Ke-26

4 0 0
                                    

Berbalik badan, dengan pemandangan yang tak ingin kulihat. Dia kembali menghadapku lagi ketika aku tidak ingin melihatnya kembali.

"Pergi" ucapku lirih.

"Sebelum itu, izinkan aku untuk mendekapmu sebentar saja. Bukan sebagai pengisi hati, melainkan sebagai prajurit yang sama-sama memiliki tugas dari perintah yang harus dilaksanakan"

Aku tidak mau mengatakan ya. Tapi aku juga tidak mau mengatakan tidak. Tetapi yang kulakukan adalah membiarkan dia melakukan apa yang ingin dia lakukan. Iya, dia mendekap tubuhku mungkin untuk terakhir kali dalam umur hidupnya. Dia mendekapku dengan erat seolah dia akan benar-benar kehilangan salah satu hal yang paling berharga dalam hidupnya. Demikian denganku, tanganku mulai mengangkat dan mendekap tubuhnya dengan perlahan.

"Sungguh aku sangat membenci diriku sendiri yang menyia-nyiakanmu" sesalnya.

"Tidak perlu, justru kamu akan sesal jika terus bersamaku"

***
Dengan sengaja, aku mengunjungi bayi kecil tak berdosa itu tanpa sepengetahuan orang tuanya karena memang aku tidak ingin menemui salah satu dari mereka bahkan keduanya.

Dengan Sandy yang bersedia menemaniku, kami memandang bayi dalam inkubator itu.

"Lihat, dia tampan seperti ayahnya" ujarku mengusap kaca yanh menjadi penghalang.

"Bukankah kita akan segera memilikinya?" celotehnya sembari tersenyum.

"San, bahkan aku tidak sanggup bertemu ibumu lagi. Apa yang harus kukatakan?"

"Apa itu membuatmu terpuruk?"

Hufffhhhh, membuang nafas lalu pergi meninggalkan Sandy.

"Jingga!"

Langkahku ini terhenti di depan pintu dimana ada orang yang menghalangi jalanku. Aku terkejut dengan orang dihadapanku ini.

"Mama" panggil Sandy pada orang itu.

Mataku terus memandangnya dan tidak bisa berkata apapun di depannya. Begitu juga dengannya yang mengabaikan panggilan dari anaknya.

"Apa yang harus kulakukan" kataku dalam hati.

"Bisa kita bicara sebentar?" ucap ibunya Sandy yang membuatku semakin terbujur kaku.

Untuk itu, aku menoleh ke arah Sandy dan memberi isyarat "Bagaimana?" padanya. Dan dia mempersilahkanku memenuhi permintaan ibunya itu dan memintaku untuk tetap tenang.

"Akhirnya kamu menunjukkan wujudmu setelah sekian lama"

Kami berjalan menelusuri taman dan saling berbicara.

"Kabar ibu baik?"

"Syukurlah aku baik-baik saja"

"Syukurlah" aku tersenyum.

"Kamu tahu bagaimana tingkah Sandy semenjak kalian berjarak?"

"Kenapa tiba-tiba dia membicarakan ini? Apa dia sudah lupa akan janji itu" kata hatiku yang bertanya-tanya.

"T...tidak, memangnya kenapa?" mulutku ragu mengatakan itu.

"Dia menjadi tidak fokus pada pelajarannya. Dia selalu memikirkanmu tak jarang juga dia memandang gambarmu melalui foto"

"Apa benar yang dia katakan"

"Hingga dia membuatku merasa bersalah telah mengucapkan itu"

"Maaf, telah membuat kalian berjarak selama bertahun-tahun. Hanya itu yang sanggup aku ucapkan kepadamu, tidak ada yang bisa kukatakan selain itu" ujarnya.

"Saya mengerti"

"Apa yang kalian bicarakan?" Sandy penasaran begitu aku dan ibunya kembali.

"Nggak banyak" jawabku singkat.

***
Tap..tap..tap...
Terdengar suara sepasang kaki melangkah perlahan menuju di penghujung jalan. Kaki itu menindas batu kerikil dan melewatinya untuk menghampiri seorang gadis yang sedang mengagumi keindahan di ujung jalan.

Nampaknya gadis itu merasakan aura kedatangan orang yang ia tunggu. Dengan gembira, ia membalikkan tubuhnya untuk menghadap pada orang yang telah menemuinya.

Alangkah manisnya senyuman di bibirnya itu. Bibir gadis yang merupakan seorang prajurit, yang terbalas oleh senyuman bibir pria berjas putih dambaannya.

Beberapa helai rambut gadis itu mengahalangi wajahnya nan jelita. Pria itu tak segan membantunya menyingkirkan helaian rambut yang menghalangi pandangannya untuk menatap wajah gadisnya.

Tak hanya itu, pria itu mengepalkan tangannya dan hendak menunjukkan pada gadisnya.

"Apa itu?" tanya gadis penasaran.

Kepalan tangan itu perlahan membuka dan menunjukkan apa yang ada di dalamnya. Sebuah lingkaran yang dihiasi kerlipan intan di tengahnya.

Senyuman gadis itu semakin sumringah, begitu juga dengan pria berjas putih itu.

"Bantu aku melengkapi kehidupanku, serta bantu aku untuk menjadi ayah yang baik kelak" kata pria itu.

Tanpa banyak kata, langsung saja pria itu meraih tangan gadis itu dan mengikatnya dengan lingkaran intan tepat di jari manis.

Tak hentinya, helaian rambut itu tetap menghalangi pandangan pria jas putih. Sepertinya helaian itu sengaja melakukan hal tersebut agak pria itu dapat menyingkirkannya dengan lembut.

Benar saja, pria jas putih itu menatap gadis prajurit serta perlahan membuka penghalang yang menghalangi pandangannya.

Oh tidak! Apa yang dia lakukan. Bibirnya semakin dekat dengan bibir gadis itu. Semakin dekat, semakin dekat, nampaknya gadis itu gugup.

Dua bibir saling bersentuhan penuh perasaan. Dua pasang mata yang saling terpejam. Kawanan burung melintas diatas kepala mereka. Pemandangan yang menyuguhkan tebing-tebing tinggi itu mengelilingi mereka yang tengah kasmaran.

Putra Kegelapan JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang