» Twenty Six

790 44 6
                                    

// Happy Reading //

London, Inggris

Azka terlihat sibuk bermain dengan Macbook-nya. Tatapannya tampak fokus pada sebuah email masuk yang pengirimnya sangatlah misterius. Tidak tertera sebuah nama di email tersebut. Isi email tersebut berbunyi : 'Segeralah pulang. Calon istrimu dalam bahaya. Hanya kau yang bisa menolongnya.'

Pria tampan satu ini terlihat bertopang dagu. Kerutan di keningnya pun terlihat sangat jelas. Ia mencoba untuk mencoba untuk memahami isi dari pesan tersebut. Dia bergumam pelan, "Siapa dia? Dari mana dia tahu alamat email-ku? Dan kenapa dia bisa mengetahui bahwa aku memiliki calon istri? Apa dia seorang penguntit? Atau dia seorang hacker?"

Azka menggeram. Ia mengacak rambutnya berulang kali hingga berantakan. Sudah setengah jam ia memikirkan si pengirim pesan misterius. Bahkan dia juga sudah mengirim balasan pada email misterius itu namun tidak kunjung dibalas. Itu sebabnya Azka merasa kesal.

"Apa dia sedang mengerjaiku? Ck, kurang ajar sekali dia. Akan kucincang habis tubuhnya jika aku mengetahui siapa orangnya."

Azka melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Ia bergegas menutup Macbook-nya, lalu menyimpannya di laci meja kerja yang ada di kamarnya. Setelahnya, Azka merebahkan tubuh kekarnya di atas kasur. Dan kebiasaannya sebelum tidur adalah menghubungi Gabriel.

Akan tetapi, ponsel Gabriel tidak aktif semenjak tragedi teror misterius itu. Dan dengan sangat terpaksa, Azka harus menghubungi Rodrigo untuk mengetahui kondisi wanita yang dicintainya itu.

"Hhm... Apa tidak mengganggu menghubunginya di jam segini?" gumamnya ragu.

Ibu jarinya masih belum menekan nomor ponsel Rodrigo yang tertera di layar ponsel mahal tersebut. Berkali-kali Azka membuka nomor kontak, dan berkali-kali pula ia menutupnya. Dirinya seakan takut untuk menghubungi calon mertuanya itu. Karena menurutnya, tidak sopan mengganggu orang tua pada pukul sepuluh malam. Dia merasa bahwa inilah jam orang tua tertidur. Terlebih ia tahu bahwa Rodrigo adalah seorang yang pekerja keras. Pasti saat ini, calon mertuanya itu sedang kelelahan.

Azka menghela napas teratur sambil meletakkan ponselnya di samping bantal. Sepertinya, ia membatalkan niatnya untuk menghubungi Rodrigo demi menjaga sopan santun. Azka benar-benar pria yang baik.

Pria tampan ini menatap ke langit-langit kamar. Sebuah senyum terukir manis di bibirnya. Mungkin, saat ini ia sedang memikirkan Gabriel hingga membuatnya tersenyum seperti itu. Ia tidak tahu kejadian apa yang akan terjadi besok. Jika dia tahu, mungkin dia akan patah hati. Atau bahkan ia akan berpikir untuk bunuh diri. Hhh... Jangan sampai itu terjadi.

"Gabriel," gumamnya sambil terpejam. Namun dalam sekejap, matanya kembali terbuka ketika mendengar dentingan pesan di ponselnya. Dengan malas, Azka pun mengambil ponsel yang masih berada di samping bantal dan membuka kunciannya. Awalnya ia mengira bahwa itu sebuah pesan masuk dari Chris atau klien-nya. Tapi ternyata bukan. Itu bukanlah pesan masuk, melainkan email masuk dari pengirim misterius yang beberapa saat lalu mengganggu pikirannya.

Azka terduduk di atas kasurnya. Ia membuka email yang berisi balasan dari pertanyaannya tadi. Pesan itu berbunyi : 'Kau pasti tahu aku. Aku adalah teman masa kecilmu di Boston. Kau tidak perlu curiga padaku. Tujuanku baik padamu.'

Seketika dahi Azka berkerut. "Teman masa kecil? Siapa? Astaga, aku benar-benar lupa."

Azka malas berpikir terlalu dalam. Menurutnya, itu akan membuatnya semakin sakit kepala. Belakangan ia sering mengalami sakit kepala karena terlalu memikirkan masalah yang menimpa Gabriel. Ia tidak ingin kembali merasakan sakit itu hanya untuk memikirkan hal ini. Tidak untuk kesekian kalinya.

My Gabriel (TERSEDIA DI PLAYSTORE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang