» Twenty Seven

776 45 4
                                    

// Happy Reading //

Boston, MA, AS

"Cepatlah sadar, Steve."

Rodrigo masih terjaga semalaman di samping tempat tidur Steve. Bola mata indahnya masih menatap pria yang masih memejamkan mata dan bernapas dengan alat bantu medis. "Maaf, karena aku sudah menyebabkan kau mengalami kecelakaan seperti ini," ucapnya penuh sesal.

Dia menyentuh tangan Steve. Menepuk-nepuknya berulang kali sambil menitikkan airmata tanpa isakan. Perasaannya sangat kacau karena terlalu banyak memikirkan masalah yang muncul dalam keluarganya akhir-akhir ini.

"Ayo, bangunlah."

Tangan Steve bergerak. Dan hal itu membuat Rodrigo terbelalak. Ia terus menatap tangan Steve. "Ka-kau bergerak, Steve," ucapnya pelan.

Terdengar bunyi tarikan napas panjang dari arah Steve. Rodrigo pun langsung menoleh dan menatap Steve yang masih mencoba membuka matanya. Rodrigo tertegun dengan apa yang dilihatnya saat ini. Ia pun berdiri dari posisi duduknya dan berkata perlahan, "Apa kau benar-benar sudah sadar? Katakan sesuatu, Steve."

"Tu-an."

Suara Steve masih terdengar lemah. Matanya pun belum sepenuhnya terbuka, namun kondisinya mengalami kemajuan. Dengan cepat Rodrigo menekan tombol yang tersedia di dekat tempat tidur Steve untuk memanggil para perawat dan dokter.

"Tu-an," panggil Steve lagi.

"Ck, diamlah. Kau tidak boleh banyak bicara dulu. Aku sudah memanggil perawat dan dokter untuk memeriksa kondisimu."

Tak lama setelahnya, salah satu dokter dan beberapa perawat sudah masuk ke ruangan Steve. Mereka langsung bergerak cepat untuk memeriksa pria tampan yang terbaring lemah di tempat tidur itu. Sang dokter terlihat memeriksa denyut nadi serta jantung si pasien. Ia tersenyum dan menatap Rodrigo.

"Pasien sudah melewati masa kritis."

Rodrigo menghela napas lega. Ia terus berucap syukur pada Tuhan karena telah memberikan kesempatan kedua pada Steve. "Saat ini, pasien hanya tinggal menjalani perawatan untuk pemulihannya. Anda tidak perlu khawatir lagi, Tn. Rodrigo," ucap sang dokter.

"Baiklah. Sekali lagi, terima kasih."

Dokter tersebut mengangguk. "Kalau begitu, saya permisi. Jika terjadi sesuatu, panggil saja kami."

"Baik, Dok."

Sang dokter berjalan keluar meninggalkan ruangan Steve bersama dengan para perawatnya. Tinggallah Rodrigo dan Steve yang berada di dalam. Rodrigo terduduk kembali di kursi yang ia duduki tadi. "Te-terima kasih, Tuan," ucap Steve sedikit kesusahan karena masih menggunakan alat pernapasan yang menutupi mulutnya.

Rodrigo mengangguk sambil melepas alat tersebut. "Aku juga berterima kasih, karena kau mau bertahan. Kau tahu, aku tidak tidur semalaman karena menjagamu."

"Ma-afkan saya, Tuan."

"Tidak perlu meminta maaf. Itu sudah menjadi tanggung jawabku sebagai atasanmu," kata Rodrigo.

Steve menatap sendu Rodrigo. Ada sesuatu hal yang harus ia katakan. Sesuatu yang menyangkut masalah puteri-nya. Sesuatu yang mungkin akan membuatnya panik dan marah. "Tu-an."

"Ya?"

"Saya ... ingin mengatakan se-suatu."

"Apa?"

"Apa anda siap mendengarnya, Tuan?" tanya Steve. Ia merasa tidak yakin untuk mengatakan hal itu sekarang. "Ya, aku siap. Katakanlah," kata Rodrigo.

My Gabriel (TERSEDIA DI PLAYSTORE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang