3 hari semenjak pertandingan volley, Jackson sangat sibuk latihan dan latihan. Itu membuatku jarang kontak dengan dia selama beberapa hari. Ku maklumi lah, dia emang sibuk. Sadar juga harus, aku ini siapa? Pacar bukan, gebetan bukan, temen sih iya.
Entah apa yang kurasakan saat itu, aku benar benar ingin menyusulnya kesana walau hanya dua detik saja. Aku benar benar tidak bisa menahannya kali ini. Nekat aku kesana berdua, mengajak Hanna yang saat itu memang lagi free.
Kubawakan bekal yang biasa aku bawakan buat dia walaupun hanya sebungkus nasi berbungkus coklat itu padanya dengan air mineral satu botol serta kartu ucapan kuselipkan di bungkusan nasi.
Dalam perjalanan aku sudah sibuk menebak-nebak dengan apa yang akan Jackson lakukan padaku.
"Kamu tunggu sini ya Hann" aku meminta Hanna menungguku di depan ruang pemain volley sementara aku masuk kesana. Celingak celinguk aku mencari keberadaan Jackson. Saat aku memasuki ruangan loker, kudapati seorang perempuan yang lagi bermesraan, sangat mesra sekali. Dengan posisi yang sangat dekat, sialnya adalah aku melihat secara langsung di depan mata.
Mau lewat juga nggak enak, tapi kalo nggak lewat ya mau lewat mana lagi. Akhirnya langkah kaki tetap melanjutkan perjalanan dan,
Terkejut bukan kepalang. Mata terbelalak lebar melihat pasangan itu bermesraan di depan mataku. Tak lama aku berdiri disana, laki-laki itu menyadari keberadaanku.
"Eh, sorry. Cuma mau kasih ini titipan dari ibunya Jackson"Laki-laki itu, Jackson yang sedang bersama pemain volley putri sekolah lain yang juga diidolakan banyak kaum adam di mana mana. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri jika mereka sudah saling bertukar liur. Terkejut bukan main.
Untuk cemburu pun aku tak berhak. Aku berada di posisi bawah, bawah!. Aku juga hanya teman sekelasnya yang terlalu bodoh untuk mau dirayu dengan kata-katanya, mau digombali dia, dan mau perhatian sama dia. Bodoh! Bodoh sekali!.
"Hann, pulang aja yuk" menahan isak tangis.
Tentu saja Hanna bertanya-tanya apa yang sedang terjadi padaku. Namun aku tak menggubris pertanyaan Hanna itu.Aku juga tidak melihat Jackson yang mengejarku. Aku memang bodoh! Terlalu banyak berharap. Begini kan jadinya.
Dalam mobil masih terngiang di benakku kejadian tadi. Sangat sulit untuk menjelaskannya. Tapi sangat jelas terlukis di depan mata. Seperti mimpi dalam nyata rasanya.
Dia juga tidak menelfonku hingga aku tiba di rumah. Memang benar dia tidak pernah mengharapkanku. "Bodoh bodoh bodoh!. Aku benci dengan diriku sendiri" memukuli diriku sendiri, mengurung di kamar.
Hari ini mengajarkanku bahwa, hanya berharap banyak tidaklah guna. Apalah daya kita yang diibaratkan sebatang rautan, yang hanya dibutuhkan ketika pensil sedang tumpul saja dan ketika pensil sudah lancip, rautan itu akan dikucilkan, terpakai jika membutuhkan lagi. Begitulah yang aku rasakan saat ini.
Pertandingan volley sudah berlalu. Hari dimana aku akan bertemu dengannya telah datang. Siap-siap memasang muka sok baik baik saja.
Aku hanya terduduk diam di bangku kelas dan memainkan ponselku. Tiba-tiba seseorang datang menghampiri dan menyodorkan sepucuk kertas kepadaku.
"Nat, ke kantin yuk" mengalihkan lalu pergi meninggalkannya begitu saja. Jujur, di dalam lubuk hati tidak tega aku melihat mimik wajahnya yang sangat muram.
"Tunggu" dia menghadangiku keluar pintu.
"Nat, biarkan aku dan Jingga bicara dulu"
Jannat keluar kelas dan ke kantin sendirian.
"(berdecak) apa sih"
"Aku mau bahas waktu itu"
"Nggak ada yang perlu dibahas lagi kan. Udah udah. Jannat tunggu"
"Semua nggak seperti yang kamu liat".
"Udah lah Jack, aku ini siapa? Kamu ini siapa?. Kita hanya teman sebaya, nggak ada yang spesial dari kita. Apa yang dipermasalahkan?"
"Udahlah, aku nggak mau bicara sama orang yang mulutnya udah kotor kena liur orang" menunjuk kearahnya, mendorongnya lalu pergi menyusul Jannat.O iya, dia udah pulang karena kalah dalam babak semi final.
Pulang sekolah aku meminta Hanna datang ke rumahku dan aku akan ceritain semuanya apa yang terjadi dan apa yang telah aku alami.
"Seriusan nih?!"
"Gilak juga tuh anak""Bayangin, kalo kamu yang berdiri disana waktu itu" sambil berdiri menghadap jendela sambil gigit gigit jari.
"Hann, Hann dia nyamperin Han"
"Hah, mana"Jackson tiba-tiba sudah ada di depan rumahku. Entah sejak kapan dia ada di sana.
"Gimana nih"
"Yaudah kali pura-pura nggatau aja"
"Dia nelfon"
"Angkat, bilang kalo kamu nggak dirumah""Halo"
"Kamu dimana aku di depan rumah kamu"
"Aku lagi keluar sama Hanna"
"Dimana?"
"Emang kamu harus tau ya?"
"Biar aku susulin"
"Nggak usah"
"Dimana"
"Aku tau kamu di rumah Ngga"
Langsung kumatiin telfonnya."Nggak bisa dibohongin"
"Payahh"
"Kirim pesan kirim pesan"
"Gimana dong"
"Ahhh, sini"
Hanna yang mengetik dan mengirim pesan pada Jackson."Dia langsung pergi, jurus apa yang kamu pake"
"Pergi lo anjing" tulis Hanna di pesan itu.
Gilak, Hanna se-berani ini. Tidak pernah kusangka sebelumnya.
"Kamu bukan Hanna kan, nggak mungkin Hanna kayak gini nih" tertawa kecil.
"Ahhh, semua yang tak mungkin itu menjadi mungkin. Mu'jizat itu namanya"Ada Hanna disamping, aku merasa nyaman dan melupakan semua masalah yang sedang ku hadapi. Namun perasaan itu hanya sementara ketika Hanna berada disampingku saja. Mungkin perasaan itu takut pada Hanna sama seperti Jackson tadi.