Ke-22

5 1 0
                                        

Mataku tak bisa terpejam dengan benar. Aku seakan lupa cara menikmati hidup. Aku lupa cara menghadapi hidup. Separuh kehidupanku telah pergi sekarang. Tanganku mulai mengepal erat hingga tak ada celah. Aku berfikir, jika wanita itu telah beruntung. Wanita itu telah berhasil membuat semua terpecah belah. Dia patut berbangga hati sekarang. Tapi jangan harap jika nantinya kau baik-baik saja. Bukan lagi hanya mama. Aku yang akan menggantikan mama selagi mama masih terkurung.

Apa yang mama lakukan sekarang? Apa mama sudah makan? Apa mama sudah tidur?.

Sial, pasti wanita itu sedang menikmati hari-hari bersama ayah tanpa adanya seorang penghalang. Beban apa lagi yang harus aku terima ya tuhan?

Menangis dan menangis lagi. Hingga stok air mata mulai menipis dan hampir kering. Di malam yang larut ini, aku membuang semua air mataku dan berdiam diri di kamar bahkan tak makan sesuap pun. Ponselku yang sudah berdering berkali-kali dari Jack maupun Sandy, kuabaikan dan tak kuhiraukan.

Kepada siapa aku harus mengadu? Kepada siapa aku harus mengeluh?

Dengan sergap, tanganku mengambil ponsel dan mulai menekan beberapa tombol.

***
Di taman alun-alun yang sudah sepi pengunjung karena jarum jam menunjuk angka 11 malam. Malam yang sepi di taman ini aku duduk sendiri dan meratapi nasib. Hingga langkahan kaki yang cepat itu mulai mendekat dan suara nafas yang terengah-engah semakin terdengar jelas.
"Kenapa kamu memintaku kemari?"
"Aku tak tahu, kepada siapa lagi aku mengeluh" kataku, melamuni batu yang tak terlibat.
"Maafkan aku, aku tidak dapat menebak akhirnya akan seperti ini"
"Tidak, bukan. Kita hanyalah korban"
"Apa kamu baik-baik saja?"
"Sedikit, setelah ibuku direnggut oleh besi-besi itu"
"Aku pun tak bisa menahan pikiranku yang selalu memikirkan keadaanmu setelah kejadian ini"
"Entah kenapa, jika hatiku gundah, kamu orang pertama yang aku ingat. Entah kenapa kamu orang pertama yang aku percaya dapat menghilangkan semua kegundahan San" nafasku mulai terisak.
"Aku bahkan tak tau apa yang aku lakukan selanjutnya walaupun aku sudah bertemu denganmu membuatku lega" lanjutku.
"Kamu nggak perlu melakukan apapun, selain hanya aku yang akan mendekapmu dan mendampingimu" kata Sandy yang mulai merangkulku.

Sandy mengangkat kepalaku yang sempat menunduk dan mengusap air mataku.
"Setelah kejadian ini, apa aku masih bisa melihat senyummu yang mulai memikatku?"
Bibirku ini menunjukkan permintaannya itu secara otomatis. Mataku berbinar-binar seperti baru pertama merasakan hal ini.
"Bahumu keras sekali" candaku pada Sandy.
"Apa aku sekurus itu?"
"Entah, tapi tetap membuatku nyaman"
"Kamu bisa memakai pahaku" dia membenarkan posisi duduknya agar aku bisa memakai pahanya itu untuk menyandarkan kepala.

Aku mempercayakan Sandy sebagai obat penenangku saat ini. Dialah obat yang sangat mahal harganya bagiku. Dengan dosis yang tepat untukku dan cocok untukku. Dialah obat termanis dalam hidupku. Dengan belaian lembut dan kasih sayangnya.

Kepalaku mulai membuat pahanya pegal. Namun Sandy tidak merasakan itu. Dia terus membelai kepalaku dengan lembut.

Perlahan aku mulai nyaman dengan belaian ini. Mataku mulai terpejam setelah nyanyian yang lirih itu terdengar dari mulutnya.

***
Pagi, aku sudah berada di kasurku. Ketika kepalaku sudah terangkat dan tegap sempurna, sekilas aku kembali merasakan belaian yang amat mendamaikan hati. Aku menjadi tersipu malu dan memegang kepalaku sendiri dan tersenyum tanpa sebab.

Turun kebawah dengan niatan meminum segelas air untuk mengawali hari yang semakin buram.

Cermin di lemariku menyapaku di pagi hari. Aku sudah menyiapkan diri untuk pergi menemui orang terkasih.

Pergi sendirian tanpa ada yang menemani. Sudah mengunci pintu dan menutup semua jendela. Kini saatnya aku keluar rumah. Berjalan menuju teras dan mulai menghampiri jalan raya.

