29. Renggang

2.4K 118 7
                                    

Happy reading!

*******

"SHAKIRA!" teriak Fahrul dengan mata yang sedikit melotot.

Gue hanya menelan saliva. Lumayan kaget mendengar Fahrul berteriak kayak gituh. Di sisi lain, Livya cuma cengar cengir gak jelas membuat gue tambah kesal. Gara-gara dia hubungan gue sama Fahrul jadi berantakan.

"Jangan kurang aja sama orang," ujarnya lagi dengan nada suara yang sama, tinggi.

Bibir gue tersenyum miring. Emosi gue sudah memuncak. Tangan pun sudah berat ingin memukul Fahrul dan juga Livya. "Kurang ajar? Lebih kurang aja gue apa dia?" ujar gue sambil menunjuk Livya yang masih pura-pura kesakitan. "Lo lebih milih dia daripada gue pacar sendiri. Yang ada tuh dia yang kurang ajar. Maih kecil kok diajar nikung," cibir gue sambil menahan air mata.

"Shakira cukup!" ujar Fahrul yang nada suaranya memelan.

Gue menyimpan kedua tangan di wajah gue, menutupi mata yang sudah berat dan hampir ingin menangis. Setelah semua terasa membaik, gue langsung menurunkan kedua tangan gue dan mencoba menatap Fahrul lekat-lekat. "Sekarang lo udah berani membentak gue. Berarti itu menandakan kalau lo lebih milih dia daripada gue. Sekarang semua terserah lo. Gue mau pergi," ujar gue lalu bergegas meninggalkan Fahrul dan juga Livya.

Fahrul tak menghentikan gue. Itu tandanya dia lebih memilih Livya daripada gue. Sialan emamg mereka. Gue gak ngerti, kenapa cobaan dalam hubungan gue selalu saja datang. Gue ingin menjalani hubungan dengan baik-baik aja. Memang, di dalam hubungan pasti selalu ada pertengkaran dan beda pehaman. Tapi, apa salah kalau gue mengharapkan hubungan yang lurus saja, seperti halnya jalan tol.

Waktu istirahat kedua telah selesai. Gue langsung buru-buru masuk ke kelas. Risca nampak asyik bercanda dengan Irsyad. Apakah salah jika gue iri terhadap sahabat sendiri. Risca sepertinya happy-happy aja bersama Irsyad. Seperti tidak pernah ada masalah apa pun dan selalu satu pehaman.

"Ra, lo kenapa?" tanya Risca yang sudah menyadari kehadiaran gue.

"Enggak," jawab gue sambil berusaha menyembunyikan raut kesedihan gue.

"Serius?" tanyanya lagi.

"Iya,"

******

Bel pulang telah berbunyi 1 menit yang lalu. Di antara gue sama Fahrul tak ada interaksi apa pun. Entah saling tatap atau saling sapa saja tidak. Hubungan kami sekarang begitu renggang seperti orang yang baru saja bertemu. Risca dan Irsyad pun sepertinya curiga dengan tingkah kami berdua. Terlihat dari tatapan mereka, seperti bertanya-tanya saat menatap gue dan juga Fahrul. Gue belum mau cerita sama siapa pun. Gue mau sendiri.

"Ra, lo baik-baik aja kan?" tanya Risca yang sepertinya belum puas dengan jawaban gue tadi.

"Dibilangin dari tadi, gue itu gak papa," jawab gue setengan ketus hingga membuat Risca kaget. Dia emang gak salah apa-apa, tapi sepertinya emosi gue gak bisa ke kontrol.

"Oke," gumamnya.

Hati gue sedikit sakit menerima kenyataan ini. Kenyataan kalau gue sama Fahrul seperti ini. Hubungan kami telah sampai diujung dan statusnya pun gak jelas. Kecewa. Gue benar-benar kecewa dengan sikap dia tadi. Seakan dia gak menghargai gue sebagai pacarnya. Dia berani memebentak pacarnya sendiri demi membela orang yang baru masuk ke dalam kehidupannya. Sudah jelas-jelas orang itu mau merusak hubungan kami.

Aneh memang jalan pikiran Fahrul itu. Meskipun gue sangat kecewa sama dia, tapi gue gak sanggup kalau harus berpisah dengan dia. Perjuangan gue buat mendapatkan dia itu sangat susah, jadi gue gak akan segampang itu melepaskan dia.

