Petang itu

79 10 2
                                    

[REVISI]

Serial-Tuan Hujan-27. Petang itu

Penulis : IsnaNA @isnaiyah

Dipublikasikan : 20 September 2018

Happy reading!
Kalau ada yang aneh baik sebelum atau sesudah revisi koment ya^^, biar daku tau kurangnya diriku, Eh!

***

Sinar matahari sudah bersinar terang ketika kedua iris mata gadis berkulit pucat itu menyemangati dirinya sendiri di depan pintu, berbagai macam doa dan motivasi dirapalkanya berulang-ulang untuk menguatkan diri dari apa saja resiko yang mungkin nanti bisa terjadi. Tidak dapat dipungkiri pastinya hari ini tidak akan jauh berbeda dengan hari-hari sebelumnya, atau bahkan lebih buruk? Entahlah, dia pasrahakan semuanya nanti pada yang lebih Kuasa menolongnya. Yang dia harapkan hanya satu, apapun yang terjadi nanti semoga hari ini dia bisa mengatasinya.

Dihirupnya udara pagi dengan leluasa, menampilkan sedikit senyum pada hati yang sedang lara tidak munafik bukan?

Rangga menepikan mobilnya didepan pagar kos-kosan adiknya yang tentunya kos-kosan Nada juga, pria itu melambaikan tangannya sambil menyunggingkan senyum, manis sekali.

"Eh Da udah siap? Mau berangkat sekarang?" Itu suara Ana yang datang dari arah dalam kos, bukan suara  Angga yang berada di depan halaman.

"Ehm. Aku ada kelas pagi ini."

Tangan Ana sibuk menggeledah ke dalam tas yang dia bawa, kemudian dibawanya ponsel berwarna rose gold itu keluar, "Barengan aja yuk? Mumpung hari ini aku dijemput sama kak Angga."

Nada yang cukup sadar diri sudah banyak merepotkan kakak beradik ini merasa sangat tidak enak, rasanya dia seperti parasit saja dalam hubungan kakak beradik itu. Sedikit-sedikit menyusahkan.

"Nggak deh An, makasih banget. Ngrepotin, aku jalan aja lagian deket kok. Sekalian olah raga pagi juga."

"Ah, nggak kok. Nggak ngrepotin sama sekali. Iya kan kak?"

"Nggak apa-apa kok Da, udah ikutan aja kali. Lagian nanti keburu siang juga" Angga berseru dari dalam mobil, ia sedikit mencondongkan tubuhnya keluar dari jendela mobil berwarna hitam yang dikendarainya.

"Maaf ya ngrepotin, jadi nggak enak."

"Hush, dibilang gak apa-apa. Ayo masuk, kak aku dibelakang ya!"

Ana menarik tangan Nada menuju mobil sembari berteriak nyaring. Dari dalam mobil Angga menatap kedua sejoli itu berjalan mendekat, ada setitik perasaan senang yang tiba-tiba menghinggapinya.

Karena takut ketahuan tersenyum sendiri, segera dipalingkanlah wajah tampannya itu ke depan. Bukan apa, dia takut orang lain berpikir jika dia adalah orang gila karena masih pagi sudah bertingkah tidak waras.

Mengetahui adiknya sudah masuk kedalam mobil Angga mulai gelagapan, entah sejak kapan adiknya dan Nada sudah duduk manis di jok belakang sambil bercakap ria.

"Ah, iya. Ok berangkat"

Mobil pun melaju dengan kecepatan standar. Jarak kos-kosan dengan kampus sebenarnya cukup dekat, hanya dengan berjalan kaki saja sebenarnya bisa dilewati tapi berhubung sifat manja Ana sedang keluar, gadis itu meminta Angga untuk menjemputnya. Sekedar temu kangen katanya.

Bunyi bedebam dari pintu mobil nyaring terdengar ketika pintu mobil tertutup. Kampus sudah ramai, banyak orang mulai berlarian atau sekedar duduk di bangku dan gazebo taman untuk mencari wifi dan mengobrol atau memggosip.

Tsk, mahasiswa dan wifi gratis memang tidak bisa dipisahkan. Prinsipnya kalau ada yang gratis kenapa harus bayar? Apalagi jika tidal dibumbuhi dengan bumbu-bumbu gosip rasanya kurang komplit, semoga saja mereka tidak menggosipkannya. Itu kalimat yang ia rapalkan dari tadi, semoga saja.

Tidak ada pandangan mencemooh dari setiap orang yang dilaluinya. Mereka sibuk dengan urusan masing-masing, syukurlah setidaknya hari ini benar-benar membaik. Pun ketika kuliah usai semuanya berjalan lancar, tidak ada kendala yang berarti yang mampu membuatnya menghela nafas panjang.

Satu-dua tatapan aneh dari orang-orang itu wajar, maklum saja berita kemarin cukup menghebohkan. Anak teroris ada di kampus, berkeliaran, mencari korban selanjutnya. Kiranya itulah yang ada dibenak beberapa orang yang ada, padahal tidak, dia bukan anak teroris. Padahal kemarin dia berlari sambil menangis, dipandang penuh hina sampai untuk mengangkat kepala saja rasanya susah, alhamdulillah sekarang sudah lebih baik.

Ana yang masih ada keperluan dengan temannya dan Angga yang juga harus terburu-buru ke cafe miliknya. Katanya ada urusan mendadak yang harus segera ditangani, oleh karena itu sekarang Nada berjalan pulang sendiri. Lagi pula siapa orang yang mau menemaninya setelah insiden gila tertempel di mading kampus kemarin? Meskipun sebagian besar mereka tidak menggubris, tetap saja mereka membuat situasi ini menjadi sangat tidak nyaman.

Jalanan sore ini cukup ramai, suara klakson saling bersahutan meramaikan jalan raya yang entah mengapa semakin petang semakin padat saja. Hanya suara ketukan flat shoes yang menemani perjalanan singkatnya, pandangannya fokus pada kedua kaki yang sedang melangkah bergantian. Mulai dari melompati paving block, jalan beraspal sampai tanah berbatu itu tidak masalah. Justru hal itulah yang tanpa sadar mengajarinya arti sesuatu hal, bahwa hidup selamanya tidak hanya akan mulus-mulus saja. Pasti akan ada halangan dan rintangan yang harus diselesaikan dengan baik. Atau jika tidak dia akan berakhir dengan berdiam di satu tempat dan tertinggalkan bersama masalahnya. Tentu dia tidak akan berbuat demikian.

"Sudah selesai kuliah kamu hari ini?"

Nada yang terkaget kemudian menoleh, mendapati sosok tinggi sedang berjalan di sampingnya.

"Lo, kamu?"

"Iya, kenapa? Mau pulang?"

Merasa kikuk Nada mengangguk, jemarinya sibuk memilin ujung jilbab yang entah mengapa lebih menyenangkan untuk dilakukan ketimbang menatap netra seseorang yang sekarang sukses membuatnya susah bernafas.

"Hati-hati. Sudah sore, jangan mampir-mampir. Saya duluan."

"Eh"

Dengan seenaknya sosok itu pergi begitu saja sebelum sempat gadis itu menyelesaikan kalimatnya, meninggalkan Nada dengan segala pemikiran yang kini tengah berkecambuk dalam otaknya. Beberapa tahun yang lalu manusia itu seperti hilang ditelan bumi, tidak ada kabar, tidak ada komunikasi, seakan semuanya lenyap dari peredarannya dan teman sejawatnya.

Sekarang, ketika suasananya sedang kacau. Tiba-tiba dia muncul kembali, dengan cara dan waktu yang sangat aneh, dengan sikap yang sama namun dengan jiwa yang berbeda.

Tentu Nada dapat merasakan perubahan itu, sosok itu yang dulu memang sudah irit bicara kini benar-benar terlihat dewasa meskipun irit bicaranya selamanya tidak berubah. Dia yang dulu entah kebetulan atau apa selalu ada ketika Nada membutuhkan.

Tiba-tiba Nada jadi teringat insiden dia yang dikejar para pemuda tak jelas menjelang petang di wilayah yang tepatya dia tidak tau dimana. Yang menyebabkan mereka terpaksa harus terjebak dalam derasnya hujan di sebuah gubuk menjelang petang berdua.

Tanpa disadarinya, seulas senyum tersungging di bibirnya yang kini lebih sering terdiam. Ah, kenangan manis itu tidak mungkin dapat dia lupakan. Bocah kecil itu dulu, bocah kecil bernama Zidan yang selalu sukses membuatnya heran sekaligus terpana di  waktu yang bersamaan.

Tanpa melepas senyum itu, kini ia berbalik arah. Berjalan menuju tempatnya bersitirahat sebelum petang, bersama embusan angin sore dan beberapa helai daun kering yang menyertainya. Entah mengapa ia merasa hari ini begitu lengkap, karena dia. Sosok itu.

******

Luama sekali aku hiatus😅
Maaf, maaf sekali. Sekali update cuma dikit dan mungkin gimana gitu😥
Semoga kedepannya semakin baik😊
Don't forget to voment😊

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 20, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tuan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang