Akhirnya, hari libur yang ku tunggu-tunggu bersinggah di hari-hari ku. Merasa bosan karena kegiatan di rumah itu itu aja, aku mencari kegiatan dengan membantu ayah di cafe makanan yang lumayan besar. Karena sepertinya sudah lama aku tidak mencium wangi masakan cafe.
"Ayah"
"Loh, Ngga. Kebetulan kesini, tolong anterin pesenan di Bangau Putih ya"
"Siap, mana yah"
"Itu dimeja ya. Atas nama Yulia"Aku memenuhi perintah ayah dengan berangkat naik motor khusus delivery yang sudah disediakan.
Rumah yang kuno, klasik, unik dan antik ini yang kuhampiri sekarang. Aku berdecak kagum melihatnya. Sangat bersih tampak luar.
"Permisi, dari cafe Flavour food"
Tak ada jawaban.
"Permisiii"
Kupencet bel yang disediakan.
"Permisi pak, dari cafe Flavour food"
Bapak yang berbadan kekar, ber brewok tebal berpostur tubuh tinggi dan besar menemuiku di depan pintu.
"Iya, terima kasih"
Bapak itu menerima bungkusan dan meraihnya dari tangank. Namun ada yang janggal. Bapak itu seperti memegang tanganku dengan seperti raut wajah yang genit.Aku merasa tidak nyaman dengan perlakuannya ini. Aku langsung menghindar dan buru buru pergi.
"Jangan pergi dulu dong, mampir mampir sini. Makan bareng nih yuk"
"Maaf pak, masih ba,,"
Belum selesai aku berbicara, bapak itu menarikku ke dalam.
"Pak, pak tolong pak. Saya buru buru masih ada urusan lain"Bapak itu tetap menarikku ke dalam suatu ruangan yang terdapat banyak pemuda pemuda berjudi disana. Aku menangis, aku takut akan harga diri taruhannya.
"Ayo anak gadis sini" ucap salah satu pemuda judi.
"Tapi aku kasian sama kalian kalo aku disini"
"Kenapa, tidak akan terjadi apa apa, ayo" ucap bapak itu.
"Aku kena HIV" teriakku.
Bapak itu langsung melepaskan genggamannya.
"Silahkan pergi"Huh, terselamatkan nyawa dan harga diriku. Walaupun berbohongnya cukup menakutkan. Naudzubillah.
Buru buru aku mengendarai motor dan pulang dengan ngebut sekali.
"Ayah" (terengah-engah)
Langsung saja aku memeluk ayah ditemani oleh suara nafas yang sesak itu.
"Kenap"
"Tadi aku di tarik ke dalam ruangan buat judi yah"
"cewek main judi Kenapa?"
"Bukan, pemesannya memang bener nama cewek tapi wujudnya bukan cewek, melainkan bapak bapak yang posturnya itu gede, tinggi, tatoan dimana mana"
Meringik lapor ke ayah.
"Tapi sekarang nggak papa kan"
(geleng-geleng) menandakan aku baik-baik saja.Ayah menyuruhku pulang saja daripada akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan (lagi). Diantar sama ayah, aku terus membayangkan bagaimana jika hal tersebut benar benar terjadi dan merusak ruang masa depan yang harusnya kubangun bersama raja pilihan tetapi dihancurkan dengan lawan.
Malamnya, aku ingat ada undangan ulang tahun Terry, temen sekelas juga. Mau nggak datang juga nggak enak. Tapi kalo datang pasti aku akan bertemu lagi dengan Jackson. Tapi kenapa aku harus menghindar darinya? Ingat Ngga ingat! Kamu sama Jackson itu nggak ada apa apa. Nggak ada apapun dari kemaren kemaren sampai sekarang, ingat!.
Terry memilih dress code kostum hewan hewan yang lucu. Aku memilih kostum buaya yang aku pinjam dari keponakan ku yang kebetulan punya.
Semua tamu undangan memenuhi dress code dan memakai sesuai pilihannya masing-masing.
"Terry selamat ulang taun ya, ini bukan kado spesial sih. Tapi semoga suka ya"
"Makasih ya Ngga"
"Silahkan dinikmati ya makanan, minuman atau apalah" lanjutnya.
"Okeee, aku kesana dulu ya"Karena kebelet, ke toiletlah aku sendiri sambil sedikit sedikit merapikan rambut. Walaupun ribet karena pakaian yang seperti ini.
"Hei Jinggaaa" Jannat yang saat itu juga ke toilet.
"Heeeey, kuda poni yang lucuu"
"Yuk, kesana. Duluan ya"Aku meninggalkan toilet dengan menjejakkan sepatu yang kotor kena tanah. Di ujung pintu keluar toilet, kuhentikan langkah kakiku yang melihat seseorang berdiri tepat dihadapanku memakai kostum ikan. Aku berusaha memalingkan wajah namun, dia berhasil menahanku.
"Aku ditunggu sama,"
"Aku mau ngomong, serius"
"Tapi aku nggamau serius gimana"
"Aku kesini bukan sebagai mangsa sang aligator, melainkan sesama bangsa air"
Tanpa basa basi aku pergi meninggalkannya.
"Bukannya buaya tidak pernah meninggalkan mangsanya begitu saja" ucapnya.
Aku menoleh kearahnya.
"Bukannya mangsa akan berlari ketika mendapati buaya" balasku.
"Tapi kali ini bukan mangsa yang lari, tapi buaya" ucapnya.
Kali ini aku betul betul meninggalkannya disana.Aku berusaha untuk tidak menampakkan wujud sehingga dia tidak bisa menemukanku dan menatapku.
Bingung masih terngiang, kenapa aku tidak mau menemuinya dan mendengarkannya walaupun hanya sepatah kata?. Aku ini kan pendampingnya tanpa "status" yang tak berhak melakukan tindakan apapun terhadapnya. Dia pun demikian, wajah cemas yang seharusnya tidak ia pasang dihadapanku namun kenyataan berbeda dengan kata "seharusnya" diatas.
Merasa risih, aku cepat-cepat ganti baju dan pergi saat pesta belum berakhir. Ketika sudah menginjak pintu keluar, jalanku tertahan sesuatu.
"Buaya tidak akan pergi sebelum menghabisi mangsanya"
Dia lagi?
"Aku bukan buaya, kau yang buaya"
tunjukku, kemudian pergi."Ayam yang berkokok di pagi hari bersiap untuk menyambut mentari. Ayam yang mempunyai harapan bisa bersama sang mentari walaupun ayam itu tau itu tidak akan mungkin. Tetapi ayam terus berkokok dengan harapan yang sama. Begitu juga denganku, aku yang selalu tersenyum melihat sang mentari dengan harapan seperti ayam. Tapi aku bersyukur, aku masih bisa memberikan senyumanku pada mentariku"
Dia mengucapkan apa yang aku tulis di kertas bungkus nasi beberapa hari yang lalu. Sama persis dengan apa yang aku tulis waktu itu."Tapi ayam itu sudah mati karena ayam tau harapan itu tidak akan mungkin dicapainya".
"Itulah, kisah sang ayam yang menyedihkan" ucapku padanya.Kisah seekor ayam dengan harapannya yang tak pasti itu tenggelam layaknya matahari yang meninggalkan langitnya, nyaris sama dengan kisah buaya yang meninggalkan mangsanya secara cuma-cuma.

KAMU SEDANG MEMBACA
Putra Kegelapan Jingga
Roman pour AdolescentsDimana sang Jingga menemukan putra kegelapan