Setelah perjalanan singkat Denpasar-Jakarta dengan burung besi berdua dengan Yama, akhirnya sampailah kami di terminal kedatangan Bandara Soekarno-Hatta. Ya, aku pulang bersama Yama, karena kebetulan acara yang Yama hadiri sudah berakhir. Kami menaiki mobil Yama yang sengaja diinapkan di bandara. Selain irit ongkos, juga lebih praktis karena kami enggak harus mencari taksi atau kendaraan umum lain. Koper kami masuk bagasi dan siap meluncur kembali berjibaku dengan kemacetan Jakarta. Yama akan mengantarku sampai rumah seperti biasa.
Setelah melewati macet hampir dua jam, sampailah kami di depan rumah mungil milik Tante Ayu. Di sinilah aku tinggal. Beberapa kali kuketuk pintu berwarna cokelat yang mulai memudar warnanya itu, menunggu beberapa saat sebelum terbuka. Tante Ayu menyambut kami.
Tante Ayu memelukku. Kami memang sedekat ini. Tante Ayu begitu sayang padaku. Kami masih berpelukan saat sebuah suara yang sangat kukenal mengusik telinga. Itu suara Al. "Om Yama, oleh-oleh pesanan Al mana?" tanya anak kecil berkuncir dua yang terlihat segar seperti baru saja mandi itu. Dia anakku. Kanaya Alexandra.
Yama mengangkat anak itu dan menggendongnya seperti biasa. Sebuah kecupan pipi didaratkan anak berusia tujuh tahun itu pada Yama. Yama tersenyum lalu menyuruhnya memejamkan mata.
"Sekarang buka mata, Al!"
Al membuka mata dan menutup mulutnya yang ternganga. Sebuah kaus dan sepasang sandal berwarna merah produk Joger ada di tangan kanan Yama. Al yang memang suka warna merah sangat senang mendapatkannya, dan ditambah lagi sekeranjang kecil strawberry yang sengaja Yama beli langsung dari perkebunan di Bedugul sukses membuat mata Al berbinar. "Yeeey, Al mau bikin jus, ayo, Oma!" Al meminta diturunkan dan menarik tangan Tante Ayu. Yama segera pamit pada Tante Ayu. Wanita itu seperti biasa, tampak kurang menyukai keberadaan Yama sebaik apa pun dia padaku dan Al. Aku merasa enggak enak hati sebenarnya.
"Div, aku pulang dulu, ya," pamit Yama padaku, "nggak usah mikir macam-macam. Istirahat, oke?" lanjutnya dengan senyum. Tangannya sedikit menyentuh ujung hidungku. Manis sekali. Meski begitu, badanku tetap menunjukkan reaksi berbeda, mundur.
"Thanks, Yam," sahutku.
Dia hanya mengangguk lalu melangkah menuju mobil hitamnya. Mobil itu baru dibelinya hampir dua tahun lalu, karena sebelumnya mobil Yama berwarna pink. Iya, Yama memang begitu menyukai warna yang identik dengan perempuan. Namun, karena aku selalu menolak diajaknya naik akhirnya dia memilih menjualnya, lalu membeli mobil baru berwarna hitam.
Suara klaskon membuyarkan lamunan kosongku. Yama melambaikan tangan dengan senyum samar, lalu mobil itu berjalan perlahan meninggalkan jalanan sempit penuh kerikil yang setiap hujan selalu tergenang. Kawasan yang selalu banjir saat Jakarta diguyur hujan lebat selama minimal satu jam.
Baru saja bermaksud masuk, mataku menangkap sosok lelaki di seberang jalan. Nick. Sedetik kami beradu pandang, tapi suara Tante Ayu membuatku memilih masuk dan mengabaikan bule kepedean itu.
Tante Ayu sedang menemani Al menonton film kartun kesukaannya. Segelas jus warna merah muda ada di tangan kanan Al yang asyik menatap layar di depannya. Aku mengempaskan diri di sofa ruangan itu.
"Diva, mandi dulu aja! Tante masak rendang," ucap perempuan berusia lima puluh itu dengan senyum. "Jus ada di kulkas, tadi Al yang suruh tante buatin kamu sekalian," lanjutnya.
Tante Ayu Kinasih. Beliau adalah adik perempuan termuda almarhum Papa. Kalau enggak ada beliau, aku mungkin bisa berakhir menjadi pasien rumah sakit jiwa. Mengingat sekilas tentang itu membuat dadaku sesak.
"Diva mandi dulu, ya, Tante," pamitku. Kucium Al dan sukses bikin aku mendapat pelukan gadis kecil itu. "Mama mandi dulu, Al."
Al melepaskan pelukan, lalu menenggak habis jus merah muda di tangannya. Aku berlalu ke kamar, bersiap mandi dan kemudian berniat istirahat. Sejenak aku terdiam di balik pintu, bersandar.
Ingatanku tentang Nick mengusik pikiran. Kenapa laki-laki bule itu mengikutiku sampai ke rumah? Mengikuti? Aku bingung, apa benar dia mengikutiku? Aku saja enggak tahu rumahnya di mana. Mungkin saja memang rumahnya di daerah sini dan kebetulan lewat kemudian berhenti saat lihat aku. Sejenak aku berusaha melupakan pertanyaan yang bergelayut dan kemudian memilih mandi. Setelah rapi kemudian mengambil buku yang baru saja kubeli. Sebuah novel romantis yang ditulis oleh penulis misterius yang bernama Elang Timur. Namanya unik, tulisannya bikin meleleh. Kami berteman di dunia maya, meski terkesan misterius tapi dia asyik diajak ngobrol. Aku memang lebih suka berinteraksi di dunia maya, karena tidak menuntut untuk bertatap muka. Kuhabiskan waktu setengah jam membaca bab awal. Entah kenapa aku ingin mengajaknya ngobrol sore ini. Seperti hari-hari sebelumnya, kami sering menghabiskan sore atau malam dengan segudang chat seru. Dalam hati aku ingin bertemu dia secara langsung, entah perasaan apa ini. "Div, makan dulu," teriak Tante Ayu dari luar kamar yang didahului sebuah ketukan halus. "Tante mau ke arisan dulu, Al ikut."
"Iya, Diva makan sebentar lagi," sahutku. Setelah mengetik beberapa pesan pada Elang, aku keluar kamar. Di sana Tante Ayu dan Al terlihat sedang bersiap. "Naik apa, Tan?" tanyaku pada perempuan berpotongan bob itu. Penampilan Tante Ayu yang segar mampu menutupi usianya yang sesungguhnya.
"Pesan ojol,* Div," sahutnya sambil menenteng tas merah. Tangan Al bergelayut manja pada lengan kiri Tante Ayu yang terlihat mulus dan kencang itu. Maklum saja beliau sangat rajin menjaga kesehatan tubuhnya dengan jogging dan segala macam senam. Al sepertinya mulai mengikuti jejak omanya itu. Syukurlah, setidaknya lebih baik daripada aku.
"Mama baik-baik di rumah,ya," pesan Al.
Kalimat itu sukses membuatku terharu, Al begitu sayang sama aku. Aku menyesal atas tindakan bodoh yang pernah hampir mencelakakannya sewaktu dia masih dalam kandunganku. Penyesalan itu pula yang membuatku sekarang rela tetap memamerkan sebagian tubuh demi rupiah atau dolar. Betapapun sakitnya aku menahan lelah dan tekanan batin. Aku hanya ingin memenuhi semua yang Al butuhkan, terutama pendidikan dan kesehatannya. "Iya, mama akan baik-baik di rumah, Sayang," jawabku sambil menghampirinya dan mengecup dahinya yang semerbak aroma buah.
Apapun akan aku lakukan demi dia. Al adalah bagian dari diriku yang harus kujaga dan perjuangkan. Aku yakin akan kuat.
"Hati-hati, Tan!" pesanku.
***
*ojek online
Halo semua, apa ada yang nungguin cerita ini? Semoga ada. Maaf baru up, hp baru bangun dari tidur panjangnya.
Kritik saran boleh dikomen, ya, teman-teman. Terima kasih.
Salam emak renjer, muach
Nofi
Tangsel, 4 Agustus 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Love #ODOCTheWWG
RomanceSaat seorang wanita bisa menolak gue, di situ aura ketampanan gue serasa lenyap bagai asap. Yaelah, tapi itu nyata. Wanita itu beda, dia malah terlihat ketakutan setiap gue berusaha mendekat. Entah di mana letak salahnya, yang jelas gue penasaran. L...