Langkahku terhentikan dengan tangan yang menarikku dan membuatku berhenti. Kepalaku menoleh kepada orang yang membuatku menghentikan langkahku ini. Baru saja mulutku terbuka ingin memulai pembicaraan, dia menyengkal terlebih dahulu.
"Aku tau, bahkan sebelum kamu bertindak"
Aku hanya tersenyum mendengarnya.
Dia memberiku penawaran "Silahkan nona, ini tiket terusan agar bisa terus bersamaku seharian ini" katanya menunjukkan selembar kertas yang ia tulis dengan tangannya sendiri, bergambarkan manusia lidi yang menjulurkan lidah. Aku tertawa karena hal itu. Tertawa hingga gigiku hampir kering.
"Syukurlah, aku berhasil menampilkan gigimu" katanya.
"Apa kamu suka melihat gigiku ini?"
"Tidak juga, ternyata gigimu kuning"
"Ha??" spontan aku menutup mulutku karena malu.
"Sekuning itu?" kataku lagi.
"Tak masalah, aku bisa membuatnya bersih seketika"
"Dengan?"
"Mencabut semuanya"
"Sepertinya bukan gigiku yang bersih. Tapi mulutku bersih tanpa gigi"

Sandy membawaku ke tempat yang ingin aku kunjungi. Ya, aku akan mengunjungi mama hari ini. Dengan membawakan masakan kesukaan mama, ayam lodho beserta lalapan. Mama suka sekali dengan masakan ini. Akupun menyukainya jika mama yang memaskanya untukku.
"Mama baik-baik saja?"
"Tentu, apalagi jika kamu menjenguk mama disini" kata mama yang mulai melahap makananan itu.

Di hari yang sama, aku menemui ibu Sandy untuk bicara.

"Saya mohon untuk mencabut tuntunan ibu terhadap mama saya" kakiku terlipat di hadapan ibu Sandy. Aku memohon-mohon hingga rela berlutut dihadapannya.
"Ibu bisa menyiksa saya. Ibu bisa sakiti saya. Asalkan jangan ibu saya. Saya rela memberikan nyawa saya. Karena saya tahu bagaimana cara ibu saya menaruhkan nyawa untuk melahirkan saya dan merawat saya hingga saya beranjak dewasa seperti sekarang ini. Pasti ibu juga pernah merasakan hal tersebut. Saya mohon dengan amat sangat tulus dalam lubuk hati saya yang paling dalam. Jika ibu benar-benar mencabut tuntutannya, saya berjanji tidak akan mengganggu kehidupan anda lagi. Dan saya rela......" mulutku seperti berat mengatakan hal ini tapi di sisi lain aku harus mengatakan ini demi mama, ibuku.
".....jika saya harus melepaskan ayah saya dan menyerahkan kepadamu"
Sontak, Sandy terkejut mendengar perkataanku ini.
"Jingga!" bentaknya.
"Saya mohon" aku terus meminta mohon kepada ibu Sandy agar ibu Sandy dapat mencabut tuntutan terhadap mama dan aku dapat kembali ke pelukan mama. Dua hari hidup tanpa mama saja aku tidak sanggup.

***
"Tidak!! Lebih baik mama tetap disini daripada harus merelakan ayahmu dengan wanita itu"
"Maafkan Jingga ma. Tidak ada hal lain yang bisa Jingga lakukan"
"Kamu telah membuat keputusan sendiri"
"Maafkan aku ma, aku memang gegabah. Jalan pikirkan sedang buntu"
Selang beberapa menit, Sandy dan ibunya datang menyusul.
"Maaf, tapi saya harus bicara dengan anak kamu" kata ibu Sandy.

Kami berjalan mengelilingi kantor polisi dan berhenti di kursi depan kantor.
"Apa yang ingin ibu katakan? Tapi saya harap ibu mengatakan apa yang saya harapkan"
"Tenanglah, aku akan mengatakan itu. Tetapi maaf, setelah ini jangan menampakkan diri. Karena itu membuatku mengingat ayahmu dan kejadian yang sudah lampau"
"Apa itu artinya..."
"Ya. Aku harap, semua kembali normal. Seperti kita semua tidak ada kaitan sama sekali, bahkan menganggap tidak pernah bertemu. Apa kamu pikir hidup seperti ini menyenangkan? Pikiranmu salah. Tentu saja itu menyedihkan bagimu, begitu juga bagiku. Jadi, sebaiknya ini yang kita semua lakukan"

Hubungan ini semua berakhir dengan perjalanan yang belum usai. Namun inilah kenyataannya. Aku harus memilih diantaranya. Dengan yang kupilih yang tepat untukku dan untuk ayah dan mamaku ke depannya. Walaupun aku tahu tidak cepat melupakan ini semua.

Putra Kegelapan JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang