Ke-8

13 4 0
                                        

Setelah difikir lebih dalam, ngapain juga aku memusuhi Jackson yang jelas-jelas bukan urusanku juga dia mau melakukan hal apa saja dan dengan siapa saja. Apa aku membuatnya bersalah atas sikapku?

Berketepatan dengan aku memikirkan dia, dia menelfon diriku. Jika dia mau meminta maaf, oke aku akan maafkan dia mengingat sekali lagi aku bukan siapa-siapanya dia.

"Halo" dia seperti kegirangan.
"Ada apa"
"Boleh aku ke rumahmu?"
"Kalo mau ketemu diluar aja"
"A, aku ke rumahmu sekarang ya"
"Iyaa"

Entah kenapa jantungku berdegup kencang seperti biasanya aku saat ketemu Jackson beberapa terakhir ini. Malah aku merasa lebih kencang lagi dari biasanya. Pertanda apa ini?.

"Tin" bunyi klakson dari luar, ku tebak pasti dia sudah sampai. Menegok ke arah jendela rupanya betul dugaanku.
"Hai" sapanya.
"Jadi, mau maafin aku?"
"Setelah difikir-fikir, kenapa aku memusuhi kamu? Kan terserah kamu kamu mau ngapain aja, sama siapa aja"
"Berarti kamu takut kehilangan aku" jurus gombal mulai keluar.

Dia dan motor mogenya mengajakku ke kebun teh seberang kota yang lumayan jauh. Angin sepoi-sepoi yang membuatku ngantuk dalam perjalanan sedangkan perjalanan masih butuh 1 jam lagi untuk sampai ke kebun tehnya.

Tangan yang menggenggam perutnya, menikmati angin sepoi-sepoi dan memandangi sekitar jalan yang telah ku lewati, tiba tiba pandanganku jadi hitam gelap.

"Ngga, Jingga" tubuhku tergoyah.
"Udah sampe"
"Aku ketiduran lama ya"
"Yaa gitu deh".
Mengucek mata lalu memandang ke arah kebun.

Tempat yang banyak dikelilingi tanaman teh dengan cuaca yang sangat dingin.
"waaaaw" berdecak kagum.
"Gimana, suka nggak"
"Banget" masih melongso meliat pemandangan kebun.

Dengan semangatnya, aku buru-buru ingin naik keatas kebun nggak sabar melihat pemandangan di puncak kebunnya. Dengan girang dan semangat yang tinggi aku mulai menapaki kebun sampai lupa aku sedang bersama siapa. Aku merasa sendirian dan aku merasa kebun ini milikku sendiri.

Walaupun nafas terengah-engah namun aku tetap melanjutkan perjalanan ke atas. Tidak peduli kakiku yang tadi terpeleset karna tanahnya agak licin. Tak peduli juga dengan Jackson dimana. Aku seperti tidak bisa mengendalikan diriku sendiri.

"Wuhuuuuuu"
Akhirnya sampai puncak yang kutuju. Tidak ada siapapun disini, hanya aku seorang. Jackson yang datang bersamaku pun tidak menampakkan wujudnya. Mungkin dia masih dibawah.

"Cepet kamu sampenya" dia ngos-ngosan.
"Eh sini sini sini, fotoin fotoin"
"1,2,"(cekrek)
Dibelakang Jackson ada dua orang yang menuju kesini.
"E mas mas bisa minta tolong fotoin kita"
Aku melongso menatapnya.

Jackson yang berposisi di sebelah kiri aku, tiba-tiba memegang tanganku. Aku merasa kaget hingga aku menatapnya kebingungan sedangkan dia tersenyum lebar. Sungguh, aku tidak mau harapan itu datang kembali.

"Lagi lagi mas"
"Gini" dia memerintahkanku gaya melentangkan tangan dan tersenyum lebar.
(cekrek)
"Lagi mas lagi lagi"
Kali ini, hal yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya terjadi. Dia mengangkat tubuhku yang berbobot 45 kg ini.
"Eh eh eh"
Aku menatapnya penuh rasa kebingungan sementara dia santai santai saja seperti tidak terjadi apa apa.
Tak lama, dia menurunkanku.

Aku tetap menatapnya bingung. Saat itu juga topiku hampir jatuh dan rambutku sangat berantakan. Dengan sigap dia mengambil topiku, merapikan rambutku dan memasangnya lagi.

Bingung campur takut akan harapan itu kembali menjadi satu.

"Makasi ya mas"
"Iya sama sama"

"Sekarang, kamu fotoin aku"
Aku memenuhi permintaannya. Dia bergaya dengan gaya yang sama seperti model papan atas.

"Bagus nggak"
Menyodorkan hpnya, sementara aku langsung meninggalkannya untuk melihat-lihat sekeliling kebun teh.

Sedang asyik menikmati hawa dan pemandangan disini, tiba tiba kepalaku dihinggapi sesuatu. Aku terkejut.
"Jackson"
"Ngga, aku ngomong serius sekarang. Benar benar serius. Aku nggak pernah ngomong seserius ini" ucapnya.
"Ayam yang mempunyai harapan untuk bisa bersama mentari, dan aku pun mempunyai harapan yang sama dengan si ayam untuk bersama mentari"
"Terus?"
"Dan yang kuharapkan lagi adalah, (diam sejenak) kamu mentarinya"
Demi apa, ekspresiku saat itu. Mataku melotot lebar memandangnya.
"Tapi, kalo mentarinya tenggelam trus nggak bali lagi karna ditelan bumi, gimana?"
"Yang penting aku bisa bersama mentari walau sekejap"
Memberi isyarat bertanya.
"Hmmmm, sang mentari juga ingin menemani ayam" ucapku.
"Jadi?"
"Jadi?" aku balik tanya.
"Sekarang ayamnya bersama mentari?"
"Menurut kamu?"
Dia berteriak kegirangan.

Kepalaku yang dihinggapi lingkaran bunga yang ia rangkai sendiri menggambarkan hatiku yang berbunga seperti rangkaian kepalaku ini.

Hari ini, jam 1 siang di kebun teh yang menyejukkan hati dan pikiran ini telah menumbuhkan bunga dan mengukir nama di dalam hati ini. Hari ini, sang ayam telah menemukan mentari nya walaupun sang ayam tidak tau berapa lama sang ayam itu bisa bersama mentari harapannya, yang bisa saja sang mentari meninggalkannya karena ditelan bumi.

Dengan perasaan yang sama, ayam dan mentari jalan-jalan sesuka hatinya seperti dunia milik mereka.

Putra Kegelapan JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang