Chapter 23 EnD

87 7 2
                                    

Sepucuk surat untuk Suho.

          Kepada yang tercinta
          Dulu, kini dan selamanya.

Ho, apa kabarmu di sana? Adakah kamu bahagia? Kuharap begitu, karena di sini aku juga bahagia. Aku masih sering merindukanmu akhir-akhir ini. Rindu yang sama ketika kamu masih ada. Rindu yang hanya bisa kuwakilkan bersama Buku dan kalung kita. Tahukah Ho? Kadang aku berfikir bahwa kamu tak pernah meninggalkanku, kamu masih ada di sekitarku. Dapat melihat dan menyentuhku, masih terus menjagaku seperti hari-hari kemarin. Kadang juga aku suka berfikir, Tuhan mempertemukan kita untuk mengajariku artinya memiliki, dan memisahkan kita agar aku tahu makna sebuah kehilangan. Memiliki dan kehilangan, kamu satu-satunya orang yang mengajari itu padaku. Aku bangga berkata bahwa kamu adalah  cinta pertama dalam hidupku. Sama seperti bangganya aku pada mawar putih yang masih terus hidup di balik jendela kamarku, perlambang betapa putih sucinya cinta yang pernah kita miliki. Seperti mawar itu, kamu juga masih terus hidup dalam hatiku. Akan tetap hidup dan bernafas dalam nafasku. Bersamamu, aku pernah merasakan seperti apa cinta itu, sebenarnya cinta. Sebenarnya hati. Dan sebenar-benarnya rasa, semua itu aku temui pada dirimu. Rasanya tak berlebihan jika aku menyebut bahwa cintamu tak tergantikan oleh cinta manapun lagi, sungguh tak tergantikan. Walaupun kini ada cinta baru di hatiku, tapi cinta itu bersanding beriringan dengan cintamu yang masih menghangatkan hatiku. Kuanggap cinta baru itu adalah pelengkap bagi kesempurnaan cinta kita. Cinta baru yang akan meneruskan membahagiakan aku. Membahagiakan seperti cintamu terdahulu, cinta yang harus kuikhlaskan pergi direnggut takdir. Namun ketahuilah, tak ada cinta yang sama seperti cintamu. Tak ada. Cintamu adalah satu-satunya, begitu juga dengan cinta baru yang kini hadir memiliki hatiku, juga satu-satunya. Berbeda, namun sama-sama adalah cinta. Teruslah hidup di hatiku, Ho. Karena kamu adalah sebenarnya cinta yang pernah kumiliki dalam percaturan hidupku. Yang mampu menyempurnakan aku dan cinta tak biasa-ku.

Terakhir, berikan restumu buat aku dan dia. Aku percaya kamu akan, Ho… hatiku memilih dia untuk meneruskan menyempurnakan hidup dan cinta tak biasaku, untuk kedua kalinya…

Hati kita

Aku melipat kertasku, kuciumi dan kumasukkan dalam amplop jingga. Tak ada tulisan apapun di amplop itu, tak ada alamat. Aku tersenyum, kuciumi dia sekali lagi lalu kumasukkan dalam laci bergabung bersama temannya-temannya yang sudah lebih dulu bersemayam di sana. Ya, akhir-akhir ini aku mulai suka menulis surat buat Suho. Mengabarkan padanya apa saja yang terjadi padaku, menulisinya apa saja yang aku rasakan. Semuanya. Selalu ‘sepucuk’ surat, walau pada kenyataannya di dalam laci itu telah lebih dari sepucuk. Aku yakin, biarpun surat-surat itu tak pernah terkirim kemanapun, di suatu tempat entah dimana, dia tahu apa yang aku tuliskan untuknya.

***

Seperti air
Yang mengalir di antara bebatuan
Di dalam sungai berair jernih
Biarkan hidup berjalan ibaratnya
Biarkan jernih cinta menuntun kita ke ceruk yang seharusnya
Seperti air yang berjalan dari hulu ke hilir
Begitulah seharusnya hidup berjalan
Demikianlah semestinya cinta berpetualang
Seiring waktu
Yang tak pernah alpa berdetak
Ketika tiba saatnya
Hati akan menemukan dermaga untuk berlabuh
Melempar jangkar dan menggulung layar
Seiring waktu
Hidup akan membawa kita pada satu titik
Dimana kita menyadari satu hal penting
Bahwa mereka yang hadir dalam hidup kita adalah anugerah
Dan seiring waktu juga
Kita memahami akan arti sebuah cinta
Bahwa jika hati telah memilih
Tak ada kata salah untuknya
Seperti cinta yang telah dipilih hatiku
Tak biasa
Namun aku yakin dan percaya
Bahwa cinta ini tak salah…

Sepasang tangan merangkulku dari belakang, aku sedang memandangi foto Suho sore ini. Mengucapkan selamat sore padanya.

“Siap, kekasihmu ini sudah lama menunggu.”

Aku menoleh dan membuat pipiku sukses bersentuhan dengan bibir dan puncak hidungnya. Aku tak berusaha menjauhkan kepalaku, malah dengan sengaja menekan sisi wajahku lebih rapat padanya.

“Sebentar lagi.” Kembali aku memandang Foto di depanku.
Dia menyatukan jemarinya bersama jemariku, di depan perutku. Dagunya bertumpu di bahuku, sesekali dengan nakal menggesek-gesekkan puncak hidungnya di tulang rahangku.

“Iya, dia indah… serupa dengan indahmu.” Dia berbisik sembari menyusurkan jari-jarinya di atas jariku dimana terdapat sebentuk cincin putih pipih yang melingkar indah di sana. Cincin yang kuminta darinya untuk disarungkan ke jariku di hari hati kami bertaut. Cincin putih pipih yang hanya satu-satunya.

“Dia bahagia melihat kita…” Ucapku lirih.

“Tentu. Tak ada yang tak bahagia bila melihat kita…” Lagi, dia mengecup sisi wajahku. “Bunga-bunga bahagia hingga terus mekar, burung-burung juga akan bahagia hingga gak berhenti mencicit, kambing juga bakal senang sampai gak lelah mengembik, katak juga bisa gembira dan tak berhenti lompat-lompat, pocongan juga akan…”

Aku menyikut perutnya, dia selalu konyol seperti ini. “Aku benci kamu bila sudah gila begini.”

Dia terkekeh. “Selain gila begitu, aku juga suka gila begini…” Dia mempererat pelukannya, merapatkan dirinya lebih lekat di belakangku sambil mencium leherku bertubi-tubi membuatku mengejang dan mengeliat. “Gila yang mana yang lebih kamu benci, My Sugar?” Ya, dia memanggilku seperti seorang kekasih pernah memanggilku dulu.

“Aku benci dua-duanya…”
Dia kembali terkekeh. “Kalau begitu, mungkin aku harus menciptakan kegilaan yang lain… aku jamin kamu gak akan benci kegilaan yang satu itu.”

“Apa?”

“Kita butuh ranjang untuk mengetahuinya.”

Aku berpaling padanya dan mendelik ganas. Tapi dia malah semakin terkekeh.

“Hey, jadi pergi?”

Kami menoleh, Lia berdiri di pintu. Sudah rapi dan terlihat sangat siap untuk pergi. Kami berencana ingin ke bioskop. Kami berempat, Aku dan kekasihku, Lia dan kekasihnya.
“Iya, jadi…” Jawabku sambil melerai tangan kekasihku dari perutku.

“Ya udah buruan, mesraan mulu. Aku gak mau Yayang Kyungku kering menunggu.” Lia menghilang di balik pintu.

Dia menggandeng tanganku sambil tersenyum manis lalu menuntunku menuju pintu. Sebelum melewati ambangnya, aku berpaling kembali menoleh pada Foto di depan jendela, dia seakan tersenyum melihat kami.

Ya Kami, Aku dan Jaehyun...

END

Beautifull GengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang