala gue. Untuk menemukan semua jawaban itu gue harus luangin waktu buat bicara sama dia, walau sebenarnya sangat enggan.

"Iya!" sahut gue.

"Tolong jauhin Kak, Fahrul demi aku!" ujarnya memelas.

Dugaan gue memang benar kalau niatan dia untuk nungguin gue adalah untuk membicarakan soal Fahrul. Sampai kapan pun gue gak akan lepasin Fahrul dengan alasan apa pun kecuali maut yang memisahkan kami. Masa iya, gue harus lepasin Fahrul demi adik kelas centil ini, enak aja. Perjuangan gue untuk dapetin dia tuh susah banget.

"Nggak," ujar gue.

"Kak, aku mohon. Kakak kan cantik dan baik. Pasti banyak laki-laki yang mau sama Kakak selain Kak, Fahrul," ucap Livya sambil muji-muji gue namun gue gak ngerasa dipuji karena pujian dia ada niat terselubung. Gue emang cantik, apalagi baik. Tapi kalau urusan cinta gue pelit. Emang yang mau sama gue masih banyak tapi yang mentok cuma Fahrul. Karena bagi gue cinta itu gak bisa dipermainkan.

"Sorry, cinta itu gak bisa dipaksain. Walaupun kamu tetap kekeh untuk dapetin Fahrul tapi dia-nya gak mau, percuma. Cinta kamu akan bertepuk sebelah tangan. Karena cinta harus terdiri dari 2 hati yang saling ingin melengkapi dan memiliki bukan hanya sekedar suka," ucap gue lalu melihat ekspresi wajah Livya yang sudah hampir akan menangis. "Dan satu hal yang harus kamu tahu, yang Fahrul cinta itu aku bukan kamu," lanjut gue lalu berlalu pergi meninggalkan dia, karena takut dituduh kalau yang bikin Livya nangis itu gue. Karena pada nyatanya dia nangis karena ulah dia sendiri yang terlalu berharap.

****

Di jam istirahat kedua, gue pergi ke kantin seorang diri karena hari ini gue sedang gak shalat karena ada halangan. Di kantin, gue menyantap Bakso Bi Minah favorit gue sejak dulu. Ketika di detik-detik terakhir penghabisan Bakso gue, Fahrul datang sendirian dengan tangan yang membereskan rambutnya karena sedikit acak-acakan. Fahrul, langsung duduk di samping gue dengan mata yang mengarah ke mangkok yang berisikan satu Bakso kecil.

"Gak nyisain, jahat," gerutunya.

"Mau?" tawar gue meskipun gak rela karena gue masih laper. Gue menyendok Bakso itu sambil berdoa dalam hati supaya Fahrul gak mau.

"Maulah. Aku kan belum makan, uangku habis gara-gara modalin buat pesta kamu," ucapnya.

Gue ngedumel dalam hati. Itu masalah kurang lebih udah 3 hari yang lalu tapi dia masih ngungkit-ngungkit. Kalau gak ridha ya bilang aja, gue akan ganti.

"Oh, jadi nyiapin pestanya gak ridha. Ya, udah. Gak akan kukasih Bakso," ujar ge sambil melahap Bakso yang tersisa satu biji.

"Pelit," gerutunya.

"Terserah gue," ketus gue lalu menyeruput Es lemon yang ada di hadapan gue.

"Kok ngomongnya gituh?" tanyanya. Walaupun dia gak jelasin maksud dari kata 'gituh' tapi gue ngerti kalau maksud dia kenapa gue bicaranya dengan pakai pilihan kata 'gue' bukan 'aku'. Karena aturannya kalau gue sedang bicara sama dia harus menggunakan pilihan kata 'aku-kamu'.

"Bodo," ketus gue.

Seketika kami saling diam tak bicara atau pun saling tatap. Tapi, tak lama kemudian Fahruk melirik gue lalu menelontarkan satu pertanyaan.

"Tadi, aku gak sengaja melihat kamu sama Livya dekat toilet. Ada apa?" tanyanya.

Gue mematung, bingung mau jelasin apa. Apa gue harus berbohong atau bilang yang sebenarnya.

"Tadi... aku gak sengaja ketemu sama dia. Terus... "

Ucapan gue terpotong, bingung harus bagaimana jelasinnya. Kalau gue bilang yang sebenarnya tingkat kePD-an dia bisa makin tinggi. Apalagi kalau gue bilang gue udah muji-muji dia dan berusaha mertahanin dia.

"Terus apa?" tanyanya.

"Dia minta aku untuk jauhin kamu demi dia. Tapi aku tolak dan bilang kalau... "

Lagi-lagi ucapan gue terpotong. Harus mikir 1001 kali untuk gue ucapan kalimat ini.

"Apaan sih? Jangan digantung-gantung deh," desaknya.

Gue mikir sejenak lalu menyereut Es lemon yang tersisa sedikit. Gue garuk-garuk kepala nyesel karena udah jelasin dari awal.

"Kalau yang kamu cinta itu aku bukan dia," ucap gue ragu.

Fahrul tersenyum lalu mengelus-ngelus manja pucuk kepala gue. Gue yakin kalau sekarang tigkat kePD-an dia akan semakin tinggi.

"Nah, itu tahu. Jadi, sekarang kalau kamu lihat aku dekat sama Livya gak usah cemburu," ucapnya.

Gue benar-benar malu. Kenapa setiap gue dekat sama dia pasti urat kemaluan gue gak berjalan normal. Gue selalu berdoa supaya Fahrul gak akan mutusin gue dengan alasan gue gak punya rasa malu.

"Gue mohon sama lo, urat kemaluan. Tolonglah berjalan dengan normal kalau gue sedang sama Fahrul. Gue gak mau diputusin hanya karena alasan gue gak punya rasa malu,"

*TBC*

Jangan lupa vote+coment

Jangan lupa add to your reading list or library

Mampi juga ke ceritaku yang lain

Oktaviani1501

BENDAHARA VS BAD BOY 2 [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang