Setelah kupikirkan lebih dalam, sepertinya aku tidak akan melanjutkan pendidikanku karena. Kupikir lebih baik membantu ayah di cafe. Pikiranku itu pun disetujui oleh ayah dan mama dengan senang hati.
"Kalau memang kamu maunya gitu ya, nggakpapa. Ayah juga seneng ada yang bantu disana" tutur ayah. "Jadi, kamu akan ayah anggap sebagai karyawan ayah dengan gaji per bulan, oke?" katanya lagi. "Beneran yah?". "Iyadong". "Asiiiiiiiik". "Kita mulai hari ini ya, kita ke cafe sekarang" kata ayah.
"Ayah, bagaimana ayah bisa ketemu mama?" tanyaku di perjalanan ke cafe. "Dulu, ayah dan mama itu sebagai ketua sama anggota" jelasnya. "Maksudnya?". "Dulu ayah itu ketua osis di sekolah. Sementara mama kamu, anggota osis kelas IPS, ayah kelas IPA". "Kok bisa?". "Awalnya, mama kamu mencalonkan jadi osis. Trus entah kenapa, ketika ayah mengetes mama kamu dulu kayak berbeda dari peserta yang lain. Visi dan misi nya cukup logis dan alasannya cukup menarik selain itu, waktu mama kamu muda, ayah lihat nggak pernah mama kamu punya teman perempuan, paling hanya dua teman perempuan dekatnya dari masa dia SD" jelas ayah. "Tampilannya juga bukan seperti perempuan pada umumnya" lanjut ayah. "Tapi ayah jatuh hati kan" ledekku. "Tingkahnya juga hampir sama persis sama kamu" kata ayah. "Berarti aku cantiknya kaya mama kan" aku menaikkan kedua alis. "Iyain aja deh".
Kami sampai di cafe yang masih tertutup pintunya. Dengan kaca cafe yang masih tertempel tulisa "tutup" terlihat jelas. Langsung saja aku menuju ruang karyawan dan berganti pakaian seragam karyawan serta bergegas mengambil selembar kain lap dan hendak mengelap meja-meja calon pelanggan hingga kinclong. Tulisan "tutup" ku putar menjadi "Buka". Artinya, cafe sudah siap menampung para pelanggan dan melayani dengan rendah hati.
"Iya, soalnya setelah kupikir-pikir aku nggabisa jauh dari kamu" aku bicara dengan Jack lewat telefon ditengah-tengah jam kerja. "Sungguh kabar baik untukku" celotehnya. "Aku kesana boleh kan". "Tentu saja, pak polisi kehadiranmu disini, suatu kehormatan bagi kami" kataku.
"satu frappucino, satu kentang goreng, dua es cappucino, somaynya masih digoreng ya kak, tolong tunggu sebentar" kataku yang mengantarkan pesanan pelanggan. Begitu balik badan, aku melihat pelanggan yang sudah berdiri di meja pesanan dengan tersenyum. Ya, aku tau persis dengan orang itu.
"Tamu kehormatan sudah tiba" kataku mendekatinya. "Hmmm saya, vanilla late satu ya" katanya.
"Ini pak, vanilla late spesial dari hati" kataku menyodorkan minuman yang ia pesan, di meja dekat toilet. "Pasti rasanya sampe ke hati" katanya. "Pastinya (heheheh)".
"Jujur, sebenarnya sangat disayangkan kamu nggak melanjutkan pendidikan apalagi kita ini masih tergolong muda". "Membangun masa depan tidak melulu soal materi kan? Kita juga perlu banyak melatih teori" kataku. "Tapi kamu sudah mantap kan dengan pilihanmu ini". "Aku begini karena aku yakin" kataku meyakinkan keraguan Jack. "Kalau begitu, (kepala Jack semakin dekat padaku) kita siap menikah kan" bisiknya. "Apa perlu kita ke KUA sekarang?" aku pun mendekatkan kepalaku padanya. "Hmmmm oke kita berangkat sekarang, berani?" tantangnya. "Siapa takut" kataku. "Beneran nggak takut? Aku bawa pistol looo" kataku menyembunyikan tangannya. "Oh ya??? Kalau begitu, aku akan menangkap pelurunya" tanganku memeragakan menangkap sesuatu. "Apa kamu siap?". "Yes, aku siap". "Satu.... Dua.... Bang!!!!" dia menembakku dengan pistol hand made dari tangannya. "Hap!!! Berhasil ku tangkap" tanganku memegang dada. "Mau tau nggak, wujudnya peluru?". "Ah, aku juga sudah tau". "Tapi yang ini beda loh". "Emangnya seperti apa?" dia penasaran. Aku menunjukkan peluru cinta itu. Dengan menyatukan ibu jari dan jari telunjuk menjadi bentuk seperti bentuk hati. Karena geli, kami berdua pun tertawa.
"Loh, Jack. Kamu sekarang jadi anggota polri?" ayah terkejut melihat Jack. "Heheh iya om, syukurlah saya ikut masuk" katanya. "Waaaah selamat ya" ayah menjabat tangan Jack. "Terima kasih om" kata Jack.
Langit mulai petang, aku tetap berdiri di cafe ayah masih dengan tugasku. Pelanggan yang tak begitu ramai, aku merilekskan tubuhku untuk menonton tv.
"tululit tululit"
"Hay! Apa kabar?" sapaku terlebih dahulu melalui video call Hanna
"Ngga, yaampun disini cowoknya cakep-cakep asli"
"Tetep cakep punyaku wleee"
"Yeeeee, jelas aja kalo enggak mana mau kamu sama dia. Cincin aja udah dipasang tuh"
"Bilang aja iri kan ya kaaaaan" aku meledek Hanna.
"Ihh siapa bilang aku juga punya kalik, nih" dia menunjukkan cincin miliknya. "Walaupun dari nyokap" lanjutnya.
"Ngga, ayah pergi dulu"
"Iya yaaaah" kataku.
"Eh Han, udah dulu ya. Ada pelanggan, byeeee".***
Esoknya.
"Silahkan kak" sambutku, dua laki-laki yang menjadi pelangganku.
"Dua green tea latte ya mbak"
"Baik, ditunggu sebentar ya kak, pesanan akan segera kami antar"
"Hmmm mbak, boleh nggak pesan satu lagi" kata salah satu laki-laki itu.
"Iya?"
"Tulis nomor wa nya mbak dong" dia menggodaku.
"Woy antri antri" pelanggan selanjutnya berteriak. Namun setelah kulihat, aku menahan tawa melihat pelanggan itu.Dua laki-laki itu duduk di mejanya. Aku melayani pelanggan berikutnya, masih dengan menahan tawa. "Tulis nomor wa nya dong mbak, emang dia nggatau sini siapanya" katanya. "Hahahaha (tertawa terbahak-bahak) kok kamu sudah pulang?" tanyaku. "Untung aja udah pulang, kalo nggak, nggabisa kasih semangat yang lagi kerja dong" katanya. "Daripada gombal terus mending ikut ke dapur" pintaku.
Kami membuat dua green tea latte bersama. "Gulanya kurang itu" tegurku. "Nanti diabetes dong" katanya. "Yang penting bukan aku hahaha".
"Dua green tea late, lengkap dengan nomor wa" Jack sengaja mengantarkan pesanan itu. "Nomor wa sedot wc" lanjutnya. Dua laki-laki itu terdiam melihat Jack. Aku yang memantau Jack dari kasir tertawa sendiri. "Hahahahahahha (tos)" kami berdua tertawa dan menyatukan kedua telapak tangan hingga berbunyi.
"tululit tululit"
"Halooo"
"Jingga, kamu pulang sekarang sama ayah ya" mama menangis.
"Mama kenapa?"
"Pulang sekarang!!!!" sedikit menggertak.Karena panik, aku tergesa-gesa menghubungi ayah.
"Ayah, pulang sekarang ke rumah! Aku sama Jack perjalanan kesana, harus sekarang!" kataku, dan langsung menutup telfon."Kreeek" suara membuka pintu.
"Mama" kepanikanku meningkat ketika melihat semua barang-barang dirumah berantakan. Aku berlari memcari mama, begitu pula dengan Jack. "Maaaaaa" aku teriak sekuat tenaga. Di dapur, kamar mama, tidak kudapati mama disana. Hingga aku naik ke atas,
"Mamaaaaaaa" kulihat kondisi mama yang bersimbah darah. Mama merintih dan menangis.
"Ada maling!!!" jerit mama.
"Jangan nunggu lagi, ayo ke rumah sakit sekarang" kata Jack.
"Oke, aku ambil kunci mobil dulu"Sesampainya, petugas medis menangani mama. Aku khawatir akan kondisi mama. Jari-jari ku seakan tinggal separuh karena ku gigiti. "Aku akan melaporkan kejadian ini jika mama kamu sudah bisa dijenguk ya" kata Jack. Aku hanya mengangguk dan masih menggigit jari.
"Kalian dimana? Ayah dirumah. Rumah berantakan semua" kata ayah.
"Ada maling dirumah yah, pelaku belum diketahui" kataku.
"Mama kamu bagaimana?"
"Lagi di rumah sakit, masih ditangani"
"Ayah akan kesana, tapi setengah jam lagi" katanya."Setengah jam lagi ayah kesini, mungkin dia ngecek cctv" kataku.
"Oke, aku kesana dulu ya, kamu urus mama kamu aja, aku yang ngurus lapor di kantor polisi sama ayah kamu, nggak papa kan ditinggal sendiri" kata Jack ingin menyusul ayah. "Iya, nggakpapa. Kabar kabar ya".Mama menceritakan kejadiannya. Awal mula mama hanya sendirian dirumah. Tak ada aku, tak ada ayah yang menemani mama. Hingga mama tersadar ada suara seperti barang-barang yang berjatuhan, mama terbangun dari kasur kamarnya dan hendak memeriksa keadaan rumah. Barang-barang di lantai satu sudah berantakan. Namun tv tidak ada di tempatnya. Mama yang panik, bersiap membawa tongkat golf dan naik ke atas. Dengan beraninya, walaupun campur khawatir, mama naik ke atas perlahan. Mama tepat di belakang maling itu. Namun ketika mama baru mengangkat tongkat golf, mama kedahuluan aksinya dengan maling itu. Maling yang membawa senjata tajam yang cukup kuat untuk menebas kepala itu memotong kedua jari mama. Tak segan, maling itu menggoreskan senjata itu di leher mama.
Sungguh kejam itu maling, tidak ada takutnya. Dia tidak takut akan dosa. Entah apa yang dipirkankannya. Dia hanya memikirkan kesenangan dunia tanpa memikirkan kesenangan akhiratnya. Mungkin aku tak akan mengampuninya jika sudah bertemu dengannya.
Esoknya, semua sudah di rumah.
"Kasus sudah dilaporkan dengan bukti kuat melalui cctv. Tinggal kita tunggu hasil laporannya" kata ayah. "Lihat saja, aku tak akan memberimu kesempatan" kataku dalam hati.

KAMU SEDANG MEMBACA
Putra Kegelapan Jingga
Novela JuvenilDimana sang Jingga menemukan putra kegelapan