Rey masih ingat kejadian kemaren. Sesekali dia tersenyum sendiri seperti layaknya orang gila, walaupun saat ini dia sibuk mengecek beberapa restoran miliknya, beberapa pegawai lainpun ikut keheranan. Biasanya rey akan marah marah jika ada kesalahan di perbuat oleh para pegawai yang kurang konsisten. Tapi kali ini lain, dia langsung memaafkan atau memuji beberapa pegawainya.
"Kerja kalian bagus.. dan untukmu jangan lupa membalik tulisan close ke open.. nanti orang mengira restoran kita selalu tutup ok"
Semuanya mengangguk pada bos muda yang satu ini. Setelah melihat jam sudah saatnya rey pergi karena seseorang sudah menunggu tak jauh dari lokasi dia berada.
"Dimana?" Telfon rey
"Dibelakangmu"
Rey berbalik dan mendapati istrinya tersenyum di pinggir jembatan.
Dengan sedikit berlari rey mendekat kearah mishel.
"Kamu mau kita kemana"
"Makan.. ada tempat yang aku suka.. udah lama nggak makan disana"
Rey mengangguk dan berjalan mengikuti mishel. Udara sangat sejuk, langit sangat cerah dihiasi bintang bintang dan bulan. Rey berjalan lebih cepat lalu menunduk memasangkan tali sepatu mishel yang lepas.
"Aku bisa perbaiki sendiri"
"Cara mengikatnya salah. Kalo kamu ikat kayak gini yang ada cepet lepas. Minimal kamu iket posisi pita dua kali shel"
"Aku ngerti"
Setibanya di restoran mishel memesan beberapa makanan yang dia inginkan. "Kamu mau makan ini? Ini enak"
"Aku nggak makan telur mishel" dengan senyuman tipis
"Oh ya? Aku baru tau" setelah difikir fikir, mishel memang tidak tau apapun tentang rey "emm aku emang gak tau apa apa"
Rey langsung mencubit kedua pipi mishel dengan kuat "aku cuman gak makan telur.. tapi aku bisa makan apapun"
Makanan siap. Mereka langsung menyantapnya dengan santai. Mishel menghabiskan dua mangkok sup, dengan tubuh mungil seperti itu sungguh hal luar biasa.
Mereka kemudian duduk di pinggir taman berdua. Hampir seluruh area taman dihiasi lampu berwarna warni. Walaupun sudah cukup sepi karena malam, lampu itu tetap hidup hingga pagi datang.
"Rey"
"Mm"
"Apa hobimu?"
"Bermain piano"
Mishel melirik ke arah rey "hanya itu? Ada banyak alat music lainnya. Kenapa hanya piano?"
"Aku bisa main gitar.. tapi menurutku piano satu satunya alat music yang terdengar sangat lembut dan bisa di mainkan dua orang"
Mishel menganggukkan kepalanya tanda mengerti. "Hal yang paling kamu benci?"
"Melihat ayahku"
"Kamu membencinya?"
"Mm aku membencinya"
Mishel meraih tangan suaminya "jangan membenci. Itu hanya akan membuatmu marah tanpa sebab"
Rey tersenyum walaupun tak sependapat dengan mishel, saat bersama mishel dia lebih seribg mengalah. Beberapa saat hp rey berdering, terlihat nama supirnya.
"Apa? Bagaimana dengan kunci rumah? Aku meninggalkannya disana"
Setelah beberapa saat rey menutup telfon dengan wajah sedikit kesal.
"Apa yang terjadi?"
"Pak hendri.. istrinya mau melahirkan, baru aja dia dapat kabar. Mau tak mau dia pulang"
"Biarin aja, kita bisa naik taksi"
Namun bukan itu yang menjadi titik permasalahan. Rey meninggalkan kunci rumah di dalam mobil yang di bawa sang supir. Lebih parahnya lagi mishel tak membawa kunci miliknya seperti kebiasaan lama. Pintu otomatis terkunci setelah tetutup yang artinya mereka bahkan tak bisa masuk ke rumah sendiri. Memanggil tukang bongkar pun sudah terlalu larut.
"Gak ada cara lain"
Satu satunya jalan mereka harus menginap di sebuah hotel yang berjarak 400m dari lokasinya saat ini.
Walaupun tak membawa banyak uang cash, untungnya rey tak lupa membawa kartu debit miliknya.
"Mohon maaf hanya tersisa satu kamar kosong, karena besok ada perayaan besar di depan taman, banyak yang berlibur dan menginap disini"
Plis! Ini bukan drama, rey tak berharap dan tak mengira akan seperti ini.
"Bukankah kalian sudah menikah?" Tanya resepsionis yang melihat cincin couple melingkar di tangan keduanya.
Tanpa ada pilihan mereka tiba di ruangan sederhana dengan kasur cukup luas.
Rey duduk di kursi dekat ranjang. Tangan rey tak henti hentinya memainkan kartu kredit. Sebenarnya dia bingung harus tidur dimana. Di lantai rasanya cukup dingin, di tambah hanya ada 2 bantal dan satu selimut.
"Kamu nggak ngantuk?" Tanya mishel sembari naik keatas kasur.
"Nggak"
Mishel mengambil sesuatu dari dalam tas dan beranjak mendekat kearah rey. "Diamlah" setelah mengucapkannya, tangan mishel membuka kancing kemeja suaminya perlahan.
"A.. apa yang kamu.."
Mishel tak menjawab, dia berhenti tepat di kancing ke 4. Mengoleskan salep penghilang bekas luka.
"Apa yang kamu fikirkan?"
Rey jadi malu sendiri, pipinya memerah. Mishel menyuruhnya tidur di kasur yang sama, dengan izin tentu rey tidak keberatan. Dalam kondisi sadar bagaimana mungkin rey berani melakukan sesuatu pada gadis di sampingnya.
Lagi lagi mishel membuat rey berbalik arah karena gadis itu melepas jaket yang dia kenakan. "Aku gak telanjang koq.."
Mendengarnya rey kembali menatap ke arah mishel. Gadis itu menggunakan tenktop putih, rey bisa melihat lebih jelas bahu putih istrinya.
"Kamu bisa tidur pakai kemeja?"
Biasanya orang akan menjawab tidak, rasanya pasti risih dan menganggu. Apa daya rey tak menggunakan kaos pendek yang artinya dia akan bertelanjang dada jika melepas pakaiannya.
"Jangan berbohong.. pasti nggak nyaman"
Dengan perlahan mishel kembali berniat melepas kancing baju rey kembali. "Nggak perlu.. aku gak masalah"
Mishel malah tertawa melihat ekspresi laki laki di sampingnya. "Apa yang kamu fikirin rey"
"Lebih baik jangan menyentuhku samakin aku menggila"
Wajah rey semakinterlihat lucu saat mengatakannya. Seperti seseorang yang ketakutan sesuatu akan terjadi malam ini.
"Apa yang ada di fikiranmu saat ini? Aku penasaran" tanya mishel kembali
"Aku nggak mikir apapun"
"Oh ya?"
"Jangan tanyakan lagi" tegasnya sambil menutup kepalanya dengan bantal.
Jangan lupa vote dan komentnya kalo kalian suka.. itu sangat berguna untuk author
KAMU SEDANG MEMBACA
Because I love You
RomanceKehidupan Mishel hancur ketika perusahaan ayahnya bangkrut. Dan kini dia harus memutuskan hub dengan sang kekasih. Pada akhirnya Mishel terjebak dengan sebuah pernikahan.. namanya Reynaldi laki laki arrogan, kejam dan berbahaya.. Bisakah mishel men...