Sebelum ayam berkokok aku sudah harus bangun. Mempersiapkan semuanya mulai dari ketahanan tubuh dan mental yang kuat. Kini aku tinggal di rumah nenek yang sudah meninggal satu tahun lalu. Sehingga kami disini semua memulai lembaran baru. Tentang cafe, ayah membuka cabang di lingkup kampung nemek ini.
Kali ini berbeda, aku bukan aku yang selalu meringik. Aku bukan aku yang selalu mengeluh.
Tanganku mulai meraih seragam di almari. Seragam yang menjadi harapan ayah dapat memakainya, kini aku yang mewakili ayah. Tanganku mulai mengancingkan baju itu satu persatu. Kaki memakai sepatu yang berat, serta kepala yang memakai baret.
Aku sudah mulai terbiasa dengan bentakan dan hukuman yang aku terima. Senangnya, dengan ini perlahan aku bisa melupakan segala yang pernah mampir dalam hidupku. Mulai dari yang pahit dan yang manis.
Memang, hidup tidak akan ada yang tahu kecuali Tuhan Yang Maha Esa. Bisa saja orang yang kamu anggap lemah bisa membuatmu lemah. Bisa juga pemulung yang miskin sekalipun menjadi miliader melebihi apa yang kamu kira. Seperti diriku yang semula hanya seorang pelajar, beralih kepada karyawan cafe ayahnya sendiri dan tiba-tiba bisa memakai seragam loreng tentara ini. Betapa senangnya diriku. Bisa membahagiakan kedua orang tuaku walau belum sepenuhnya.
Dengan rambut yang tak lagi sama dengan panjangnya punggungku, kini aku bisa memulai lembaran baru yang dapat menjamin kehidupanku.
***
Semua baik-baik saja. Sampai hari ini,
Hari dimana sang Jenderal mengatakan suatu hal dan juga menjadi tugas kami. Bukan sembarang tugas. Namun, tugas yang berat. Seberat apapun, tugas harus tetap dilaksanakan.
"Teroris mulai masuk di negeri kita. Tak tinggal diam, kita harus mengalahkan teroris itu untuk membela negeri kita yang dijajah, blablabla" panjang lebar jenderal membicarakan itu.Untuk tugas yang akan ku laksanakan ini, aku harus meninggalkan kedua orangtuaku selama beberapa bulan. Aku sedang berjuang mempertaruhkan negeri ini. Ini kewajibanku. Sudah kebiasaanku dengan hal-hal rumit, membawa senjata api, serta tubuh yang selalu siap menerima keadaan. Menerima rasa sakit, atau tak bangun lagi.
Tentu saja ini berat, apalagi dengan perasaan mama yang berat melepas anaknya ke medan perang. Mengingat, kecil kemungkinan aku dapat selamat dam dapat memenangkan peperangan ini. Tentu saja mama khawatir akan hal ini.
Kami berpisah walau untuk sementara, terasa berat sekali.
"Tidak apa-apa ma, Jingga pasti baik-baik saja. Asal, ayah dan mama terus mendoakan Jingga dan mendukung Jingga"
"Pasti" kata mama sembari menangis.Baling-baling helikopter telah memanggilku. Aku bergegas masuk ke dalam dan kembali fokus pada tugas. Tak mudah untuk meraih semua ini. Semua butuh perjuangan dan pengorbanan.
***
Jenderal memberi arahan bagaimana kota bisa menyelamatkan orang-orang yang telah disandera dengan rencana khusus yang sudah tersusun."Mengerti semua?!"
"Siap!! Mengerti"
"Laksanakan!!!"
"Siap!!! Laksanakan!!!!"Semua berpencar sesuai tugas masing-masing. Di tempat yang kumuh serta berdebu ini mereka semua di sekap tanpa diberi makan. Serta disiksa tanpa ampun dan tanpa belas kasihan. Dengan parahnya lagi, anak kecil yang bahkan tak berdosa itu ikut merasakannya.
Salah satu dari kami memulainya dengan mengalihkan perhatian sang teroris yang menjaga mereka semua. Dan ini saatnya aku beraksi.
"Bapak, tidak apa-apa? Mari ikut kami. Kami akan menyelamatkan kalian semua" kataku lirih.
Mereka memahaminya. Untuk itu kita harus sigap dan cekatan.Kali ini berjalan sesuai rencana. Entah nanti ketika teroris itu mengetahui mereka sudah tak ada lagi di tempat mereka di kurung.
Dengan cepat kami semua membawa para korban sandera pergi ke tempat yang jauh dari lokasi. Sialnya, anak kecil itu menangis karena luka yang ada di punggungnya.
"Anak ibu kenapa?" aku menyempatkan bertanya keadaan anak itu.
"Mereka memukulnya" jawabnya sambil menangis.

KAMU SEDANG MEMBACA
Putra Kegelapan Jingga
TienerfictieDimana sang Jingga menemukan putra kegelapan