Kini, harapan yang pernah kuharapkan telah kembali dengan harapan memenuhi dan membenarkan tentang adanya harapan. Harapan nyata, bukan hanya ilusi.
Laki-laki yang tak pernah kukenal sebelumnya, bahkan aku tak pernah memintanya untuk mengenaliku hingga sejauh ini. Aku tak pernah memintanya untuk mulai masuk dalan duniaku. Begitu juga dengannya, dia tidak pernah memintaku untuk memasuki kehidupannya.
Kini, laki-laki itu menjadi priaku. Pria tampan pilihan Tuhan untukku.
Aku masih terbaring di kasur runah sakit ini. Semua tampak datar, namun begitu dia memasuki ruanganku, suasana berubah seketika. Senyumumku kembali terurai dengan mudahnya. Dia menghampiriku, dengan kantong plastik ditangannya.
***
"Lalu, bagaimana ikatan kamu dengan Jackson?" kaki berjalan beringian mengelilingi taman dengan tiang infus yang mengganggu.
"Semua berlalu begitu saja, dia memilih seseorang yang tepat untuknya"
"Dia memilih siapa?"
"Keadaan yang membuat dia harus memilihnya"
"Kenapa begitu?"
"Hufh,....karena dia sedang mengandung anaknya"
"Apa dia...."
"Hufh, aku tak mempermasalahkan hal tersebut. Justru yang jadi masalah adalah jika dia tidak mempertanggungjawabkan itu"
"Untuk itu, bisakah aku mengatakan? Jika, aku menawarimu untuk menjadi kekasihku? Kekasih yang sesungguhnya"
"Sepertinya aku tidak bisa menjawabnya sekarang"
"Kenapa?"
"Karena ada yang lebih berhak atas diriku"***
11 tahun bukan waktu yang cepat. Melainkan itu waktu yang tepat ketika Tuhan kembali mempertemukan dua insan yang saling merindukan.Separuh dari satu tahun aku kembali bertugas. Dengan dirinya yang juga melaksanakan kewajibannya. Berat, aku harus meninggalkannya (lagi). Dengan dia yang pakar bedah membedah, dan diriku yang pakar dalam hal mempertahankan. Aku menatapnya sebelum aku harus pergi meninggalkannya. Kakiku berjalan mundur, seolah tak mau melewatkan tatapannya. Hingga pada akhirnya aku tetap melewatkan itu.
Aku meninggalkan pria berselimut jas putih. Hingga pria itupun meninggalkan tempat berdirinya dua insan karena tak kuasa lagi menahan air mata.
Aku akan berjuang, bahkan hingga tubuhku tidak memungkinkan lagi untuk pulang dalam keadaan bernyawa. Aku akan terus mengingatmu walau hanya tubuhku yang pulang tanpa kehidupan. Karena kehidupanku sudah menyatu dengan kehidupanmu.
"Hati-hati dengan langkahmu, ledakan ada di mana-mana!!!"
"Kapteeeen!!!!" teriak ketika melihat sang kapten tertembak oleh senapan musuh. Tanganku menopang tubuh seorang kapten yang mulai lemah.
"Panggilkan tim medis!!!"Sukar sekali ketika sudah terjun dalam dunia peperangan seperti ini. Rasanya kecil kemungkinan dapat membuka jalan keluar. Hampir tidak mungkin.
***
"Pasien darurat mengalami kecelakaan yang mengakibatkan pendarahan hebat dan tulang rusuk patah"
"Siapkan ruang operasi sekarang!!!"
"Baik"***
"Duar duar duar!!!!"
suara tembakan dan ledakan terdengar kacau. Tak ada ketenangan lagi rasanya. Banyak asap, banyak api, banyak pula darah yang bercucuran.Berjalan pelan menuju sebuah gubuk tua dimana ada seseorang yang sedanh membutuhkan pertolongan disana.
"Sesuai rencana!!"Semua menyelinap masuk, debu beterbangan dimana-mana. Ledakan pun terpasang dimana-mana.
"Duar!!!"
Lenganku terkena tembakan, untung aku bisa menahannya walau terasa sakit.
Suara tembakan pecah. Tembakan itu melumpuhkan semua orang di dalamnya."Hufhhh, selamat! Misi terselesaikan!"
Semua tersenyum lega. Tak ada yang lebih menyenangkan selain bisa bernafas kembali setelah melalui beberapa tembakan dan ledakan.*wiuwiuwiu (suara ambulance)
Ambulance itu berhenti di lobby utama. Dengan kaki yang menginjak lantai dan tangan yang menahan rasa sakit serta darah yang tak berhenti mengalir. Seseorang berlari kearahku, aku melihatnya. Seseorang itu telah berdiri dihadapanku, seseorang itu memasang raut wajah cemas padaku. Kulihat, dia masih memakai baju tindakan operasi.
"Kamu tidak apa-apa?"
"Ya, tapi kapten...." belum selesai mulutku berbicara, dia langsung bertindak menghampiri kapten yang terluka.Aku sedang ditangani oleh dokter lain yang bersedia membalut luka ku dengan perban.
"Gantilah perban 3 kali sehari"
"Baik, terima kasih""Terdapat dua peluru yang tersangkut di area perut. Harus dilakukan operasi darurat karena bisa mengakibatkan cedera pada hati, limpa ataupun ginjal" kata Sandy.
"Baik" jawabku singkat.
"Siapkan ruang operasi!"Suasana begitu tegang, dengan aku yang sedang duduk di ruang tunggu bersama Dara, teman satu timku menunggu kapten keluar dari ruang operasi. Tak hanya menunggu kapten, aku pun menunggu dokter bedahnya selesai menjalankan tugasnya. Aku selalu berdoa agar diberikan kelancaran baik untuk sang kapten dan untuk sang dokter. Mulutku tak berhenti bergeming. Suasana hati sedang gelisah walau aku sepenuhnya percaya dan menyerahkan semua pada dokter.
Suara tandu rumah sakit itu terdengar keras ketika sudah memasuki Ruang operasi. Terdengar pula suara rintih kesakitan pada seorang wanita yang terbaring di tandu itu. Beberapa perawat dan dokter membawanya masuk ruang operasi. Disitulah, aku melihat seseorang. Itu seperti apa yang pernah aku alami sebelumnya kembali terjadi hari ini. Aku melihat laki-laki yang ikut mendorong tandu itu dengan cemas dan gelisah. Aku melihatnya dengan jelas. Begitu mereka membawa tandu itu masuk dalam ruanh operasi, laki-laki itu menyadari kehadiranku, yang mana aku menyadari ada dirinya terlebih dulu. Kami saling menatap heran. Waktu seolah berjalan lebih lambat. Dia melangkah mendekat, masih dengan tatapan yang sama padaku.
Yang kami lakukan hanyalah berdiri, berdiam, dan menatap selama kurang lebih satu menit. Aku tidak meminta dia hadir di hadapanku lagi, aku tidak ingin pula dia ada dihadapanku lagi apalagi jika aku tidak siap menerima kenyataan ini.Tubuhku seperti terbujur kaku melihat dia tepat di depan mata.
"Jingga" mulutnya memanggilku dengan lirih.
Aku yang masih tak bisa membuka mulut itu mulai menitikkan air mata di depannya. Aku seperti mengingat semua kejadian lalu saat bersamanya. Aku mengingat semuanya di hari itu. Kenapa aku harus mengingatnya jika aku bisa melupakannya. Kenapa aku harus melihatnya jika aku bisa menghindarinya. Terlihat rasa penyesalan di dalam matanya yang berkaca-kaca itu.
"Apa itu kamu? Apa kamu Jingga yang ku kenal?" katanya lagi dengan nada yang tak stabil.
Mataku mencoba menahan jatuhnya air mata. Melirik ke kiri, ke atas hingga akhirnya air itu jatuh juga dan memaksa tanganku menghapusnya.
"Apa kamu lupa denganku?"
"Bagaimana bisa aku lupa. Orang yang selalu memberikan cahaya dalam hidupku yang tiba-tiba mengundang badai di hari-hariku. Kamu pikir aku melupakan itu?"
Dia hanya diam.
"Pergilah, melihatmu disini tidak membuatku baik-baik saja" kataku lagi.
"Kalau boleh aku mengucapkan, terima kasih untuk segalanya yang pernah kamu berika. Karena aku tidak sempat membicarakan hal itu setelah kamu menginjak melempar cincin itu lalu pergi"
"Karena seharusnya cincin itu bukan kau berikan padaku. Melainkan kau berikan pada orang yang sudah kamu isi dengan kasih sayangmu hingga berbuah" begitu aku selali mengatakan isi hati, aku pergi meninggalkan dia dan Dara yang masih bingung dengan tingkahku ini.Aku menumpahkan air ini di lorong yang sepi, menghadap jendela besar. Tempat dimana aku pun dipertemukan oleh dokter bedah itu. Aku berdiri sendiri disini. Menangis meratapi kesendirian.
"Tentara macam apa aku ini" aku mengoceh sendiri dan menghapus air mata.Berbalik badan, dengan pemandangan yang tak ingin kulihat. Dia kembali menghadapku lagi ketika aku tidak ingin melihatnya kembali.
"Pergi" ucapku lirih.
"Sebelum itu, izinkan aku untuk mendekapmu sebentar saja. Bukan sebagai pengisi hati, melainkan sebagai prajurit yang sama-sama memiliki tugas dari perintah yang harus dilaksanakan"
Aku tidak mau mengatakan ya. Tapi aku juga tidak mau mengatakan tidak. Tetapi yang kulakukan adalah membiarkan dia melakukan apa yang ingin dia lakukan. Iya, dia mendekap tubuhku mungkin untuk terakhir kali dalam umur hidupnya. Dia mendekapku dengan erat seolah dia akan benar-benar kehilangan salah satu hal yang paling berharga dalam hidupnya. Demikian denganku, tanganku mulai mengangkat dan mendekap tubuhnya dengan perlahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Putra Kegelapan Jingga
Teen FictionDimana sang Jingga menemukan putra kegelapan