Sekarang kami hanya perlu menenangkan pikiran kami masing-masing dan mencari solusi terbaik untuk menyelasaikan masalah ini. Gue yakin, Fahrul bukan laki-laki yang mudah menyakiti hati perempuan.

"Rul, Lo kenapa sih? Lo ada masalah? Cerita lah," ujar Irsyad yang duduk di belakang gue. Gue gak meliriknya, cuma mendengar suara dia.

"Enggak," jawab Fahrul.

"Rul, kita udah sahabatan lama. Gue tahu lo bohong,"

"Gue bilang enggak ya enggak," ujar Fahrul penuh penekanan.

"Rul!" panggil Irsyad.

"BERISIK LO ANJING!" teriakan Fahrul sontak saja mengundang warga kelas yang belum pulang. Gue yang mendengar itu cuma bisa menelan saliva dan menahan rasa sakit hati gue. Baru kali ini gue melihat Fahrul semarah itu. Biasanya, semarah apa pun dia. Gak pernah dia berkata kasar seperti itu.

Dengan penuh emosi, Fahrul beranjak dari tempat duduknya dan berjalan cepat keluar kelas dengan tas yang nangkring di punggungnya.

Risca yang melihat perubahan dari Fahrul langsung saja menoleh ke arah gue. Dengan cepat, gue langsung memalingkan wajah dari hadapan dia. Gue belum siap untuk diwawancarai. Terserah sekarang hubungan gue akan dibawa ke mana. Karena gue sendiri pun bingung mesti gimana. Meninggalkan dia, gue belum sanggup. Dipertahankan, gue bingung harus memperbaikinya dari mana.

Kalau Fahrul masih menyayangi gue dan gak mau kehilangan gue. Dia pasti akan kembali dan meluruskan hubungan yang renggang ini. Gue yakin.

Sebelum Risca dan Irsyad meluncurkan pertanyaan-pertanyaan yang membuat mood gue tambah buruk. Gue lebih memilih untuk pergi tanpa permisi.

"Ra, lo mau ke mana? Tunggu sebentar!" teriak Risca.

"Berisik!" ketus gue setengah berteriak.

Gue pulang menggunakan taxi online. Gue gak mau kalau Mang Dadang melihat gue menangis. Kalau Mang Dadang tahu, urusannya akan semakin ribet. Mang Dadang itu sudah seperti orang tua gue. Selalu ingin tahu dengan masalah-masalah gue. Walaupun gue tahu itu sebagai bentuk perhatian Mang Dadang, tapi sekarang gue gak mau banyak ditanya. Gue ingin menyelesaikan masalah gue sendiri.

Selama dalam perjalanan pulang, gue terus-terusan menangis. Mungkin itu akan membuat super taxi yang sedang menyetir merasa risih. Tapi gue mah bodo amat, dia gue bayar kok jadi dia gak usah protes.

"Neng kenapa?" tanya supir taxi itu.

Gue gak merespon. Kesal juga dengan si Bapak supir, pengen tahu aja urusan orang.

"Putus cinta ya, Neng?" tanyanya lagi. Kalau aja gue gak patuh aturan dan gak diajarkan sopan santun sama Mamah dan Papah. Sudah dipastikan gue akan membunuh supir taxi ini.

"Putus cinta soal biasa Neng," ujarnya lagi yang berhasil membuat gue darah tinggi.

"Bapak diem aja deh," jawab gue dengan nada suara yang masih sopan.

"Gini ya, Neng. Kalau dia ninggalin Neng berarti dia bukan yang terbaik. Saya tahu, Neng pasti selalu berdoa untuk diberikan pendamping hidup yang terbaik. Kalau dia pergi berarti Tuhan tahu dia bukan yang terbaik buat Neng," cerocos supir taxi itu panjang lebar.

"Bapak so tahu. Diem deh," ketus gue.

"Gini-gini saya pernah muda Neng. Saya juga sering gonta ganti cewek,"

"Itu sih namanya Bapak playboy," ujar gue dengan menekankan kata playboy.

"Bukan gituh. Saya sering gonta ganti cewek karena ceweknya yang minta putus katanya sih Bapak terlalu baik untuk bersama dia. Bapak gak ngerti sih alasan jelasnya apa," jelas supir taxi itu.

"Jadi ceritanya Bapak curhat," sindir gue dan supir taxi itu cuma cekikikan.

Vote and coment
Add to reading's list juga

BENDAHARA VS BAD BOY 2 [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang