PROLOG

1.9K 73 3
                                    

......

Emergency Room, Enam tahun lalu

Pemuda bertubuh jangkung dengan sepasang alis yang nyaris saling bertaut, mematung di depan pintu Unit Utama. Tubuhnya menegang melihat beberapa pasien korban kecelakaan motor yang dilarikan ke UGD. Ada tiga pasien yang terdiri dari seorang lelaki dan dua orang perempuan dalam kondisi kritis.

Pasien laki-laki mengalami patah tulang. Sedang dua korban lain merupakan mahasiswa yang mengalami luka-luka serius di sekujur tubuh, darah segar mengalir membasahi brankar.

“Ayo, Vin!” seorang ko-as  menepuk pundak Alvin, memberinya kode untuk segera membantu dokter di unit penanganan. Namun pandangan Alvin tak beralih sedikit pun dari brankar pasien yang baru saja melintas di depannya. 

Ada getaran dalam tubuhnya, seperti tremor, bahkan telapak tangannya mulai terasa basah. Entah kenapa ritme jantungnya pun naik saat melihat darah mengalir deras dari luka para korban kecelakaan tersebut.

“Alvin Mahendra!” kali ini suara panggilan itu terdengar lebih lantang.

“Ee, iya.” Alvin mengabaikan segala rasa takut yang tiba-tiba merambat dan mengosongkan pikirannya. Ia pun segera berlari menyusul teman satu timnya.

Di ruang penanganan darurat, Alvin masih mematung. Ia tidak tau harus berbuat apa di saat seperti itu. Layar elektrokardiogram  menunjukkan tekanan darah dan saturasi oksigen rendah, pasien kesulitan bernapas.

Tidak ada dokter senior, terlalu banyak pasien darurat yang membutuhkan penanganan khusus, sehingga pasien kecelakaan yang hanya mengalami luka-luka diserahkan pada para ko-as.

Alvin menatap tegang pada gadis yang merupakan salah satu korban kecelakaan. Apa  yang harus ia lakukan? Ini pertama kalinya ia menangani pasien tanpa panduan dokter senior.

Bagaimana jika nanti salah penanganan? Kepala Alvin seperti petasan yang meledak-ledak, membuyarkan segenap strategi dasar yang harus ia kuasai sebagai ko-as.

“Tekanan darahnya terus menurun? Apa yang harus kita lakukan?” suara perawat setengah panik setelah melihat layar monitor.

Alvin masih mematung. Ia terintimidasi oleh dirinya sendiri, tekanan yang membuat tubuhnya terus menegang.

“Kenapa Anda hanya melihat?” perawat tersebut mulai emosi. Ia merasa kesal melihat calon dokter yang tak segera melakukan tindakan, justru hanya mematung melihat pasien.

Apakah dia sudah gila?
Keringat dingin membanjiri wajah Alvin, tangannya berusaha menempelkan stetoskop pada dada pasien, namun anehnya suara degup jantung tak terdengar sama sekali di telinganya.

Nyaris ia berfikir stetoskopnya rusak jika saja ia tak segera melihat  layar EKG yang telah menampilkan vibrasi vertikal atau garis lurus, menunjukkan bahwa pasien mengalami henti napas dan jantung.

“Tidak ....” Alvin mulai panik dan tangannya gemetar.

“Apa yang Anda lakukan? Keterlaluan!” Gerutu perawat tersebut, lalu berlari keluar ruangan untuk memanggil dokter senior. Ia sudah tak tahan dengan sikap lemot Alvin. Benar-benar tak menunjukkan kompetensi dia sebagai calon dokter.

Perawat itu telah meninggalkan dirinya dalam kebingungan. Alvin melihat bergantian antara layar elektrokardiogram dan pasien tersebut. Ia ragu, tak yakin jika ia mampu melakukan kompresi dada dengan baik.  Jika aku salah langkah dia akan mati, tapi jika aku diam saja dia juga akan mati.

Alvin berusaha membuang jauh-jauh keraguannya. Apa gunanya ia belajar mati-matian menjadi dokter jika melakukan pertolongan pertama saja ketakutan, pada akhirnya dengan segenap keberanian yang ada Alvin pun melakukan Resusitasi Jantung Paru atau kompresi dada luar.

Ketegangan tubuh dan kekosongan pikirannya membuat tangan Alvin tak sengaja menyentuh buah dada pasien, sontak saja jantungnya melompat dan sesegera mungkin ia memperbaiki posisi tangannya.

Tidak, ia tidak akan berfikir macam-macam dalam kondisi darurat. Abaikan kesalahan itu dan segera lakukan kompresi dada.

Maafkan aku, aku tidak sengaja

“Kumohon ya Allah, aku tak mau jadi pembunuh. Apa bedanya aku dengan seorang pembunuh jika tak mampu menyelamatkan pasien.” Air matanya nyaris tumpah seiring dengan kedua telapak tangan yang terus melakukan RJP.

Selang beberapa saat kemudian layar EKG kembali menunjukkan gelombang sinus, dan sesegera mungkin Alvin menarik tangannya dari atas dada pasien tersebut.

Tubuhnya lemas, ia mundur dan menghantamkan punggungnya ke dinding, napasnya berat, terlalu banyak energi ia keluarkan.

“Aku tidak akan menjadi pembunuh.” Suara Alvin parau, lalu mengusap peluh di wajahnya.

Kini Alvin bisa bernapas sedikit lebih lega, namun kelegaan itu seketika lenyap saat pandangannya jatuh pada wajah pasien. Situasi yang terjadi beberapa menit yang lalu melintas, saat tangannya tak sengaja melakukan kesalahan, saat semua terasa begitu nyata, maka saat itu pula tubuh Alvin kembali menegang.

Rasa bersalah mengalir sederas aliran darahnya.

Alvin membentangkan kedua telapak tangannya, menatapnya penuh rasa bersalah. Ini pertama kalinya ia menyentuh dada seorang perempuan.

Ya Allah, aku sungguh tidak sengaja.

“Maafkan aku.” Pandangan Alvin tertuju kembali pada gadis itu.

Happy Reading

Cinta Selalu Punya Cara Untuk Pulang (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang