Dua hari berlalu, suasana masih hening dan sangat kaku. Aku tak ingin meninggalkan kasurku kecuali jika lapar. Aku tak menemui ayah dan mama kecuali jika mereka menemuiku walaupun itu dengan pertanyaan mereka yang kujawab sangat datar.
Masih dengan ponsel yang menganggur. Hanya tergeletak diam dan mati di atas laci kamar. Mataku perlahan mulai memejam. Mengantuk sekali rasanya siang ini.
Hingga rasa kantukku ini terhambat oleh suara ketukan pintu yang keras. Belum sempat aku membukanya, pintu itu sudah terbuka.
"Mama kamu!!!!" Sandy terengah-engah.Terburu kami menuju rumah Sandy. Betapa tercabik-cabiknya hatiku ketika melihat ayah menarik rambut mama dan melemparkannya. Kulihat juga darah yang bercucuran. Rupanya itu dari tubuh ibunya Sandy. Apa mungkin mama yang melakukan ini? Sehingga ayah marah kepada mama? Walaupun benar, apa semestinya ayah melakukan itu kepada mama??.
"Ayah!!!!" aku membentak lantang pada ayah. Mencoba memisahkan ayah dari mama yang mulai menjerit merintih kesakitan. Sementara Sandy mengurus ibunya yang berdarah itu.
"Ayah!!!!!" aku mulai menangis melihat ibu yang disiksa. Tampilannya mulai berantakan.***
Suara roda tandu rumah sakit bergemuruh. Darah masih belum berhenti bercucuran. Semua yang terlibat ikut ke rumah sakit agar ibu Sandy mendapat perawatan intensif. Ayah pun sangat khawatir dengan wanita itu. Tapi aku tetap fokus kepada mama yang terus menangis. Aku merangkul mama dan mencoba menenangkan mama. Tapi aku tak kuasa. Air mataku ikut terjatuh hingga membuat sekujur pipiku basah."Apa mama yang melakukan itu?!!" rintih mamah dengan menangis meronta-ronta seperti tak menyadari apa yang telah mama perbuat. Aku terus mengelus mama mencoba menenangkannya.
"Iya iya ma, udah yaaa"
"Apa dasar mama melakukan ini?" aku bertanya pada waktu yang salah.
"Mama nggak tau. Yang mama tau hanya mama memegang pisau besar sudah bercucuran darah"
"Iya iya mama tenang ya"Di sisi lain aku juga mengkhawatirkan mama. Bagaimana jika wanita itu tidak terima atas perbuatan mama dan mama akan terkurung dalam jeruji besi? Lalu, apakah ayah akan membela mama selaku istrinya? Atau tetap memilih wanita itu? Atau kalau tidak, dia yang akan membalas dendam kepada mama. Apakah mama akan terbunuh di tangannya? Oh sungguh, pikiranku mulai kemana-mana. Diriku sangat cemas.
Ayh menghampiri kami usai mengantarkan ibu Sandy masuk UGD.
Raut wajah ayah nampak kecewa dengan perbuatan mama itu. Ayah sesekali menggeleng-gelengkan kepalanya dan meneteskan air mata. Kemudian ayah menyuruhku pergi. Rupanya ayah memeluk mama yang menangis tak ada hentinya itu.Aku harus berbuat sesuatu. Ya, aku meninggalkan ayah dan mama yang seperti orang sedang berlomba nangis.
"Sandy..." panggilku lirih begitu melihat Sandy tertunduk duduk di kursi tunggu.
"Hey" jawabnya lirih pula.
"Ibu kamu gimana? Nggak papa? Atau ada yang luka terlalu dalem?"
"Masih diperiksa"
"Maafin mama aku ya, maafiiiin banget" aku memegang tangan Sandy dan menempelkannya pada dahiku.
"Nggak papa, aku tahu mama kamu lagi tersulut aja. Mama aku juga nggak kenapa-kenapa kok"Suasana kembali hening dan tegang menunggu dokter keluar dari ruangan dan memberikan kabar entah baik atau buruk yang pastinya kami memerlukan kabar baik. Ayah dan mama kembali dengan masih terdengar isakan tangis.
"Nak, ibu minta maaf ya" mama berlutut pada Sandy.
"Eh, ibuuuu. Jangan begitu. Iya, saya tau kondisi ibu. Tidak apa-apa"
"Maafin ibu yaaaa maafin ibuuuu" mama terus meminta maaf kepada Sandy.Semua kembali terdiam. Tegang menunggu dokter belum kunjung terlihat. Aku menawarkan minuman pada Sandy serta ayah dan mama. Aku pergi ke kantin rumah sakit untuk membeli minuman. Tak ingin ketinggalan, Sandy pun ikut denganku.
"Kenapa kamu nggak marah ketika mamaku melukai ibumu?" aku meluapkan rasa penasaranku dengan bertanya sesuai isi hati yang ingin kutanyakan pada Sandy.
"Tidak apa-apa. Namanya juga manusia" dengan entengnya Sandy mengatakan hal itu. Seperti itu tidak menjadikannya beban dalam hidupnya.
"Jika mama bisa sewaktu-waktu membunuh ibumu, apa yang kamu lakukan? Apa kamu ingin mewakili membalas dendam ibumu?"
"Tidak, biarkan Tuhan dan pihak berwajib yang menanganinya"
"Jika itu ibunya orang yang kamu cintai? Apa kamu tega melihat orang yang kamu cintai meronta-ronta dihadapan ibunya dibalik jeruji besi?"
"Tuhan tidak memberikan ujian melainkan melampaui batas kemampuannya"
Bibirku secara otomatis tersenyum sumringah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Putra Kegelapan Jingga
Teen FictionDimana sang Jingga menemukan putra kegelapan