Cerita ini menurut sudut pandangku, Sandy. Begitu telingaku menangkap kabar yang sangat merugikan untukku, aku sangat terpukul. Aku merasa akulah orang yang sial di dunia ini. Namun inilah keadaannya, aku harus menjalani ini.
Hingga aku tidak fokus dalam belajarku. Aku terus melamun dan memikirkan hal lain. Semua seperti kacau. Tubuh sangat lesu, sering kali dibentak mama karena aku tidak fokus pada pembelajaranku.
Seiring berjalannya waktu aku sadar, mungkin aku sudah mulai terbiasa dengan keadaan ini. Walaupun masih ada rasa kerinduan dalam lubuk hati. Aku rindu senyumannya, aku rindu tawanya, aku rindu tatapan matanya.
Tawanya bagaikan embun pagi yang dirancang khusus dari Tuhan untukku. Namun badai telah merenggut embun pagiku dengan sekejap namun tetap membekas.
Hingga pada akhirnya,
"Ayo belajar!! Ini keinginanmu!!! Demi ibumu!!" terus kukatakan dalam hatiku ketika aku mulai lemah.Selama menempuh pendidikan, aku sama sekali tak memikirkan soal pasangan dalam hidupku. Karena aku masih menaruh harapan kepada Jingga yang sekarang entah dimana keberadaannya. Bisakah aku memilikinya? Ataupun kalau tidak, biarkan aku menemuinya walau sekejap mata.
Sepuluh tahun lamanya aku menyelesaikan pendidikanku. Itu bukan waktu yang sebentar.
Tak hanya sampai disini, aku harus menjalankan segala macam ujian untuk bisa segera menangani pasien sesuai dengan jurusan mata kuliah. Semua seperti tak ada ujungnya bagiku. Satu masalah terselesaikan, datang masalah baru.
Ujian, ujian, dan lagi. Seakan belum habis, setelah ujianpun aku masih harus mendapatkan Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Ijin Praktik (SIP). Dengan susah payah aku mendapatkannya sendiri.
Entahlah, namun aku merasa dengan begini aku perlahan lupa dengan apa yang sudah lampau. Memang itu tujuanku sebenarnya!.
***
"Mamaaaaaa!!" aku berteriak memasuki rumah.
"Anakmu dokter maaaa aku dokter maaaa" aku teriak gembira sekali. Semua usahaku terbayarkan sudah dengan pelantikan ini.Hufhhhh, semua beban dalam hidupku seperti hilang seketika.
Hari pertama aku menangani pasien sebagai dokter magang, gemetar rasanya. Aku terus memikirkan bagaiman jika operasi ini gagal dan dia akan mati?
Memang, tak mudah melalui ini semua.
***
Beberapa tahun ke depan aku resmi menjadi dokter tetap di rumah sakit ini. Aku mulai terbiasa membedah semua tubuh orang-orang sana. Itu seperti sudah menjadi makananku sehari-hari. Melihat pisau bedah, melihat tanganku membedah perut, belum lagi keadaan tegang ketika pendarahan saat operasi dan membuat tekanan darah menurun.Aku sudah benar-benar lupa aku sedang merindukan siapa. Semua seperti berlalu begitu saja. Benar-benar lupa dan tidak memikirkannya sama sekali semenjak aku bergelar sebagai dokter bedah.
Operasi hari ini lancar, begitu selesai aku menyempatkan diri untuk makan siang bersama teman-teman yang lain di kantin rumah sakit.
Belum juga makanan itu habis kulahap, aku sudah mendapat panggilan jika terdapat pasien gawat darurat mengalami pendarahan dalam otaknya. Kali ini hatiku gelisah, kakiku berlari lebih cepat. Aku mulai cemas.
Deg!!! Semua organ seperti berhenti berfungsi ketika melihat pasien itu. Bertahun-tahun aku menunggunya. Kini Tuhan mempertemukanku disini walau dengan keadaannya yang tak sehat. Hatiku ikut teriris begitu melihat kondisinya dan dia belum kunjung sadar. Aku memandanginya. Tak terasa, pipiku basah. Bingung, tangisan apa ini? Apa aku menangis sedih? Atau menangis senang karena bertemu dengannya kembali?.
"Kamu menjadi tentara sekarang? Hm?" aku membelai rambutnya seperti dulu aku pernah membelainya. Rasanya tetap sama, namun istimewa. Air mataku tak dapat terbendung, semua tumpah mengenai baju lorengnya itu. Tanganku mulai menggenggam tangannya dengan erat. Dengan lancang bibirku mencium keningnya. Disitu aku sadar, "Mungkin sekarang kamu sudah hidup bahagia bersama imammu" kataku dalam hati. Aku merasa, melihatmu saja sudah cukup bagiku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Putra Kegelapan Jingga
Teen FictionDimana sang Jingga menemukan putra kegelapan