Ke-20

8 2 0
                                    

Ayah memberikanku hari libur untuk bekerja agar aku bisa istirahat dengan cukup dan tenang. Jackson belum mengetahui jika aku sedang sakit karena untuk memegang ponsel saja tanganku serasa ingin patah.

Hingga tiba-tiba pintu kamarku terbuka ketika aku baru saja membukakan mata dari tidurku.
"Kamu sakit ya?" tiba-tiba seseorang menyentuh dahiku dari belakang.
"Cuma pusing" jawabku lesu sembari membalikkan badan menghadap pada Jack.
"Badan kamu panas" Jack membolak-balikan tangannya di dahiku. Aku yang penasaran ikut membolak-balikkan tanganku di dahiku.
"Aku sudah beli bubur buat Jingga ku tersayang" Jack mengulurkan bungkusan sterofom padaku. Bau khas bubur sudah tercium menusuk hidungku.
"Kok cuma satu? Kamu mana?"
"Udah, makan aja. Bentar aku ambilin sendok"
Jack turun, kubuka bungkusan sterofom itu dan sudah tergiur oleh pesona bubur yang lembek dan masih hangat.
"Sini" Jack meminta bungkusan itu kembali.
"Hak" Jack menyuruhku membuka mulut.

Aku tahu, pasti Jack mengetahui jika aku terbaring sakit adalah dia datang ke cafe namun tak ada aku disana.

Dengan berbaik hati ia membawakan bubur ayam itu untukku makan. Tak segan juga ia bersedia menyuapkan bubur itu untuk masuk dalam perutku lalu kemudian kucerna dengan baik. Tak lupa, dia juga membawakan teh manis yang terbungkus plastik.

Yang padahal sakit ini tak seberapa dibanding penyakit kronis lainnya.

Sedang menikmati bubur suapan dari tangan Jack, ponselku berdering. Ponsel yang mempunyai 25% sisa kehidupan karena takku isi daya sejak kemarin malam. Seizin Jack, aku mengangkat telfon dari Sandy itu.
"Ngga, kumohon kamu kesini secepatnya!!" suara Sandy terengah-engah.
"Ada apa?" aku mulai panik usai mendengar nada suara Sandy yang tak biasa.
"Mama kamu" mendengar dua patah kata dari Sandy itu aku sudah memahami apa yang telah terjadi. Tanoa bertanya banyaj lagi, langsung saja kututup telfon itu.
"Kita ke rumah Sandy sekarang!!!!" aku bangun dari kasurku dengan sigap. Tubuh yang lemas kini tegang. Penampilan yang acak-acakan tak mengerti lagi aku rasanya. Aku tak peduli akan hal ini. Yang aku pikirkan hanya mama dan mama. Apa yang mama lakukan disana yang padahal beberapa menit yang lalu mama masih berada di rumah. Tapi mengapa sekarang mama sudah berada disana?.

Jack yang terlihat panik juga tergesa-gesa. Ia mengendarai motor dengan kebut-kebutan.

Benar saja, dari halaman luar sudah terdengar kisruh. Dengan langkah cepat kakiku masuk dalam rumah itu.
Tangan mama sedang menjambak rambut Wanita itu. Sementara papa berusaha menghentikan perbuatan mama. Sandy pun ikut membantu memisahkan ibunya dengan mama.
"Kenapa?" aku menarik Sandy.
"Aku juga nggak tau, waktu aku pulang mama sama ayah kamu udah disini" jawabnya.
"Mah, udah mah!!!!!" teriakku.
"Aku minta cerai!!" teriak mama.

Deg!!! Jantungku seakan berhenti berfungsi. Semua syaraf-syarafku tak bekerja dalam sedetik rasanya. Kehidupanku mulai terombang-ambing mendengar mama bicara seperti itu. Dan aku berfikir, mungkin mama bicara hal itu karena emosi yang tak dapat kendalikan.

Aku langsung berlari keluar ke jalan raya, air mataku menetes membasahi pipi. Mataku mulai sembab, hidungku memerah.
"Jingga!!" panggilan Jack tak kuhiraukan aku terus saja berlari hingga aku mendapatkan taksi yang kosong. Tangisku pecah begitu taksi itu mengangkutku. Ponsepku berdiring namun aku mengabaikannya karena masih disibukkan dengan air mata yang terus bercucuran. Tak heran juga sopir taksi itu menatapku melalui kaca namun sepertinya bapak aopir tau jika aku tak bisa diganggu lantas dia hanya diam saja setelah bertanya aku akan pergi kemana.

Pintu taksi kututup setelah aku sudah lunas membayar tagihan taksi dan kakiku sudah menginjak rumput. Air mata sudah kering. Namun mata masih sembab dan sesekali terdengar isakan. Kakiku melangkah lambat, dengan tubuh yang lemas.

Persawahan yang luas itu membuatku tenang. Dengan daun-daunan yang hijau serta sinaran matahari menjelang sore membuatku damai akan di dunia ini. Ponselku yang tinggal 10% terus berdering berkali-kali namun aku tetap mengabaikannya. Angin sepoi-sepoi mengibarkan rambutku yang tergerai. Aku duduk termenung di sebuah gubuk reot di tengah persawahan. Ditemani dengan orang-irangan sawah yang tampak tersenyum lebar seolah dia tak mendapatkan beban dalam hari-harinya. Kupandangi orang-orangan sawah itu dengan seksama. Entah mengapa, dia seperti hidup. Dia tersenyum padaku. Aku pun melemparkan senyuman padanya.

Putra Kegelapan JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang