Istrirahat makan siang hampir selesai, tapi Diva belum juga muncul. Berkali-kali gue telepon tetap nggak ada jawaban begitu juga beberapa pesan singkat yang bahkan hanya bercentang satu. Gue simpulkan ponsel Diva habis baterai. Diva harusnya ke sini karena pesan pertama gue tadi pagi bercentang dua warna biru artinya sudah dibaca.
Kerjaan gue yang tinggal setengah jalan jadi sedikit kacau karena fokus terbagi. Gue merasa ada sesuatu makanya Diva nggak datang. Gue berharap dia baik-baik saja, setidaknya sampai kerjaan ini kelar. Harusnya Diva datang dan ketemu Cassandra. Casey begitu biasa kami memanggilnya adalah model yang kebetulan temen gue zaman TK sampai SMA di sekolah internasional.
Wanita dengan penampilan hampir sempurna, dengan tinggi 175cm, berat badan ideal dengan bentuk pingul dan payudara yang aduhai. Pembawaannya yang ceria juga jadi ciri khasnya. "Bule, mana cewek lo?" tanyanya dengan logat Indonesia yang lucu, maklum dia hidup di alam serba internasional. Meski lancar bahasa Indonesia, tapi tetap logatnya lucu.
"Gue nggak tahu, udah biarin aja, mulai lagi aja, yuk, biar cepat kelar!"
Cassandra memonyongkan bibir seksinya yang berwarna merah muda. Matanya menyipit mengawasi sekitar. "Bilang sama dia, kalau nggak datang nanti gue ambil cowoknya!" bisiknya sebelum tergelak dan lagi-lagi bergayut manja di lengan kiri gue. Dia benar-benar mancing gue.
"Casey, let me finish my work!"
"Okay, Dude!" Dia menjauh dan memulai berpose dengan minuman-minuman kemasan rasa buah itu. Gue yang kebetulan nggak didampingi asisten merasa sedikit kerepotan karena harus memindahkan reflector* sendiri dan meminta bantuan seseorang untuk memeganginya.
Gue bersyukur salah satu dari pihak klien membantu saat benar-benar dibutuhkan, seperti memegang reflector tadi. Model profesional juga sedikit banyak membantu kerjaan gue sehingga cepat kelar, dan akhirnya tepat pukul lima WITA kami sudah bisa mengemasi barang-barang.
Gue langsung balik ke penginapan dan mencari Diva.
"Diva, Sayang," panggil gue saat mendapati pintu vila dan pagar nggak terkunci. Sedikit was-was apalagi suasana gelap. Hati-hati gue menyusuri semua ruangan dan menyalakan lampu. Semakin cemas saat perempuan itu nggak gue temukan di semua ruangan vila.
Saat gue memutuskan mencari ke kolam renang di halaman belakang, terlihat perempuan itu di sana. "Oh, Sayang, ternyata kamu di sini," seru gue lega. Diva masih bergeming dengan mata tertuju ke arah novel yang dipegangnya. Telinganya dijejali earphone yang tersambung ke ponsel yang tergeletak di meja kaca berbentuk bulat kecil. Sepertinya dia nggak tahu gue datang.
Gue mendekat dan menyentuh ringan pundak seksinya yang terekspos. Rambutnya tergerai dan sesekali tertiup angin. Dia menoleh dengan raut muka yang sangat murung. Gue berlutut di hadapannya, lalu mentap dalam mata cokelat muda yang kini penuh kabut itu?
"Makan malam, yuk!" ajak gue perlahan, "kamu kok diam aja, sih, kenapa?" Gue terus meminta jawaban darinya. Karena jujur saja gue nggak mengerti apa yang bikin dia seperti itu.
"Udah kelar mesra-mesraannya? Kok nggak nginep sekalian?" berondong Diva dengan ketus.
Gue berusaha meraih jemari lentiknya, tapi ditepis keras. Gue lupa kalau dia anti sama sentuhan. "Jadi kamu tadi ke sana dan lihat Casey?" tanya gue dengan senyum.
"Aku lihat semua! Semua!" semburnya dengan mata penuh amarah.
"Dia temanku Div, dari TK sampai SMA kami satu sekolah dan rumah berdekatan karena cuma terhalang tiga rumah?" jelas gue. Gue senang Diva cemburu. Kata orang, cemburu itu tanda cinta. Benar nggak? "Sebentar aku telepon," ujar gue dan langsung mengeluarkan ponsel, lalu segera menekan tombol hijau di layar bertulis nama Casey.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Love #ODOCTheWWG
RomanceSaat seorang wanita bisa menolak gue, di situ aura ketampanan gue serasa lenyap bagai asap. Yaelah, tapi itu nyata. Wanita itu beda, dia malah terlihat ketakutan setiap gue berusaha mendekat. Entah di mana letak salahnya, yang jelas gue penasaran. L...