Chapter 10. Mulai Cinta

70 6 0
                                    

"DAFA!" Anyelir terbangun tiba-tiba dengan dada yang naik turun, peluh pilu di sekujur tubuh, dan pandangan yang begitu linglung.

"Dafa, kamu di mana?"

Merasa kaget, sosok yang sejak tadi resah akhirnya menoleh ke arah sumber suara, "Nyee!" Berhamburan ke arahnya, Renata segera memeluk sahabatnya yang baru saja siuman karena hampir delapan jam lamanya pingsan.

"Dafa mana?" Anyelir bertanya lirih, namun Renata malah menangis sesegukan, "Dafa mana, Renata!" Merasa takut bercampur tak sabar Anyelir mengurai dekapan dari sang sahabat.

"Anyelir i-itu hiks--hiks..," Tak sanggup melanjutkan Renata tersedu dengan wajah ia tundukan.

"RENATA! JAWAB GUE! DAFA DI MANA?" Merasa kacau Anyelir berteriak histeris disana. Segera melepas selang infus Anyelir berniat mencari sendiri saja.

Ini rumah sakit, ruangan Dafa pasti tak akan jauh dari tempatnya di rawat kini.

"Anyee tenangin diri lo dulu," Renata memegang bahu Anyelir saat wanita itu hendak menapakan kakinya di dasar lantai rumah sakit, "Nyee, gue mohon jangan gini," Lanjutnya seraya kembali tak kuasa menahan tangis.

"Lo nyuruh gue tenang, sedangkan gue tanya keberadaan Dafa lo diem aja! Re, gue butuh ketemu Dafa sekarang!" Takut dengan kejadian itu terulang, Anyelir tak bisa lagi menyembunyikan air matanya,

"Gue mau minta maaf!" Lirihnya, dan itu membuat Renata sesak. Apa yang harus ia katakan, "Gue--gue..," Berucap dengan bibir bergetar, Anyelir mendapatkan kembali dekapannya disana,

"Gue gak mau dia ninggalin gue,"

"Dia kritis!"

Mengepalkan tangan, Anyelir menggigit bibir bawahnya menahan isakan, "Keadaan belum membaik sampai sekarang. Dia koma, Nyee..,"

Pias. Sungguh wanita itu kini bergetar hebat, sungguh kejadian ini membuatnya kembali memutar memori itu sejenak, "Dan ini," Renata mengurai dekapannya dan menunjukan cincin yang sudah Anyelir lepas paksa dari jarinya, "Selama perjalanan ke rumah sakit ia selalu menggenggam nya kuat, walau darah penuh membanjiri tubuhnya," Renata menangis histeris dan Anyelir bagai di dorong di pinggiran jurang.

Dafanya itu sampai segitunya mempertahankan cincinya.

Astaga.. Sedangkan dia waktu lalu, seakan gampang saja membuang benda itu.

"Gue mau ketemu,"

***

Mengusap lembut batas ruang kaca ICU dengan tangan yang bergetar, mata itu menatap sendu seseorang yang sedang berbaring lemah dengan alat bantu pernapasan. Isakan perlahan keluar, namun Anyelir merapatkan mulut menahan suara itu lolos dari mulutnya.

"Dafa..," Anyelir bergumam begitu sesak nya, "Bangun Daf, aku--" Tak kuat melanjutkan Anyelir menunduk dengan air mata bagai pancuran.

"Aku minta maaf..,"

"Kamu gak salah," Memejamkan mata, Anyelir menghela napas saat usapan lembut di punggungnya ia rasakan.

"Do'akan dia, Anye," Dengan punggung bergetar, Anyelir tak bisa menahan tangisnya lagi.

"Menangislah, lepaskan itu semua Nyee," Lalu tiga perempuan itu memeluk Anyelir dan sama-sama menangis memupuhkan rasa khawatir nya.

"Aku takut," Ucap Anyelir saat pelukan itu terlepas, lalu mata sendunya menatap bergantian mata sahabatnya, "Aku takut ia terlanjur patah hati, dan tak ingin bertahan untukku,"

"Jangan bicara begitu!" Renata yang begitu besar rasa khawatirnya berseru panik, "Dia pasti bertahan, dia gak mungkin nyerah, Nyee..,"

"Tapi, malam itu kita berantem hebat, dan Dafa sudah mengucapkan bahwa dia akan pergi selamanya!"

"ANYELIR!" Renata berucap keras agar sahabatnya itu tak berpikiran yang tidak-tidak.

"Jangan bicara ngawur, Nyee. Percaya sama gue Dafa pasti bangun!"

Anyelir hanya mampu kembali menangis, rasanya ketakutannya kini membuatnya serasa akan mati.

"Aku mau masuk, Re!" Renata menghela napas lalu menatap pada Diar yang sama kalutnya disana.

"Boleh?" Gumam Renata yang hanya bisa dimengerti kekasihnya itu, Diar mengangguk singkat lalu Renata pun mengantar Anyelir untuk memakai pakaian khusus memasuki ruangan ICU.

Berjalan pelan dengan pakaian hijau nya, Anyelir kembali merasa ada yang aneh dengan perasaannya. Saat tubuh itu semakin jelas di penglihatannya, Anyelir menatap tak percaya tubuh kokoh Dafa lemas di atas ranjang.

"Dafa bangun!" Ucap Anyelir terselip rasa memohon nya di situ, "Aku minta maaf..," Jari tangan Anyelir yang kembali memakai cincin pemberian pria itu perlahan mengusap lembut tangan tak berdaya itu.

"Jangan tinggalin aku," Permohonan Anyelir hanya di balas suara mesin di ruangan itu.

"Jangan marah dan hukum aku begini, Daf..," Masih sama tak ada sahutan, Anyelir pun kembali menangis dengan rasa bersalah menyerangnya.

"Dafa!" Panggil Anyelir dengan tangan menutup wajahnya, "Dafa! Bangun!" Lanjutnya lalu menatap Dafa yang sama sekali tak bergerak.

"Jangan buat aku takut," Kembali mendekat, Anyelir meneliti wajah tampan Dafa yang penuh luka.

"Aku mulai mencintaimu..,"

Tuuuuuutttttt....

Bersamaan dengan itu, saat dimana Anyelir tak mengerti akan situasi itu berlangsung, dokter beserta perawat tergopoh-gopoh masuk ke ruangan Dafa.

Anyelir yang masih melongo di giring perawat untuk segera keluar dari ruangan.

"Aku mau masuk!" Renata beserta yang lainnya berlari cepat ke arah Anyelir yang kukuh ingin menemani Dafa dan mencoba mendorong perawat.

"Maaf mba, keadaan pasien sedang darurat!"

"Punya hak apa kau melarang ku, hah!"

"Nyee, tenang!" Renata maju selangkah dan langsung memeluk Anyelir menenangkan.

"Aku takut, Re! Aku takut...,"

"Dafa pasti kuat!" Usapan lembut di kepalanya, Anyelir rasakan, "Dia teman ku, dia tak selemah itu untuk cepat menyerah!" Lalu Diar menepuk bahu Anyelir seolah memberi kekuatan.

Dan Anyelir hanya mampu berdo'a agar ia tak merasakan kehilangan untuk yang kedua kali.

-

"Lepaskan saja, dok?"

Dokter muda itu mengangguk, "Catat hari beserta tanggalnya, pasien sudah tak terselamatkan!"

Oh Tuhan.

Rasanya saat itu pula, Anyelir serasa mati berdiri saja.

***

Anyelir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang